Tantangan Pesantren Sebagai Sebuah Subkultur

Sumber : kompas.com
Sumber : kompas.com

Pelecehan seksual akhir-akhir ini sedang ramai diperbincangkan, menyusul adanya beberapa kasus yang mencuat, baik di media elektronik, media cetak, media digital, dan kanal media sosial. Kasus-kasus pelecehan ini tentu saja mengundang banyak polemik di dalamnya. Dimulai dari hukum yang menjadi asas bernaungnya para wanita ataupun anak-anak yang terkena dampaknya, sampai cara pencegahannya yang bervariasi timbul tenggelam seolah menjadi solusi – baik dari para ahli atau malah masyarakat secara umum.

Yang mengundang perhatian penulis pada kejadian kali ini adalah salah satu kasus yang mencuat baru-baru ini. Dimana ada seorang lelaki yang mengaku sebagai pengasuh sebuah tempat belajar ilmu agama, dirinya melakukan pemerkosaan terhadap murid-muridnya hingga dikatakan sampai 12 orang jumlahnya. Beberapa korban, mengaku tengah mengandung dan malah ada yang sudah melahirkan.

Pelaku berinisial HW itu kini tengah diproses secara hukum oleh kepolisian, menyusul adanya laporan perihal terkait. Kronologi serta cerita tentang kasus ini bisa digali dengan sangat mudah. Secara bersamaan dan beramai-ramai, semua mata benar-benar telah tertuju pada kasus ini. Dalam tulisan ini, penulis tak terlalu berminat untuk memberi informasi simpang siur tentang semua hal mengenai kasus HW. Justru yang menjadi perhatian penulis adalah pandangan masyarakat luas terhadap pesantren hari ini, pesantren sebagai subkultur di Indonesia, serta konsep kepemimpinan pesantren yang mengadopsi konsep Primus Interpares.

Pandangan masyarakat luas terhadap pesantren hari ini

Bila melihat pada sejarah panjangnya, masyarakat dan pesantren sungguh tak bisa dipisahkan. Pesantren sebagai subkultur di Indonesia ini bahkan disebarluaskan secara langsung oleh para wali. Tak hanya dari situ, pesantren pertama muncul di Aceh yang dalam pandangan sejarahnya juga dibawa oleh perkembangan masuknya Islam di Indonesia yang dibawa oleh para pedagang dari Gujarat dan Persia. Pesantren sebagai sebuah subkultur, berhasil menjadi plastik perekat bagi Islam yang tengah disebarluaskan. Terbukti ketika masyarakat sebelum Islam di Indonesia yang tengah memeluk Hindu-Budha akhirnya bisa dipeluk dalam cengkraman Islam dengan perekat kuat dari pesantren.

Namun dewasa ini, pesantren terus mengalami perkembangan. Bermacam-macam pesantren terus bermunculan. Hingga pada data terakhir yang dihitung oleh Kementrian Agama Republik Indonesia, bahwa total keseluruhan jumlah pesantren di Indonesia yang sudah mendapatkan izin resmi dari pemerintah berjumlah 26.975 pesantren di seluruh Indonesia. Pesantren yang begitu banyak itu tak semuanya sama. Masing-masing memiliki perbedaan yang cukup siginifikan. Dari mulai lembaga pendidikan yang disediakannya, konsep tata ruang, konsep pembelajaran, fokus kurikulum, tradisionalitas, semi modernitas, hingga modernitas. Semua itu hanya perbedaan yang tak mempengaruhi laju pesantren sebagai sebuah subkultur yang begitu berpengaruh banyak bagi kehidupan masyarakat di Indonesia.

Dalam bukti perjalanannya, pesantren telah mampu menjadi sebuah lembaga yang membantu banyak bagi kemerdekaan negeri ini. Tentara Hizbullah yang dibentuk adalah salah satu bukti nyata sebuah jasa besar pesantren dalam memperjuangkan kemerdekaan. Melalui hal itu pula, Tentara Negara Indonesia ada hingga saat ini.

Pesantren juga dipandang sangat dekat dengan masyarakat. Sebuah pesantren biasanya memiliki seorang kiai yang menjadi pimpinan tertinggi dalam struktural maupun kultural di pesantren itu. Namun, dalam perjalanannya juga, justru kiai yang memimpin pesantren-pesantren tersebut tak jarang akhirnya dihormati secara kultural oleh masyarakat di sekitarnya. Tak hanya masyarakat di sekitarnya, masyarakat luar daerah dengan letak geografis yang relatif jauh juga tak jarang menjadikan kiai sebagai sebuah tumpuan untuk dijadikan inspirasi serta panutan dalam bidang spiritual.

Dalam hal ini, maka terbuktilah pesantren dengan jenis apapun itu, sangat layak dipandang sebagai sebuah subkultur yang begitu baik di masyarakat. Namun, sebuah subkultur terkadang tak bisa terus berdiri kokoh di tengah-tengah kultur besar yang menaunginya. Itulah yang membuat pesantren hari ini banyak yang mulai terbuka terhadap modernitas yang ada. Meski masih ada beberapa yang menutup diri dengan mempertahankan kulturnya sendiri, tradisionalitas pesantren masih terus dijaga oleh beberapa yang lain.

