Surat Kaleng

Ilustrasi.

BRRUKK!

“Arrgghhh …!”, erangku yang terjatuh dari kasur.

Lagi, aku terbangun setelah tubuhku menghantam lantai kamar dengan guratan air liur yang mengering di pipi kanan dan kiri. Kantukku seketika lenyap meski tubuh masih tengkurap di sisi ranjang. Mataku berpijar menelisik seisi bawah kasur, sampai satu benda menarik perhatianku.

Masih di posisi yang sama, aku mencoba meraih benda itu dengan lengan kiriku yang panjang. Jari-jemariku terulur menemui debu-debu halus yang bersarang di bawah ranjang. Sudah satu bulan kubiarkan laba-laba membangun rumah di sana.

“Dapat!”, seruku setelah berhasil mendapatkannya.

Sebuah kaleng. Tidak. Tepatnya surat di dalam kaleng. Ya, di dalam kaleng minuman itu tergulung sepucuk kertas yang begitu mencuri rasa penasaranku. Benar saja, isinya surat sungguhan tanpa dibubuhi nama pengirim. Namun lucunya, si pengirim menceritakan siapa dirinya dalam surat tersebut.

“Huh?!”, sentakku begitu membaca kalimat pertamanya.

Aku adalah dirimu di masa depan.

Aku mengucek dan membersihkan sudut-sudut mata jika saja ada butiran emas yang menghalangi pandanganku. Lalu berkedip beberapa kali sebelum kembali fokus pada isi surat. Kuteruskan kalimat terakhir dengan sepasang mata yang memicing.

Maaf, aku tak bisa menjadi yang kau inginkan.

Selesai. Tak ada pesan lain selain dua kalimat aneh dan di luar dugaan. Sama sekali tidak penting. Kuremas kertas putih itu dan kulempar ke sembarang arah. Aku yakin ada seseorang yang sengaja berniat menjahiliku.

Aku bergegas melalui hariku yang seperti kemarin. Bernapas, berusaha dan berdo’a semua yang kulakukan hari ini akan membuahkan hasil di kemudian hari. Usai memenuhi panggilan alam, aku menyeruput secangkir teh hangat sambil memerhatikan jumlah pengguna yang membaca karya tulisku sejak semalam. Lagi-lagi tak sampai ekspektasiku.

Aku adalah penulis lepas yang menuangkan karya di beberapa tempat. Sudah lima tahun aku bergelut dengan kosakata dan diksi. Selama itu pula aku tak pernah meliburkan diri untuk membaca dan mencari banyak referensi. Seorang senior berpesan bahwa “Penulis yang baik berasal dari pembaca yang baik“. Itulah mengapa aku selalu mengisi waktu luangku dengan buku.

Tetapi pagiku kembali murung melihat jumlah pembaca yang tak seberapa. Berbanding jauh dengan karya penulis lain yang jumlah pembacanya meningkat pesat. Aku selalu di titik 0 meski sudah berusaha mati-matian. Sedangkan mereka yang bahkan masih tergolong seniman baru sudah meroket bak penulis tingkat dunia.

Kurenungkan, tak ada yang salah dengan upayaku. Sudah ratusan atau bahkan ribuan buku kubaca dan kupelajari. Sudah banyak tempat yang kusinggahi demi memunculkan ide-ide segar. Bahkan usaha-usaha kecil pun kusertai dengan do’a. Tapi hasil yang kuperoleh masih tak sepadan dengan karya penulis lain. Aku tak puas.

Suara ketukan kecil berirama timbul dari jari-jemariku yang bernari di atas meja. Suaranya silih berganti dengan detak jarum jam di dinding kamar. Kedua alisku nyaris bertaut dan aku yang berkecamuk dengan isi pikiranku sendiri. Hingga kepalaku menoleh ke arah kasur. Aku kembali tertarik dengan isi surat yang kubaca beberapa menit lalu.

Kulihat dan kubaca lagi. Entah apa yang membuatku seolah percaya bahwa surat itu benar-benar ditulis dari masa depan. Ujung bibirku mulai tertarik ke atas melihat huruf-huruf kecil yang menyusun kata di sana. Tanpa sadar kurobek secarik kertas dari buku harianku dan menulis beberapa kalimat sebagai balasan.

Aku memaafkanmu. Siapa pun kau sekarang, kuakui kau hebat.

Kumasukkan surat balasan itu ke dalam kaleng setelah kugulung menjadi lebih kecil. Kemudian kembali kuletakan kaleng tersebut di tempat di mana aku menemukannya.

Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Aku masih bersama secangkir teh hangat dan hati yang panas memaki karyaku sendiri. Aku kembali bersama jatuh dan bangunku yang entah sampai kapan akan usai. Aku masih terus berusaha meski tau hasilnya tetap sama.

BRUUKK!

Aku terjatuh dari kursiku setelah tak sadar terlelap di depan layar. Pandanganku yang masih berkabut menemukan kaleng yang beberapa bulan lalu kuletakkan di bawah ranjang. Melihat isinya seketika membuat kedua mataku terbelalak. Aku mendapat balasan!

Lagi, si pengirim hanya membalasku dengan kalimat singkat.

Tentu saja, siapa lagi yang dapat menghargai usahaku selain diriku sendiri.”

Seketika aku menatap pantulan diriku di layar laptop. Kurasa aku tau sumber masalahnya. Usaha dan doa memang perlu, tapi tak akan pernah cukup jika diriku sendiri tak bisa menghargai itu.

Thiara Chairun Nisa
Latest posts by Thiara Chairun Nisa (see all)