- Ilustrasi. Nyarita.com
Pada hari kamis lalu, (02/09). Artis Saipul Jamil resmi bebas dari penjara, usai divonis delapan tahun penjara (menjadi lima tahun setelah dikurangi masa potongan tahanan dan remisi) dalam kasus pencabulan anak dan penyuapan terhadap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Kasus yang menjerat Saipul Jamil ini adalah satu dari begitu banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan. Menurut Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (PPPA), ada sekitar 7.191 kasus pada sepanjang tahun 2020 lalu. Kemudian, kasus tertinggi dari seluruh kekerasan pada anak dan perempuan mencapai 11.637 kasus.
Selain Saipul Jamil, menurut data yang diambil dari KPAI, terdapat dua kasus kekerasan seksual pada anak yang menyita perhatian publik. Pertama, kejahatan jual beli anak-anak NTT dalam bisnis pedofilia di Puncak, Cianjur, Jawa Barat. Kedua, kasus kejahatan seksual anak oleh biarawan gereja Depok, L alias “Bruder Angelo” yang hingga kini proses hukumnya masih terlihat tidak jelas. Dikutip dari BBC News Indonesia.
Tak hanya di Indonesia, glorifikasi pelaku kekerasan seksual juga sering dikritik. Sebut saja Aktor Bill Cosby dan sutradara Roman Polanski yang merupakan dua di antaranya. Bill Cosby dituding melakukan kekerasan seksual terhadap sedikitnya 60 korban. Namun, masih ada yang memperlakukannya bak pahlawan. Sedangkan sutradara Roman Polanski pernah melakukan kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur pada 1977. Naasnya, ia masih tetap menyabet sejumlah penghargaan film. Bahkan, tahun lalu Polanski dinobatkan sebagai sutradara terbaik di Cesar Award 2020. Akibat dari penganugerahan penghargaan itu, aktris Adele Haenel walk out untuk memprotes pemberian penghargaan itu. dikutip dari video yang diunggah akun instragram Najwa Shihab.
Dalam kasus Saipul Jamil kini, setelah kebebasannya dari masa penahanan di penjara, dia dijemput dengan mobil Porsche berwarna merah dan diarak sambil dikalungi bunga. Tak lama dari situ, Saipul juga diberikan panggung oleh pihak Televisi secara langsung pada acara Kopi Viral Trans TV.
Hal itulah yang menyita perhatian publik. Pasalnya, hal tersebut dinilai sebagai sebuah ‘glorifikasi’ terhadap pelaku kekerasan seksual. Yang mana, banyak orang sangat menyayangkan hal tersebut, karena dinilai dapat mengubah persepsi masyarakat terhadap pelaku kekerasan seksual, bahwa kekerasan seksual ini adalah sesuatu yang biasa-biasa saja.
Seperti yang diungkapkan Monika Yuliarti, Pengajar Ilmu Komunikasi di Universitas Sebelas Maret, yang mengungkapkan bahayanya glorifikasi terhadap pelaku kekerasan seksual pada video yang diunggah akun Najwa Shihab dalam chanel Narasi.com di Instagramnya. “Saya takutnya, orang-orang, para penonton televisi, malah menganggap bahwa (kasus) penyebab Saipul Jamil ini masuk penjara (dianggap) menjadi sesuatu yang dimaklumi. Orang-orang takutnya nanti ada semacam desentivitas dari kita. Jadi orang sudah enggak merasa malu lagi kalau kita melakukan kekerasan seksual misalnya. Orang enggak merasa salah kalau melihat (pelaku) kekerasan seksual.”
Selain Monika, beberapa pegiat seni dan artis juga mengkritisi adanya glorifikasi yang dilakukan salah satu stasiun Televisi itu, sebut saja Angga Sasongko, CEO dari visinema, dirinya mengungkapkan sikapnya terhadap hal tersebut melalui unggahan twitter yang ditulisnya, “menyikapi hadirnya Saiful Jamil di televisi dengan cara yang tidak menghormati korban, maka kami memberhentikan semua pembicaraan kesepakatan distribusi film Nussa & Keluarga Cemara dengan stasiun TV terkait, karena tidak berbagi nilai yang sama dengan karya kami yang ramah anak.”
Angga juga menambahkan, “pemberitahuan ini dimaksudkan untuk mendukung gerakan yang melawan dirayakannya pelaku kekerasan seksual pada anak di media-media, serta menjadi kesadaran bersama akan pentingnya media-media yang menghargai anak-anak kita.”
Selain sikap-sikap yang dikeluarkan oleh para artis, solusi lain untuk menyikapi adanya glorifikasi ini telah dibahas oleh salah satu tokoh terkemuka, yakni Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Era Purnama Sari, dia mengatakan bahwa kasus kekerasan seksual tidak berhenti, ketika pelaku menyelesaikan hukuman pidananya – ditambah lagi terjadi ‘glorifikasi’.
Sari juga menyarankan harus adanya kerangka hukum yang mengatur lebih rinci mengenai perlindungan korban hingga penjeraan terhadap pelaku – untuk dalam kasus Saipul Jamil adalah harus adanya pemantauan dan evaluasi bagi para pelaku yang telah keluar dari penjara.
“makannya, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (Pungkas) menjadi penting, untuk mendorong berbagai pihak untuk menyediakan mekanisme perlindungan dan pencegahan terhadap kasus kekerasan seksual yang dalam UU lain tidak ada secara spesifik.” Tambah Sari. Dikutip dari BBC News Indonesia.
Maka, dengan adanya kasus ini, menjadi momentum yang pas untuk mengadakan konsep rehabilitasi dan pembinaan bagi pelaku kejahatan seksual. Karena paling tidak, pelaku kejahatan seksual ini menyangkut terhadap psikisnya yang terganggu. Apabila hanya dikenakan sangsi dengan dipenjara selama bertahun-tahun, dan ditambah setelah keluar malah dibebaskan begitu saja tanpa pantauan secara khusus, maka kemungkinan kasus seperti itu terus terjadi dan dilakukan oleh orang yang sama masih sangat besar.
Selain adanya kekhawatiran perihal persepsi masyarakat terhadap pelaku kekerasan seksual yang dianggap biasa saja, glorifikasi yang terjadi ini bisa menimbulkan dampak lebih besar pada korban.
Beberapa sikap juga dikeluarkan oleh banyak pihak menyoal hal tersebut. Mereka mengkhawatirkan adanya trauma yang berlebih. Ditambah lagi, korban ini harus melakukan pemulihan yang semakin lama setelah melihat ternyata masyarakat lebih memilih untuk melupakan kasus berat yang pernah dilakukan sang pelaku kekerasan seksual.
Dengan begitu, rehabilitasi, pengkajian undang-undang terhadap kekerasan seksual, perlakuan media-media, serta pemahaman masyarakat terhadap bahayanya kekerasan seksual dan peng-glorifikasiannya ini perlu dilakukan secara cepat dan mendapatkan keputusan yang dianggap memenangkan korban dibanding pelaku.
Meski begitu, media-media akhirnya meminta maaf dan akan mengkaji lagi penayangan terhadap pelaku kekerasan seksual di televisi ataupun platform media yang lain. Selain itu, petisi yang dikeluarkan oleh Change.id untuk memboikot penayangan pelaku kekerasan seksual di hadapan publik akhirnya membuahkan hasil, yakni permintaan maaf secara langsung dari pihak televisi yang bersangkutan.
Semoga, kasus ini menjadi pelajaran untuk selanjutnya, bahwa tak ada lagi yang harus diberikan pada pelaku kekerasan seksual – mau siapapun dia – selain rehabilitasi.