
Mahasiswa adalah tingkatan kasta tertinggi pembelajar. Mahasiswa adalah pembelajar satu tingkat diatas “siswa”. Dalam leksikal penyebutannyapun, jika dipecah maka akan terdapat dua kata dasar yakni maha dan siswa. Maha berarti sesutau yang tinggi dan siswa berarti seorang pembelajar. Ketika mahasiswa meninggalkan aktivitas utamanya yaitu belajar, patut dipertanyakan apakah dia mahasiswa atau hanya hama siswa.
Hari ini, Indonesia diwarnai dengan berbagai warna mahasiswa salah satu warna yang paling kontras dalam canvas Indonesia adalah mahasiswa yang lebih memilih mempriotiskan kegiatan himpunan, pergerakan atau organisasinya daripada kuliahnya. Hasilnya, banyak diantara oknum pergerakan- pergerakan dan suara-suara lantang mahasiswa hari ini hanya terdengar linu dan ngilu. Memang, alasan aktivis-aktivis hari ini berteriak masuk akal. Seringkali aktivis-aktivis itu beralasan bahwa jika mahasiswa tidak bergerak mahasiswa tidak akan membawa perubahan. Alasan ini sangat bisa diterima bahkan bisa dibenarkan. Namun, jika mahasiwa teresebut meninggalkan kelas intelektualnya, rasanya publik pantas
mempertanyakan suara apa yang mahasiswa itu teriakan dengan lantang. Tidakkah teriakan itu menjadi kosong seperti gentong kosong yang berbunyi nyaring. Maka sangat penting sekali mengimbangi pergerakan dengan pengembangan intelektual.
Keadaan seperti ini akan sangat memperkeruh dunia mahasiswa jika berkepanjangan. Yang dikhawatirkan adalah bukannya akan terjadi perubahan, yang ada malah kehancuran dan perpecahan. Bagaimana tidak, jika dalam diri mahasiswa teriakan sudah menjadi lebih penting daripada kuliah maka daya kritisnya hanya akan menjadi sebuah sikap sentimen yang tidak menghadirkan solusi untuk sebuah permasalahan. Nantinya, -memimjam bahasa Najwa Shihab- hanya akan ada keriuhan yang diamplifikasi sementara gagasan dikerdilkan.
Sebagai perbandingan tingkat intelektual warna mahasiswa ini dan mahasiswa terdahulu yang membawa perubahan. Penulis mengutip tulisan Soe Hok Gie dalam catatan hariannya yang diterbitkan dengan judul catatan seorang demonstran oleh LP3ES. “Hari ini ketika dendam mulai membantu. Ulangan ilmu bumiku 8 tapi dikurangi 3 jadi tinggal 5. Aku tak senang dengan itu . Aku iri kerena di kelas merupakan orang ketiga terpandai dari ulangan tersebut. Aku percaya bahwa setidak tidaknya aku terpandai dalam ilmu bumi dari seluruh kelas. Dendam yang disimpan, lalu turun ke hati, mengeras sebagai batu. Kertasnya aku buang. Biar aku dihukum, aku tak pernah jatuh dalam ulangan.” kutipan tulisan ini sangat menarik karena dalam kutipan ini terlihat bagaimana seorang demonstran seperti Soe Hok Gie adalah juga seorang manusia yang cerdas. Memang, terlihat beberapa kesan sombong dan tidak mau menerima kenyataan dalam tulisan diatas. Namun, jika dilihat dari sisi yang lain tulisan ini menyadarkan mahasiswa hari ini bahwa kuliah lebih penting daripada pergerakan.
