Sosrokartono Sang Penyulut Kemerdekaan

Gambar: Internet
Gambar: Internet

Terlahir dari kalangan bangsawan ini memberikan kesempatan pada Sosrokartono untuk mengenyam pendidikan seluas-luasnya bukan hanya di dalam negeri tapi dia juga memiliki kesempatan belajar keluar negeri. Keluarga Sosrokartono juga sangat memahami betapa pentingnya pendidikan itu, kondisi ini pun Sosrokartono manfaatkan untuk belajar dengan sungguh-sungguh, terbukti dia menjadi mahasiswa pertama Indonesia yang berprestasi di Universitas Leiden ditambah lagi dia menguasai banyak bahasa. Semenjak bersekolah di Semarang, jiwa nasionalisme nya sudah ada dalam diri Sosrokartono, terbukti dia selalu menolak untuk hadir dalam acara-acara pesta dansa yang menurutnya itu bukan tradisi orang jawa. Sosrokarto juga menjadi Inspirasi dari adiknya R.A. Kartini, saat Sosrokartono sekolah di semarang dia selalu mengirimkan buku-bukunya untuk Kartini yang kemudian menjadikan Kartini perempuan yang berpengetahuan luas dan menjadi pejuang emansipasi perempuan.

Di Belanda Sosrokartono dipercaya menjadi anggota Institut voor Labden Volkenkunde, sebuah institusi penelitian yang fokus melakukan riset terhadap kebudayaan suku bangsa Nusantara. Dengan menjadi anggota dia bisa mendalami perkembangan kebudayaan Nusantara yang beragam. Sosrokartono juga bergabung dengan majalah “Bintang Hindia.” Majalah ini diasuh oleh Dr. Abdul Rivai, Dr. H.C.C. Clokener dan R.M.A. Koesoemo Yoedho. Di masa inilah tulisan Sosrokartono yang berisi soal semangat nasionalisme mulai beredar di “Bintang Hindia”. Pada 1923, ketika geliat nasionalisme tanah air semakin kuat, majalah ini berubah mananya menjadi “Indonesia Merdeka”.

Sosrokartono juga turut menginisiasi berdirinya Indische Vereeniging pada 15 November 1908. Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia) merupakan sebuah organisasi mahasiswa Indonesia (saat itu namanya masih Hindia Belanda) di Negeri Belanda. Pendiri organisasi ini antara lain: Sosrokartono, Hoesein Djajadiningrat, R.N. Noto Soeroto, Notodingrat, Sutan Kasyayangan, Sumitro Kolopaking dan Apituley. Pada tahun 1922 namanya berubah menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) dan pada tahun 1925 namanya diganti dengan bahasa melayu menjadi Perhimpoenan Indonesia. Organisasi ini merupakan organisasi pertama yang menggaungkan semangat nasionalisme dan kemerdekaan di Negeri Belanda, dan Sosrokartono memiliki pengaruh yang kuat dalam organisasi tersebut.

Nasionalisme Sosrokartono

Sebelum Tan Malaka, Hatta, Syahrir, Husein Djajadiningrat dan anak-anak Indonesia lainnya bersekolah di Belanda. Sosrokartono terlebih dulu yang bersekolah di negeri kincir angin itu, dan Sosrokartono merupakan orang pertama yang menyenyam pendidikan di luar negeri. Sosrokartono adalah anak bangsa yang memiliki pemikiran cerdas. Prof. Kern menyebutkan dalam tulisannya di majalah Studies Volksracht 1903 bahwa dirinya pernah mempunyai mahasiswa asal jawa yang sangat cerdas dalam menggunakan bahasa Belanda yang idiomitis.

Pada Kongres Bahasa dan Sastra Belanda ke 25 di Gent Belgia. Dalam kongres itu Sosrokartono menyampaikan sebuah pidato yang berjudul “Het Nederlandsche in Indie” (Bahasa Belanda di Hindia). Ini tergolong pidato yang sangat mengagumkan dan sangat bersejarah. Sebab dalam pidatonya itu Sosrokartono menyuarakan hak-hak warga bumiputera di Hindia Belanda yang tidak diperhatikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pidatonya itu dia jadikan ajang untuk menyampaikan tuntutan kepada pemerintah Belanda agar memperhatikan kondisi hidup masyarakat bumiputera, terutama dalam hal pendidikan.

