Tuhan dan Sebungkus Rokok

Ilustrasi: Nyarita.com
Ilustrasi: Nyarita.com

Ini hari pertamaku menempati atap di perantauan. Kulihat isi kost yang besarnya tak seberapa — hanya seukuran 3×3 meter, sudah termasuk kamar mandi di sudut ruangan. Jauh dari keluarga, jauh dari kenyamanan dan hangat Ibu di kampung.

Aku terbaring dengan setengah tubuh di lantai. Cuaca Bandung hari ini panas. Ingin sekali aku meneguk es kelapa atau sekadar segelas air dingin. Kuperiksa isi dompetku, hanya tersisa uang selembar berwarna hijau.

Aku menghela napas panjang. Dalam sebulan, mungkinkah uang ini cukup kugunakan untuk makan? Lalu bagaimana dengan rokok? Beberapa orang mungkin akan mengatai aku yang tak tau diuntung. Tapi sungguh, tanpa rokok aku sulit berpikir.

Aku keluar dan menemukan warung yang nantinya akan sering kukunjungi. Mataku berpijar hingga menemukan bingkisan plastik biru yang terlipat kotak. Unik sekali caranya memajang barang jualan.

“Rokok tiga batang, Mas.” pintaku.

“Lima ribu, Kang.”

Tiga batang, setidaknya akan kupaksakan cukup untuk 3 hari ke depan. Di detik berikutnya, aku tersenyum kecut saat gemuruh terasa pasang-surut di perutku. Ah, betul. Terakhir, pagi tadi kuisi perutku dengan masakan Ibu di kampung.

Aku berjalan menyusuri jalanan sekitar Pasir Koja. Sampai langkahku berhenti tepat di depan sebuah warung Tegal. Seketika aroma harum menyeruak memenuhi penciumanku. Bahkan anjing dalam perut pun ikut menggonggong.

“Mbak, saya mau ….” Aku berpikir sejenak sambil memerhatikan masakan dalam etalase. Bukan karena aku seorang pemilih makanan. Aku hanya memikirkan isi dompetku yang harus muat sampai aku mendapatkan pekerjaan.

“Oreg tempe sama minta kuah sayurnya, boleh?”

“Mangga, Jang. Antosan, nya.”

Aku tidak begitu paham bahasa kota ini. Tapi aku mengerti apa yang wanita paruh baya itu minta.

Di bangku kayu yang memanjang, aku duduk di bagian tengahnya. Ada seorang anak SMA yang makan di samping kananku. Sepertinya, ia baru pulang sekolah.

Tak lama, makananku siap. Langit sore yang kala itu cerah tiba-tiba menurunkan hujan deras. Seorang bapak-bapak dengan jaket ojek online menepi di warteg ini. Kulihat bahu dan sebagian rambutnya basah dan bercucuran air.

“Teh anget, Bu.” ucapnya.

Usai makan, tak sedap jika tak kuselesaikan dengan sebatang rokok. Tidak mungkin pula aku menahan ingin merokok hanya karena takut dipinta, bukan? Akhirnya, kurogoh saku dan kusodorkan kedua rokokku pada mereka.

“Ngerokok, Mas?” tanyaku pada si Anak SMA.

“Boleh, A?”

“Ambil, ambil,” titahku.

Kami bertiga merokok dalam hening. Memerhatikan gemercik hujan yang membuat genangan di sisi aspal jalanan. Si Pemilik Warteg pun tampak sibuk membersihkan tempatnya berjualan.

Tak lama, si Anak SMA dijemput oleh seorang pria berjas hujan dengan celana yang basah kuyup. Bisa kupastikan orang itu adalah ayahnya. Beliau memakaikan satu set jas hujan pada si anak dan memastikan sepatu serta tas anaknya itu tidak kebasahan.

“Anak saya ngerokok, gak ya?” lirih si Tukang Ojek sambil menatap kepergian sepasang keluarga tadi.

“Sehari, saya cuma ngasih dia lima belas ribu. Mana cukup buat ngerokok sama jajan. Belum lagi, ongkos pulang.”

Aku tertegun. Baru kali ini kudengar ada seorang ayah yang mengkhawatirkan uang rokok sang anak.

