Tradisi Lopis Raksasa merupakan salah satu tradisi syawalan di daerah Krapyak Kota Pekalongan, tradisi ini menjadi salah satu tradisi yang secara rutin dilaksanakan setiap tahunnya, tepatnya pada hari ke-7 setelah lebaran (7 Syawal) dengan memiliki berat sekitar 1.830 kg sekaligus tinggi 223 cm dan berdiameter 250 cm. Selain dikenal sebagai Tradisi Lopis Raksasa juga dikenal “Bodo Lopis” sebagai bentuk penghargaan kepada masyarakat karena sudah melaksanakan ibadah puasa selama 1 bulan.
Tradisi syawalan menurut pendapat dari Umar Kayam (1997) merupakan hasil dari percampuran akulturasi dari kebudayaan Jawa dan kebudayaan Islam. Ketika agama Islam ingin memasuki wilayah Jawa terdapat kesulitan, sebab masyarakat Jawa yang masih memegang teguh pada budaya dan kepercayaan luhurnya. Oleh karena itu, hal ini menjadi faktor yang mendorong Walisongo menyebarkan agama Islam melalui pendekatan budaya dan kearifan di daerah lokal.
Berdasarkan hal tersebut para Ulama Jawa menciptakan sebuah budaya hidup di masyarakat dengan menanamkan nilai-nilai Islami dari budaya tersebut. Sehingga, dengan upaya tersebut ajaran Agama Islam dengan mudah dapat diterima oleh masyarakat lokal. Singkatnya, dengan mempunyai kreativitas dan kecerdasan yang tertanam dalam diri para Ulama Jawa yang mampu menggabungkan antara nilai budaya dan nilai keislaman. Dalam karya dari Sartono, dkk (1994) menjelaskan bahwa asal mula dari makanan yang bernama lopis adalah sebagai hidangan untuk menjamu tamu yang datang ke rumah sebagai cara untuk memperkuat tali persaudaraan, selain itu lopis juga dapat bertahan lama dan tidak cepat basi.
Tradisi Lopis Raksasa secara rutin dilaksanakan oleh masyarakat Krapyak gang 8 Kota Pekalongan dalam memeriahkan kegiatan syawalan, tradisi ini sudah ada sejak tahun 1885. Tradisi ini dipelopori oleh Ulama Krapyak yang bernama K.H Abdullah Siradji yang memiliki jiwa berani dan semangat untuk melawan penjajahan dari kolonial Belanda.
Mulanya tradisi lopis raksasa ini dalam pembuatannya tidak langsung dibuat dalam ukuran yang besar, awal mulanya lopis dibuat dari ukuran yang kecil, medium (sedang) dan setiap tahun semakin diperbesar ukurannya sampai bisa disebut Lopis Raksasa. Tradisi Lopis Raksasa ini menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi masyarakat khususnya di daerah Krapyak, sebab hal ini dapat memperkenalkan tradisi agar dapat dinikmati oleh khalayak umum sebagai upaya merawat dan melestarikan tradisi yang merupakan warisan dari nenek moyang.
Rangkaian acara tradisi lopis raksasa terdiri dari proses persiapan dalam pembuatan lopis raksasa membutuhkan waktu 3 hari 4 malam, dalam proses pembuatan lopis membutuhkan beras ketan kurang lebih ½ kwintal. Berdasarkan penjelasan dari Fahrudin selaku ketua panitia pelaksana kegiatan Tradisi Lopis Raksasa 2023, bahwa beras ketan tersebut merupakan hasil dari sumbangan warga dijadikan satu, dan diperlukan 1000 liter santan kelapa dan daun pisang sebagai pembungkus lopis.
Setelah melalui proses persiapan dan setelah semalaman lopis raksasa sudah matang, waktu paginya dilakukan penghiasan lopis, lalu acara berdoa terlebih dahulu sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan, setelahnya diarak keliling desa dan acara yang terakhir dilakukan pemotongan Lopis oleh Walikota Pekalongan sebelum dibagikan kepada para warga.
