Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia merupakan roda gerakan mahasiswa yang telah tegak berdiri sejak 63 tahun silam. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang selanjutnya disebut PMII telah berhasil bertahan dari berbagai gelombang perubahan.
Kohesi sosial dan kemampuan kader-kader PMII dalam membaca gerak peradaban telah berhasil menghantarkan organisasi pada kondisi serta situasi saat ini. Setengah abad lebih PMII membuktikan dirinya terus eksis dan menjadi aktor utama dalam mengawal pergerakan peradaban. Bukan waktu yang singkat, pun bukan upaya yang mudah bagi para martir-martir di dalamnya untuk terus memastikan kontinuitas gerakan dengan menyesuaikan tuntutan zaman.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bisa lepas dari hiruk-pikuk gerakan. Kehadiran teknologi informasi telah membuka sentrum gerakan baru dalam ruang-ruang yang lebih fleksibel dan mudah digunakan. Media sosial menjadi busur panah yang siap dijadikan senjata untuk melancarkan propaganda pergerakan dengan segenap kepentingannya.
Akan tetapi, apakah ruang tersebut kemudian telah dimanfaatkan sedemikian rupa agar memiliki signifikansi dalam mengejawantahkan wacana pergerakan yang lebih inklusif dan masif? Atau justru gegap-gempita zaman telah mengaburkan pandangan para aktor-aktor di dalam tubuh PMII untuk secara holistik membuka peluang dirinya menjadi agen yang berperan dalam kemajuan?
Melihat wacana besar yang dilancarkan oleh PB PMII sendiri, terlihat visi tersebut terus digaungkan dan dikembangkan menjadi sebuah wacana yang konkret. Slogan PMII mendunia diharapkan menjadi mesiu yang siap meledakan gelora semangat perubahan dan kemajuan kader-kadernya.
Meski disisi lain, wacana itu baru dirasakan berhenti di pengurus besar dan belum sepenuhnya menyentuh akar rumput yang justru menjadi sarang kaderisasi sesungguhnya. Dalam stratifikasi sosial di dalam tubuh PMII struktur terbawah merupakan laboratorium ideologi dan kaderisasi yang menjadi produsen utama. Sebagai seorang yang juga hidup di dalamnya, penulis merasakan betul bagaimana pada akhirnya wacana-wacana tersebut hanya menjadi slogan utopis yang tidak pernah sepenuhnya sampai ke akar rumput.
Diskursus mengenai pembangunan berkelanjutan dan berwawasan global kemudian hanya menjadi romantisme terhadap sikap yang sudah semestinya sebuah organisasi memiliki kemampuan untuk bersikap terhadap sebuah perkembangan.
Meski demikian, penulis tidak berusaha untuk menafikan bahwa di etalase-etalase ruang publik, PMII sudah banyak memberikan kontribusi baik secara fisik maupun akademik. Sebagai contoh, penulis mengapresiasi betul upaya PB PMII untuk berkontribusi terhadap pembangunan dengan terlibat melakukan kajian akademis yang dilakukan terhadap IKN (Ibu Kota Nusantara). Sebuah gebrakan yang positif dan tentunya mencerminkan kepribadian dari sebuah gerakan mahasiswa.
Hal-hal demikian, kemudian sudah seharusnya menjadi tugas-tugas insan pergerakan dalam mengejawantahkan segenap ide dan pemikiran dalam wacana yang lebih ilmiah dan akademik. Akan tetapi, kembali pada pokok pangkal penulisan ini, apakah kemudian citra tersebut bisa ditangkap sebagai tanda bahwa hari ini PMII secara integral telah benar-benar kembali menemukan orientasinya dalam mengawal proses pembangunan yang inklusif dan berkeadilan, atau justru hal-hal semacam itu hanya dianggap sebagai tindakan politis yang tujuannya adalah membangun power bank untuk investasi di kemudian hari kepada kekuasaan.
Interpretasi-interpretasi itu hanya hipotesis yang diajukan penulis untuk mencoba kemudian menemukan variabel-variabel lain dari wacana gerakan PMII ke depan. Karena kemudian semangat semacam itu belum benar-benar penulis dapatkan energinya sampai kepada gerakan di bawah tanah. Di mana tantangan yang dihadapi oleh banyak Rayon di berbagai komisariat dan cabang justru kembali pada persoalan degradasi intelektualitas dan identitas diri sebagai seorang kader PMII. Sebab, dalam kurun waktu belakangan diskusi-diskusi mengenai penurunan minat mahasiswa terhadap organisasi kemahasiswaan, justru sedang hangat dan gencar-gencarnya dibicarakan di mana-mana.
Bahkan hal demikian kemudian secara sadar atau tidak penulis rasakan secara empiris di lapangan. Meski degradasi tersebut belum menjadi persoalan yang akut, akan tetapi kemudian hal tersebut justru menjadi tantangan baru bagi PMII khususnya di akar rumput untuk menawarkan wacana yang lebih kompatibel dengan kebutuhan mahasiswa.
Di mana kemudian PMII bukan lagi bergelut dengan ideologi-ideologi yang bersifat ekstrimis, melainkan harus berhadapan dengan pragmatisme dan realisme semacam internship dan hal-hal yang lebih berkaitan dengan kebutuhan industrial.
Sebagai organisasi yang berbasis pada kekuatan intelektualitas dan identitas ideologis, tentu akan sulit bagi PMII kemudian untuk menghadirkan hal-hal praktis dan realistis, di mana sebenarnya PMII sendiri bisa menghadirkan demikian, tanpa meninggalkan prinsipnya sebagai organisasi kaderisasi yang ideologis.
Namun, kemudian pertanyaan adalah apakah kegiatan-kegiatan yang bersifat pelatihan dan pengembangan tersebut bisa sepenuhnya direngkuh dengan tetap memperhatikan nilai-nilai yang ada, atau justru kemudian ruang-ruang dialektis atau tempat produksi ide dan gagasan intelektual kemudian tergerus seiring dengan wacana capacity building yang semata-mata untuk kepentingan industrial.
Jika demikian muncul pertanyaan, Lantas apa yang membedakan PMII dengan lembaga-lembaga pelatihan di luar sana? Toh pada akhirnya PMII juga menjadi tempat produksi dari kebutuhan kapitalistik semata dan tidak mampu mentransmisikan nilai-nilai yang sudah tumbuh di dalamnya.
Hal-hal demikian telah menjadi tantangan yang nyata bagi PMII sendiri, di mana satu sisi PMII dituntun untuk kemudian beradaptasi dengan kebutuhan zamannya, di sisi lain PMII juga harus terus mempertahankan identitas dirinya yang tertuang dalam nilai dasar pergerakan, ideologi dan seperangkat kurikulum kaderisasi yang berlaku di dalamnya.***
- Setengah Abad Lebih PMII; Membaca Tantangan dan Tuntutan Zaman - 28 Juni 2023
- Memaknai Kembali Arti “Menjadi Kader PMII” - 18 Februari 2023