Tugas Terakhir

Ilustrasi: Nyarita.com
Ilustrasi: Nyarita.com

“Aku tak yakin bisa melakukannya, Ayah.” ujarku dengan suara yang mulai parau dan wajah tertunduk. Aku bisa menuntaskan semua keputusan yang kubuat. Tapi untuk pertama kali dalam hidupku, aku berdiri di ambang keputusasaan karena tak sanggup menyelesaikannya.

Ayah mana yang tak mengajarkan anak-anaknya untuk menjadi pribadi bertanggung jawab. Ya, hal itu berlaku juga padaku. Sejak kecil, aku dibiarkan mengambil setiap keputusan sekaligus menanggung semua resiko. Dan memulai sesuatu, sudah termasuk juga menyelesaikannya.

“Pilih mainan yang kau inginkan.” ucap Ayah suatu hari.

Keluarga kami adalah keluarga yang berkecukupan, atau mungkin lebih. Meski begitu, Ayah tak semata membelikan aku sesuatu dengan cuma-cuma. Ada usaha yang harus kulakukan terlebih dahulu, dan hasilnya akan Ayah apresiasi dalam bentuk hadiah.

Ayah tak pernah mengatur ke mana aku ingin belajar atau mendalami suatu hal. Mungkin itu salah satu bagian dari bertanggung jawab. Setelah menentukan ke mana aku akan berlayar, maka bahan bakar yang kugunakan harus menuntunku sampai—hingga ke pelabuhan.

Namun yang kulihat hari ini, Ayah tak merasa keputusan yang kubuat akan berat. Ia duduk dengan tenang di hadapanku. Tatapannya selalu sama, tenang dan meyakinkan. Tapi itu bukan cara menatap yang sekarang aku harapkan.

“Tidak, Rei. Ayah percaya, kau bisa.”

“Ayah sudah gila?! Ini berbeda!”

Ayah meraih kedua tanganku. Ditepuknya pelan punggung tangan yang sejak dulu selalu ia genggam ini. Lalu di detik berikutnya, air mataku berjatuhan diikuti emosi meluap yang tak bisa kubendung lagi. Tak ada semburat kepercayaan yang bisa kupancarkan. Ini terlalu gila.

“Lalu? Kau ingin melepas tanggung jawabmu, Rei?” Ia bertanya dengan mata yang lurus menatapku. Aku sendiri tak berani melihat isi mata Ayah. Yang tak habis kupikir, bahkan di detik-detik kematiannya, mengapa ia tenang sekali?

“Lihat Ayah, Rei.”

Aku masih tak bergeming.

“Kau yakin tak ingin melihat Ayah? Ini kesempatan terakhirmu.” Ucapan Ayah seolah menghunus jantungku dalam-dalam. Lalu tak lama ia menghela napas panjang dan menekan. Nada bicaranya pun mulai melemah.

“Ayolah, Nak. Tegakkan bahumu dan berhentilah menangis. Aku tak ingin pergi dengan mengingat wajahmu yang menyedihkan. Jangan membuatku kecewa dan cepat laksanakan tanggung jawabmu. Biarkan Ayah pergi dengan penuh kebanggaan.”

Perlahan, kuangkat wajahku yang kalut. Ucapan Ayah ada benarnya. Beliau akan tetap pergi meski aku melepas tanggung jawabku. Tak ada yang berubah. Pilihannya hanya dua: membiarkan Ayah pergi dengan rasa kecewa, atau membuatnya bangga karena membesarkan anak yang bertanggung jawab sampai akhir.

“Baiklah, Ayah.” kataku akhirnya. “Aku akan menjadi anak yang kau banggakan sampai degupan jantungmu yang terakhir.”

Sebelum berpisah, kupeluk tubuh hangatnya yang tak lama akan menemui ajal. Di tempat berbeda, kaki dan tangan Ayah sudah terikat pada sebuah tiang berjarak 8 meter dari tempatku berdiri. Seseorang lalu mendekatinya dan menutup mata Ayah dengan kain hitam. Saat itu, dapat kulihat Ayah memberi seulas senyumnya padaku.

Dengan tangan yang kupaksa kokoh, kuarahkan senjata api laras panjang tepat ke arah jantung Ayah. Sampai Komandan Pelaksana pun mengacungkan pedang setinggi dagu dan menghentakkannya ke bawah pada posisi hormat pedang—menandakan saatnya aku dan kesebelas anggota regu untuk menembak secara serentak.
Ya, seketika bising peluru memenuhi tempat kami berdiri.

Tanggung jawabku usai, diikuti warna baju Ayah yang tak lagi putih.Ia terbujur kaku dengan noda merah yang menyebar di bagian dadanya. Seorang dokter mendekat dan memeriksa raga Ayah. “Tak ada tanda-tanda kehidupan.”
“Eksekusi selesai.” Ucap Komandan.

Thiara Chairun Nisa
Latest posts by Thiara Chairun Nisa (see all)