Di sisi lain, pesantren dengan konsep hirarki yang dipakainya, serta sebagai sebuah subkultur dengan kulturnya sendiri membuat pandangan masyarakat awam justru tak bisa leluasa melihat bagaimana pesantren sebenarnya. Masyarakat awam, baik itu islam maupun luar islam, pada akhirnya tetap saja hanya bisa melihat pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan keagamaan saja, tak lebih dari itu. Akibatnya, ketika ada beberapa kasus yang justru ternilai sebagai kasus yang sangat bisa menodai Islam itu sendiri, sebagian kelompok masyarakat itu akhirnya membuat konklusi sendiri terhadap sebuah pesantren. Dampak dari beberapa kasus yang menjerat nama pesantren dari mulai kasus terorisme, pelecehan seksual, hingga kasus berat yang lainnya membuat pandangan sebagian masyarakat terhadap pesantren akhirnya menuai polemik.

Sebagai sebuah contoh, Nong Andah Darol Mahmada seorang aktivis perempuan yang memberikan cuitannya dalam utas di Twitter tentang pandangannya terhadap pesantren. Dia mengaku bahwa pesantren yang justru tertutup membuat tak ada pedoman pencegahan pelecehan seksual bagi anak-anak yang ada di pesantren. “Justru itu yang harus dibongkar. Mungkin pesantren dianggap sebagai institusi berdasarkan Islam atau mendidik nilai-nilai Islam lalu percaya saja bahwa tidak akan melakukan hal yang dilakukan HW ini.” ungkapnya dalam keterangan yang ditulis oleh redaksi BBC News Indonesia.

Respon tersebut mengundang penulis untuk menuliskan hal ini. Sebab benar adanya, hari ini tak sedikit kasus-kasus yang menjerat nama baik pesantren yang sudah begitu lama menjadi tempat bernaungnya masyarakat terhadap nilai-nilai keislaman.

Pesantren juga dianggap kebal terhadap hukum pidana. Sebagai sebuah subkultur dengan aturan kuasa yang mereka miliki sendiri, pesantren seperti tak membuka ruang bagi publik untuk mengetahui apa yang dilakukannya terhadap kasus-kasus pidana yang terjadi di dalam tubuh mereka. Meski begitu, hal ini rasanya perlu juga penulis luruskan. Sebab sejatinya, hari ini, pemerintah sudah sangat dekat dengan kalangan pesantren. Bukti besar dari hal itu adalah diresmikannya sebuah peringatan hari santri untuk mengenang jasa besar santri pada masa resolusi jihad yang dilakukan kaum santri dan pesantren dahulu.

Beberapa masyarakat awam melihat pesantren justru seperti sebuah padepokan atau markas rahasia yang besar dan terlindungi serta senyap. Padahal sebenarnya hari ini pesantren sudah sangat berdampingan bahkan jauh sebelum kemerdekaan. Kedekatan pesantren dengan masyarakat, juga kepercayaan masyarakat terhadap pesantren menjadi bukti bahwa sejatinya pesantrenlah satu-satunya subkultur paling berjasa di negeri ini.

Perihal keterbukaan pesantren sebenarnya sudah bisa diselesaikan. Namun lagi-lagi, banyaknya variasi dari macam-macam serta bentuk pesantren itulah yang mempengaruhi adanya pandangan ‘buruk’ terhadap pesantren saat ini. Maka benar adanya, jika pengawasan perihal izin resmi Kementrian Agama benar-benar sangat dibutuhkan. Paling tidak, negara bisa tahu apa yang akan dilakukan pesantren tersebut untuk memupuk para santrinya.

Hal ini juga yang membuat para kiai kalangan pesantren tradisional yang begitu terbuka terhadap modernitas yang ada, akhirnya membuka banyak suara. Beberapa aktivis keagamaan keluaran pesantren pun ikut menyuarakan perihal pemberitaan media yang menyebut HW itu sebagai pengasuh pesantren. Mereka meminta terhadap media untuk segera mengganti redaksi ‘pesantren’ menjadi Boarding School atau ‘Asrama’. Sebab memang benar adanya, kasus yang menjerat HW ini adalah kasus yang menjerat lembaga pendidikan formal. Maka dari itu, dinilai sangat penting adanya sosialisasi terhadap perbedaan-perbedaan kelembagaan dalam pendidikan islam di Indonesia ini terhadap masyarakat luas. Sebab sejatinya, baik itu kiai, ustad, tokoh, pemuka agama, pendeta, biksu, pemeluk kepercayaan, hingga yang tak percaya Tuhan sekalipun, sama-sama manusia yang tak pernah luput dari salah dan lupa. Maka ikhtiar atau usaha semua agama untuk memupuk jiwa spiritualitas umatnya inilah yang menjadi tujuan menghalau adanya penyimpangan perilaku di masyarakat. Meski begitu, hari ini terbukti, siapapun bisa membuat kesalahan bahkan menodai agamanya sendiri sekalipun.