Dari sana, cerita berlanjut pada keseharian beliau mencari rezeki. Sore ini ia baru keluar rumah karena kondisi istri yang sedang sakit. Belum dapat orderan, hujan terlanjur mengguyur dan menghalanginya mencari uang.

“Semoga hujan berkah, ya Mas.” ujarnya kemudian. “Uang bisa dicari. Di luar sana, banyak orang yang gak punya tempat buat berteduh.”

Beberapa menit setelahnya, ia berdiri dan tampak gelisah. Sambil memerhatikan layar ponsel, sesekali ia melihat ke arah luar. Aku sempat mengira ada sesuatu yang terjadi pada istrinya. Sampai ia berkata ….

“Ada yang order obat ke apotek, Mas. Dari tadi gak ada yang ambil. Aduhh … ga tega saya,” risaunya sambil menggaruk tengkuk.

Sedari tadi, rupanya aku dan si Tukang Ojek berbeda pandangan. Yang kutangkap, ia sedang kesulitan. Namun yang beliau anggap; hari ini rasanya sulit, tapi masih banyak yang lebih kesulitan di luar sana.

Detik itu pula aku keluar dan berlari ke warung tempat kubeli rokok. Membeli plastik biru yang sempat mencuri perhatianku tadi. Lalu kembali ke warteg.

“Ini, Mas. Jas hujan.”

Ia menatapku dalam. Tak kusangka, jas hujan dari plastik seharga lima ribu berhasil membuat matanya berkaca-kaca. Yang lebih mengejutkan, dalam sekejap beliau bahkan memelukku.

“Alhamdulillaah … terima kasih banyak, Mas! Abis ambil orderan ini, saya bisa lanjut ngojek.”

Aku hanya tersenyum canggung, mengingat uang yang kukeluarkan adalah sisa uang terakhir.

“Jazakallaah, Mas. Pasti Allah balas. Sekali lagi, hatur nuhun!” katanya sebelum benar-benar meninggalkan warteg.

Cukup lama aku menunggu hingga hujan reda. Adzan Maghrib berkumandang, aku pun membayar uang makan ditambah segelas kopi yang barusan kupesan. Namun, ada seseorang yang menarik lengan bajuku, si Ibu Warteg.

Setelah meminta untuk menunggu, beliau tergesa-gesa membungkus semua sisa makanan di etalase. Katanya, jika dihangatkan, semua hidangan tahan hingga dua hari. Aku menganga saat satu kresek besar itu ia berikan padaku.

Ternyata sudah waktunya beliau menutup warung. Tetapi, bukannya aku tak bersyukur. Hanya … coba saja setengah makanan ini bisa kutukar dengan sebungkus rokok.

“Gan!” sapa pemilik kost begitu melihat kepulanganku.

“Ya, Mas. Gimana?”

“Saya ada urusan mendadak di Jakarta. Bisa titip kucing-kucing saya?”

Aku berpikir sesaat.

“Sampe besok, Mas?”

“Dua mingguan,”

Aku terbelalak. Mengurus kucing sudah menjadi makananku di kampung. Dompet kosong pun aku sudah pasrah. Tapi, besok aku berniat ingin gencar mencari pekerjaan.

“Nanti saya kasih upah. Minta tolong, ya Gan?”

Bak bertemu pelangi setelah tersambar petir. Raut gelisahku seketika berubah menjadi cerah. Dua sudut bibirku pun menyinggung ke atas. “Siap Mas. Bisa diatur!”

Namun, kira-kira kapan si Pemilik Kost memberiku upah? Bisakah aku meminta uang di muka? Ya Tuhan, tenggorokanku sudah pahit sekali karena ingin merokok.

Selepas Isya, aku mengantar pemilik kost hingga depan pagar. Satu koper ia simpan di bagasi dan segera menduduki kursi kemudi. Baru akan tancap gas, ia tiba-tiba membuka jendela mobilnya.

“Kamu ngerokok?”

Aku sempat kikuk dengan pertanyaan tak biasanya itu.

“Di laci ruang tengah ada sebungkus rokok. Saya pergi dulu, ya. Titip Ane dan anak-anaknya.” Tutur beliau sambil meninggalkan aku yang mematung dengan senyum kedamaian. Tuhan mengabulkan keinginanku.

***

Thiara Chairun Nisa
Latest posts by Thiara Chairun Nisa (see all)