Selain itu, dalam forum itu juga, Sosrokartono membela habis-habisan tradisi dan budaya bangsanya di tengah kuatnya arus imprealisme asing (Belanda). Dengan tegas dia menyatakan, selama matahari dan rembulan masih bersinar, dia akan terus menentang dan menjadi musuh dari siapapun, dari bangsa dan etnis apapun yang hendak membuat bangsanya (bangsa bumiputera) menjadi bangsa Eropa atau setengah Eropa. Dia juga menegaskan dirinya sebagai musuh bagi mereka yang mencoba menginjak-injak, menistakan dan merendahkan tradisi dan budaya bangsanya bumiputera yang luhur dan suci. [1]

Pidato pada Kongres di Gent Belgia itu mencermintan bahwa Sosrokartono memiliki kecintaan terhadap keluhuran tradisi dan budaya sebuah bangsa mesti dipertahankan orang-orang pribumi dimana saja dirinya berada. Ini artinya seorang Jawa bisa hidup di Eropa tapi tetap berkepribadian Jawa, bukan Eropa atau setengah Eropa. Dengan berbekal pengetahuan yang luas dan terbuka, Sosrokartono juga menyampaikan tuntutan sebagaimana yang disampaikan kepada Rooseboom sebelumnya, supaya bahasa belanda dan bahasa internasional lainnya diajarkan di Hindia Belanda, dengan tujuan supaya warga bumiputera bisa mempertahankan dan mengebangkan keluhuran tradisi budaya dan harga diri mereka. Satu buan setelah kongres itu kemudian pidato Sosrokartono dimuat di majalah bulanan Nederlandia, pidatonya itu dimulai dengan pembukaan seperti ini:

“Kawan-kawan! Terimalah salam untuk anda semua dari salah seorang putra Bumiputra (Indonesia) yang datang kemari untuk menyampaikan penghargaan dan simpati pada kongres ini. Anda kami sebut kawan, oleh karena kita sama, meskipun berlainan kebangsaan, warna kulit, tradisi, dan kebiasaan, tetapi kita bersama-sama berjuang guna mencapai satu tujuan yang sama. Menyebarluaskan serta memelihara bahasa Belanda. Memang berbeda-beda yang menjadi dorongan kita untuk datang kemari. Anda datang kemari terdorong oleh rasa cinta terhadap bangsa anda yang indah lagi tegas. Adapun saya datang kemari menemui anda untuk membela tentang faedahnya mengenal bahasa anda bagi kami bangsa bumiputra.”[2]

Penggalan pidato Sosrokartono di atas menegaskan tentang perlunya bahasa Belanda disebarkan di daerah-daerah atau negara-negara yang menjadi jajahan Belanda, termasuk di Hindia-Belanda. Dalam sejarahnya, Belanda di awal-awal kedatangannya di Hindia (Indonesia) tidak bersedia mengajarkan secara luas bahasa Belanda kepada kaum pribumi. Akibatnya hanya sedikit kaum pribumi yang yang bisa berbahasa Belanda. Hal ini menyebabkan kaum pribumi ketinggalan informasi dan ilmu pengetahuan karena buku-buku yang tersebar di Hindia Belanda kebanyaan buku-buku berbahasa Belanda.

Perlunya masyarakat Jawa belajar bahasa Belanda itu tiada lain adalah untuk meningkatkan ilmu pengetahuannya supaya anak-anak bumiputera bisa memberdayakan diri dan mampu bangkit dari keterpurukannya. Hal ini ia tegaskan dalam pidatonya lebih lanjut:

“Selanjutnya, kamu putera-putera bumiputra, untuk kepentinganmulah saya memberanikan diri berbicara. Dengarkanlah lonceng telah berbunyi. Sudah sampai pada waktunya bahwa kau harus bangun dari tidur nyenyak, guna membela hak-hakmu, ialah hak berlomba mengejar kepandaian, kecerdasan serta keuletan dengan mereka yang budi pekerti serta kepintarannya melebihi padamu. Demikianlah kamu akan merupakan berkah anugerah bagi negaramu. Tinggalkan belenggu berwujud syakwasangka yang menjepitmu , tngkatkanlah kepandaian dan kecerdasanmu selaras dengan bakatmu serta tegakanlah dengan berani budi pekertimu.”[3]