Pesantren sebagai subkultur di Indonesia

Sebagai sebuah subkultur, pesantren tak henti-hentinya mengundang perhatian di tengah masyarakat. Kehadirannya yang begitu besar membuat posisinya terus diperhitungkan.

Terlebih, pesantren ini adalah lembaga yang terstruktur. Berbeda dengan subkultur yang lain yang sering terjadi, pesantren terlihat lebih rapih dan terstruktur. Tak hanya itu, sebagai sebuah subkultur, pesantren juga memberikan hasil yang baik bagi masyarakat, terkhusus umat Islam. Masyarakat Islam akhirnya mempercayakan terhadap pesantren sebagai sebuah lembaga yang bisa memupuk nilai-nilai keislaman, ruhaniyah, serta segi moralitas. Tak jarang, lulusan pesantren jika menjadi tokoh ternama terlihat begitu dielu-elukan sebab ciri khas yang dimilikinya yang terbawa seolah-olah juga telah menjadi ciri khas yang diberikan oleh dampak sebuah pesantren.

Pesantren juga berhasil menjadi pendamping masyarakat selama puluhan tahun. Dimana akhirnya umat Islam itu sendiri merasa pesantrenlah yang paling cocok untuk menaungi urusan spiritualitasnya. Bahkan dalam sisi yang lain, pesantren sebagai sebuah subkultur memberikan dampak besar bagi politik di Indonesia. Terbukti dari banyaknya pejabat yang menjalin kedekatan bersama dengan pihak pesantren, terlepas itu mengambil citra, mengambil suara para masyarakat yang mengikuti pesantren itu, atau malah untuk menuntun jiwa spiritualitasnya. Hanya yang jelas, hingga kini, hanya pesantren lah subkultur yang begitu terlihat besar dan berpengaruh bagi kehidupan masyarakat di Indonesia.

Konsep kepemimpinan pesantren yang mengadopsi konsep Primus Interpares

Konsep Primus Interpares adalah frasa Latin dengan makna yang pertama di antara yang sederajat atau yang pertama di antara yang setara. Konsep ini terlihat lekat dalam konsep kepemimpinan di pesantren. Dimana seorang kiai dianggap begitu terhormat oleh para santrinya. Meski pesantren sendiri atau bahkan Islam sendiri sangat berpegang teguh pada urusan kesetaraan dalam hal apapun, pesantren tetap menghormati kiai yang menjadi pimpinannya.

Tak hanya tertulis dalam struktural kelembagaannya, pesantren juga mengadopsi hal ini pada segi kulturalnya. Dimana para santri akan sangat begitu menghormati serta patuh terhadap gurunya atau kiai. Sebab islam sendiri memang mengajarkan hal itu. Hal inilah mungkin yang kemudian dijadikan kekeliruan yang fatal yang menimbulkan pandangan sedikit buruk terhadap pesantren. Padahal justru ini adalah konsep yang baik untuk memupuk nilai-nilai keislaman, serta menumbuhkan jiwa spiritualitas yang baik.

Dalam sisi yang lain, justru hal ini dijadikan kesempatan oleh beberapa orang. Seperti beberapa kasus yang mencuat hari ini. Pemimpin sebuah lembaga pendidikan islam yang tak layak disebut pesantren itu justru terlihat memanfaatkan hal ini. Dengan iming-iming ‘patuh terhadap guru’ yang begitu dihayati oleh para santri akhirnya dinodai oleh orang itu sendiri. Hal ini yang membuat penulis merasa miris. Dimana justru konsep dari suratan suci yang tertulis bagi pedoman hidup itu malah dijadikan tameng untuk melakukan segala hal yang mengungkung nafsunya. Sebab sejatinya, kiai pesantren tak pernah meminta untuk dipatuhi, dalam penuturan presiden ke-3 Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid dalam sesi wawancara di acara talk shaw di sebuah stasiun televisi, dirinya mengungkapkan sendiri bahwa semua perintah dari gurunya itu wajib dia laksanakan, tak bisa ditawar-tawar. Hal itu bukti bahwa kepatuhan itu justru menjadi kultur yang mengakar kuat dari dalam diri para santri itu sendiri, tanpa ada intervensi berlebih dari para kiai.

Dari tulisan ini, penulis berharap dapat memberikan perspektif baru bagi kalangan masyarakat yang belum sepenuhnya mengenal pesantren. Namun, di sisi lain, penulis juga sangat mendukung masyarakat yang sedang terus begitu vokal menyuarakan hukum tindak pidana bagi pelaku pelecehan seksual, bahkan bila itu dilakukan oleh pihak pesantren sekalipun. Sekali lagi penulis tegaskan, bahwa kita semua manusia penuh salah dan lupa, hanya bisa terus berusaha mengendalikan diri dari cengkraman keburukan dalam diri kita yang merupakan bagian dari fitrah manusia.