Rizieq dan Dilema Demokrasi

Gambar: Detik. com
Gambar: Detik. com
Gambar: Detik. com

Gencarnya Front Pembela Islam (FPI) melakukan kritik terhadap pemerintah mendapat banyak dukungan dari masyarakat, hal tersebut dipengaruhi juga oleh kontestasi politik di Pilpres tahun 2019 dimana masyarakat terbelah menjadi dua, kubu Jokowi dan Prabowo. FPI mulai mendapatkan banyak simpati dari rakyat yaitu bermula pada kasus penistaan agama di momen pilgub 2017.  Imam Besar FPI salah satu orang yang paling depan dalam aksi unjuk rasa penjarakan Ahok. Semangat tersebut dan kecintaan pada Rizieq berlanjut sampai saat ini, para pengikut siap mati untuk bela Riziek.

Kabar dari Pemerintah mengagetkan publik, FPI akan di bubarkan. Jelas masyarakat makin bertanya-tanya, apakah hal tersebut karena FPI gencar mengkritik pemerintahan Jokowi, masyarakat tentu banyak yang berspekulasi dan ini tentu melanggar undang-undang

Dilansir dari CNN Indonesia, Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Hiariej mengungkapkan bahwa pelarangan organisasi Front Pembela Islam (FPI) setidaknya didasarkan oleh enam alasan.

Hal itu tertuang dalam Keputusan Bersama Mendagri, Menkumham, Menkominfo, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala BNPT Nomor 220/4780 tahun 2020, Nomor 264 Tahun 2020, Kb/3/12/2020 tentang larangan kegiatan penggunaan simbol dan atribut serta penghentian FPI.

Pertama, keberadaan UU No. 17 Tahun 2013 sebagaimana diubah dengan UU No. 16 Tahun 2017 tentang Ormas terkait dengan tujuan untuk menjaga eksitanesi idelogi dan konsensus bernegara Pancasila, UUD 1945, keutuhan negara, dan Bhinneka Tunggal. Kedua, isi anggaran dasar FPI bertentangan dengan Pasal 2 UU Ormas. Ketiga, FPI belum memperpanjang Surat Ketarangan Terdaftar FPI sebagai ormas yang berlaku sampai tanggal 20 Juni 2019, sesuai dengan Keputusan Mendagri tanggal 20 Juni 2014.

Keempat, kegiatan ormas tidak boleh bertentangan dengan Pasal 5, Pasal 59 ayat (3), Pasal 59, dan Pasal 82 UU Ormas.

Kelima, ada 35 orang pengurus dan anggota FPI yang pernah terlibat terorisme dan 29 orang telah dipidana. Disamping itu 206 org terlibat pidana umum dan 100 telah dipidana
Keenam, pengurus dan anggota FPI kerap melakukan razia atau sweeping di masyarakat padahal itu tugas aparat. Pro kontra terjadi, demokrasi Indonesia kembali diperbincangan dan di pertanyakan oleh berbagai pihak. Namun tanpa kompromi pemerintah tetap membubarkan FPI.

FPI menampilkan wajah islam yang galak dan arogan juga beringas yang kebablasan.  Mereka begitu ngotot untuk melakukan sebuah revolusi akhlak. Alih-alih memberikan edukasi yang menyejukan kepada masyarakat, kelompok ini malah mempertontonkan sikap arogannya, menggelar acara resepsi di tengah pandemi yang jelas-jelas dilarang pemerintah karena menimbulkan kerumunan,  meluncurkan caci-maki kepada Pemerintah, Jokowi yang selalu jadi sasarannya. Kata seorang bijak bestari, jika ingin merubah dunia, maka rubahlah dulu dirimu sendiri. Nasihat itu juga mungkin tidak akan digubris, mereka begitu mendewakan pimpinan mereka, Habib Rizieq Shihab. Dimata pengikutnya, HRS adalah oase di gurun pasir yang tandus. Tidak peduli dengan rentetan kasus yang menjerat pimpinan mereka. Kasus hukum itu mereka anggap sebagai upaya untuk membungkam Habib Rizieq, atau tuduhan yang sangat keji, atau kriminalisasi ulama.

Rizieq Shihab sebagai pemimpin populis, berhasil mendapat simpati dan dukungan dari masyarkat, kasus tuduhan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok, yang kemudian memancing amarah dari masyarakat, aksi bela islam dan aksi 212 adalah salah satu keberhasilan HRS menjadi agitator yang ulung. Memang kalau segala sesuatu dibumbui dengan yang berbau agama, masyarakat selalu bersikap reaksioner.