Selain itu, yang ditakutkan dari keadaan ini adalah menjalarnya pemikiran taklid buta pada mahasiswa-mahasiswa ini. Karena bagaimanapun tingkat intelektual akan mempengaruhi daya kritis mahasiswa. Artinya, jika taklid buta sudah menjalar maka apapun yang dikatakan senior, juniornya akan menganggap benar menelan bulat-bulat tanpa dikaji serta dikritisi terlebih dahulu. Pembicaraan mengenai taklid buta ini tidak hanya terbatas pada teriakan lantang yang akhirnya hanya jadi teriakan apa. Namun, lebih jauh daripada itu, taklid buta juga menjalar ke ranah pemikiran dan gagasan. Betapa banyak mahasiswa hari ini yang berdiskusi mengenai ide dan gagasan namun tak mengerti susunan logika dalam mengambil konklusi, susunan argumentasi atau bahkan pembacaan kontesktual. Sepertinya terlalu jauh jika mengarah kesana. Hal yang paling mendasar dalam diskusi saja yang dikejar, referensi. Sering kali ide dan gagasan yang didiskusikan bias dengan ide atau gagasan yang orisinil. Apa faktornya? kurang baca. Diskusi ini tidak akan membuahkan hasil apa-apa kecuali mempertajam retorika dan cara bicara seseorang. Akhirnya, mudah ditebak. Yang dilahirkan bukan Socrates atau Aristoteles tapi Protagoras dan Gorgias. Ya, betul, Sofisme. Berbicara memukau tanpa substansial. Diskusi semacam ini hanya akan menjadi sebuah diskusi garang tapi diskusi apa. Alih-alih membuka nalar kritis malah menjalarkan taklid buta.
Lebih buruknya lagi jika tingkat kritis ini sudah hilang maka sikap pragmatisme juga perlahan akan muncul mengalahkan idealisme. Hari ini, sudah terjadi bagaimana orasi-orasi keras dan lantang bisa dibungkam dengan lembaran-lembaran rupiah. Benarlah Tan Malaka pernah berkata “Idealisme adalah kemewahaan terakhir yang dimiliki seorang pemuda”. Jika amplop-amplop dan nasi bungkus sudah bisa membungkam suara lantang idealisme mahasiswa maka kritik-kritik mahasiswa tentang bangsa tidak akan setajam puisi Wiji Thukul yang membela rakyat jelata, tidak akan setajam suara Elang menyuarakan reformasi di depan gedung DPR. Alhasil, dipertanyakanlah apa makna dari orasi-orasi lantang ini.
Memang, menuntut ilmu tidak dapat disempitkan sebatas perkuliahan. Ada banyak pelajaran- pelajaran yang menunggu dipetik diluar kelas. Dalam diskusi salah satunya, diskusi dengan pertukaran gagasan dan ide yang jelas akan melahirkan opini dengan sususan argumentasi yang kuat dan melahirkan mahasiwa dalam makna sejatinya. Dalam buku berikutnya, membaca dapat meningkatkan taraf intelektual dan daya kritis seseorang. Membaca adalah keharusan bagi mahasiswa kalangan apapun. Dengan membaca satu buku seorang mahasiswa dapat memahami dan mengkritisi bebepara persoalan. Ini sudah terbukti oleh mahasiswa-mahasiswa yang telah lalu, bahkan pendiri bangsa ini adalah seorang pembaca berat. Diceritakan dalam otobiografinya, Bung Hatta butuh waktu sekitar tiga bulan untuk merapikan buku-bukunya ketika akan pulang ke tanah air ini yang ketika itu belum merdeka. Dapat dibayangkan apa yang terjadi jika aktivis-aktivis hari ini juga pembaca berat. Daya kritis dan intelektualnya akan meningkat jauh. Artinya, teriakannya akan berdaya dan menjadi pemantik perubahan.
Sepertinya sudah terlalu banyak penulis beretorika dalam kata-kata berbentuk paragraf. Saking menempelnya jubah kritikan ini terhadap penulis, mungkin argumen penulispun menjadi bias dan kacau. Ada baiknya tulisan ini ditutup disini. Penulispun jangan-jangan masuk pada golongan “menulis panjang, menulis apa?”
- Amplop Jurnalis: Perusak Independensi Pers Indonesia - 26 Mei 2023
- Membaca Isyarat Adegan Badai Kemungkinan dalam Film Ant Man Quantumania - 11 Mei 2023
- Teriak Lantang, Teriak Apa? - 15 Desember 2021