Dalam pidatonya ini, Sosrokartono dari Belgia menyerukan kepada bangsanya, warga bumiputera untuk bangkit dengan cara meningkatkan ilmu pengetahuan. Bagi Sosrokartono pendidikan dan ilmu pengetahuan merupakan hak seluruh umat manusia, termasuk warga bumiputra. Bagi dia jalan untuk menegakkan harga diri, martabat dan kedaulatan warga pribumi adalah dengan penguasaan ilmu pengetahuan. Jelas disini bahwa Sosrokartono memiliki semangat nasionalisme yang sangat besar terhadap bangsanyaa dan dia mampu menyulut semangat pergerakan nasional di tanah air.

Humanisme Sosrokartono

Setelah pengembaraannya yang panjang di Eropa, Sosrokartono kembali ke Indonesia, dia mengabdikan dirinya untuk kemanusiaan. Dia menjadi seorang asketis (zuhud). Inti dari laku spiritual dan intelektual Sosrokartono hanya satu yaitu membela mereka yang lemah dan tertindas. Makna ini tercermin daam visi hidupnya “Ngawulo Marang Kawulane Gusti”. Kalau diterjemahkan berarti “mengabdi kemanusiaan”. Sosrokartono rajin tirakat, tujuannya agar dirinya turut merasakan penderitaan dan ratap tangis saudaranya dan sesamanya itu. Sosrokartono semakin total melayani masyarakat tanpa pamrih. Dirinya pun rela meninggalkan segala kemewahan dan kenikmatan duniawi demi menolong sesama. Hal ini seperti yang dia ungkapkan sendiri :

Setelah pengembaraannya yang panjang di Eropa, Sosrokartono kembali ke Indonesia, dia mengabdikan dirinya untuk kemanusiaan. Dia menjadi seorang asketis (zuhud). Inti dari laku spiritual dan intelektual Sosrokartono hanya satu yaitu membela mereka yang lemah dan tertindas. Makna ini tercermin daam visi hidupnya “Ngawulo Marang Kawulane Gusti”. Kalau diterjemahkan berarti “mengabdi kemanusiaan”. Sosrokartono rajin tirakat, tujuannya agar dirinya turut merasakan penderitaan dan ratap tangis saudaranya dan sesamanya itu. Sosrokartono semakin total melayani masyarakat tanpa pamrih. Dirinya pun rela meninggalkan segala kemewahan dan kenikmatan duniawi demi menolong sesama. Hal ini seperti yang dia ungkapkan sendiri :

“Makanan yang enak-enak saya jauhi, saya tolak. Sehari-hari yang saya makan hanya cabai. Hanya cabai saja, tanpa dengan yang lain-lain, artinya  untuk merasakan sakit dan penderitaan kehidupan sesama.”

Itulah salah satu cermin dari asketisme intelektual Sosrokartono. Yang dibela Sosrokarto jelas bukan Tuhan karena dia sudah maha segalanya, melainkan umat manusia yang lemah. Dalam konteks pembelaan terhadap mereka yang lemah dan tertindas inilah, panggilan iman Sosrokartono termanifestasikan. Iman dan agama dalam kehidupan Sosrokartono merupakan sesuatu yang sosial dan membumi, bukan sekedar ritus dan moralitas absurd yang mengawang-ngawang dilangit. Menjelang wafat, Sosrokartono masih melakukan tirakat dengan berpuasa dan tetap melayani orang-orang yang sakit yang datang kerumahnya. Entah berapa puluh ribu orang yang telah ditolong oleh Sosrokrtono, dia abadi sebagai sosok pejuang kemanusiaan.

 

Referensi

[1] Dikutip dari Hadi Priyanto, Sosrokartono: De Javasche Prins, Putra Indonesia yang Besar, (Jepara: Pustaka Jungpara 2013) hlm. 17

[1] Dikutip dari Aguk Irawan, Sosrokartono: Novel Biografi R.M.P Sosrokartono, Guru Soekarno, Inspirator Kartini, (Tangerang Selatan: Imania, 2018), hlm. 183

[3] Muhammad Muhibbuddin, R.M.P Sosrokartono: Kisah Hidup dan Ajaran-Ajarannya, (Yogyakarta: Araska Publisher 2019) hlm 111