Tradisi Lopis merupakan ucapan rasa syukur masyarakat Krapyak yang telah melaksanakan ibadah puasa. Dalam maknanya, kue Lopis sendiri dalam bahasa jawa berarti “Sedoyo lepat nyuwun pangapunten” yang menerangkan jika terdapat kesalahan dari seseorang, baik disengaja maupun tidak disengaja untuk memaafkan kesalahan tersebut. Hal ini sangat mengidentikkan Hari Raya Idul Fitri dimana semua orang saling memaafkan kesalahan dan kembali suci dari dosa-dosa yang telah diperbuat karena telah diampuni oleh Allah SWT.
Kue Lopis mempunyai makna simbolik dari setiap bagiannya, diantaranya adalah; Beras ketan melambangkan nilai Persatuan, karena beras ketan yang masih menjadi butiran-butiran yang terpisah setelah matang teksturnya menjadi sangat rapat dan padat sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain, kemudian butiran-butiran beras tersebut dibungkus dengan daun pisang dan diikat dengan erat.
Bungkus daun pisang melambangkan pohon pisang yang memiliki berbagai macam manfaat, sehingga daun pisang juga mempunyai simbol sebagai pengabdian dan cinta kepada agama dan negara dengan melakukan usaha untuk kemajuan negara atau agama, sebab pohon pisang tidak akan mati sebelum berbuah, yang berarti seseorang tidak akan gugur sebelum ia bisa berbakti kepada negara dan agamanya.. Lopis mempunyai perpaduan rasa didalamnya antara manis, gurih dan asin yang melambangkan roda kehidupan pada manusia itu tidak berjalan dengan mudah dan terdapat berbagai macam rintangan yang harus dihadapi.
Kerukunan antar umat beragama memiliki hubungan erat yang tidak dapat dipisahkan dengan sikap toleransi. Dalam pengimplementasian kerukunan dan toleransi dalam beragama mampu diterapkan dengan baik, maka dapat menciptakan lingkungan yang damai dan harmonis. Dalam mencapai kerukunan antar umat beragama dapat melalui pendekatan dan penerapan sikap toleransi oleh setiap umat agama.
Toleransi memiliki peran penting dalam mewujudkan persatuan di tengah-tengah perbedaan. Pada Tradisi Lopis Raksasa, selain mengandung nilai persatuan, tradisi ini juga berhubungan erat dengan nilai toleransi. Dalam tradisi Lopis raksasa mencerminkan sikap toleransi antar umat beragama yang menunjukkan umat saling menghargai dan menghormati. Berdasarkan penyampaian dari KH. Zainudin Ismail, beliau menjelaskan bahwa dalam proses pembuatan dan pelaksanaan tradisi tersebut tidak membatasi masyarakat yang ingin berpartisipasi dalam tradisi tersebut. Dalam artian tradisi ini tidak hanya diperuntukan bagi umat agama Islam saja, akan tetapi juga memberikan tempat bagi umat agama lain yang ingin berpartisipasi.
Tradisi ini sangat menjunjung tinggi nilai kebersamaan, sebab dengan kebersamaan inilah seluruh masyarakat dapat mengenal dan membangun tongkat persatuan dalam berbagai macam keanekaragaman yang tumbuh dalam masyarakat. Hal ini menggambarkan bahwa dengan melalui pendekatan tradisi yang ada dalam suatu wilayah dapat berperan sebagai jembatan toleransi oleh masyarakatnya untuk mewujudkan kerukunan antar umat agama. Saling menghormati dan membantu pelaksanaan tradisi lopis raksasa ini menandai tercipta toleransi antar umat beragama. Seperti yang telah dikatakan oleh K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur), “Agama Islam tidak melarang adanya perbedaan, akan tetapi Islam melarang adanya perpecahan.”