Menurut F. Budi Hardiman dari sejak dulu populisme dimaknai secara negatif karena melakukan “emosionalisasi dan personalisasi politik.” Sampai saat ini pengertian populisme sendiri masih menjadi perdebatan, inilah yang menjadi keistimewaan dari Ilmu Sosial. Populisme sendiri lahir dari ketidakpuasan terhadap pemerintah, dan lemahnya demokrasi. di Indonesia sendiri populisme berkembang pesat maka Menteri Agama baru, Gus Yaqut sapaan akrabnya ingin melawan populisme. Dia mengatakan bahwa belakangan ini kita merasakan ada yang berusaha menggiring agama menjadi norma konflik. Siapapun yang berbeda keyakinannya, maka dia dianggap musuh dan karenanya harus di perangi, istilah kerennya itu populisme islam.

Jagat media sosial ramai membahas populisme islam, para Profesor, Penulis, akademisi, dan politisi mengomentari pernyataan Gus Yaqut tersebut. Komentarnya beragam dari mulai yang mendukung dan tidak mendukung cukup banyak. Populisme kembali dibicarakan, dicari dan dikaji oleh semua kalangan. Populisme bukan barang baru, populisme sudah ada dari jaman Yunani. Saat para Tirani (Penguasa Diktator) di polis-polis atau negara kota membenarkan posisi kekuasaannya dengan antara lan membayar para sofis (semacam filsuf bayaran) untuk mempengaruhi pikiran rakyat. Seperti yang telah disampaikan oleh SP Lili Tjahjadi seorang Dosen dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara pada acara Extension Course Filsafat bahwa pada zaman Romawi para anggota senat memanen simpati dan perhatian rakyat dengan roti dan pertunjukan gratis misalnya seperti pertandingan gladiator di arena. Kaisar Nero bahkan dikatakan mempertontonkan pembunuhan orang-orang kristen untuk mengkanalisasi agresi dan kemarahan warga akibat pembakaran kota Roma yang sebenarnya itu merupakan inisatif Nero sendiri, namun kini ia tuduhkan kepada orang kristen sebagai kambing hitamnya. Pada abad pertengahan fenomena populis dikaitkan dengan hidup dan karya ordo-ordo biarawan pengemis yakni para Fransiskan dan Dominikian awal, sebab mereka dianggap dekat dengan  umat, populus. Tokoh- tokoh populis yang kita ketahi seperti Trump (USA), Adolf Hitler (Jerman) Le Pen (Perancis), Musolini (Italia), Victor Orban (Hungaria), Erdogan (Turki), Habib Rizieq Shihab (FPI- Indonesia)

Sang Oase Mendekam di Jeruji Besi.

Kemunculan populisme islam di Indonesia disebabkan tidak adanya tokoh oposisi yang dapat mewakili aspirasi rakyat, orang-orang nasionalis atau partai-partai nasionalis ikut berkoalisi dengan pemerintahan, bahkan Prabowo dan  Sandiaga Uno yang mereka harapkan sebagai tokoh yang beroposisi dengan pemerintah, ikut bergabung menjadi Menteri. Jelas keputusan itu membuat para pendukung Prabowo- Sandi kecewa. Figur yang mereka cintai telah menghianatinya, para oposan, seperti anak ayam yang kehilangan induknya.

Apakah orang-orang seperti mereka yang akan melakukan sebuah revolusi akhlak ? Saya sebagai masyarakat yang awam tentu bertanya-tanya, seingat saya Rasulullah SAW yang sangat kita cintai, tidak mengajarkan prilaku demikian. Ketika Rasullulah di hina oleh orang kafir, apakah Rasullulah membalas hinaan tersebut ? sama sekali tidak. Beliau sangat santun, ramah dan sangat berbanding terbalik dengan kelompok yang saya sebutkan diatas.

Dalam sebuah acara di Petamburan beberapa waktu yang lalu, yang mengatakan dirinya sebagai ulama mendoakan Presiden Jokowi dan Bu Megawati dengan sebuah doa yang nyeleneh dan mengusuik nurani, apakah orang-orang seperti itu layak dijadikan sebagai panutan ? Masyarakat kita sangat hormat pada para habib dan ulama, mereka memiliki kedudukan khusus di masyarakat kita, jadi tidak heran jika titah Habib Rizieq bagaikan sambaran petir di siang bolong.

Rizieq memang lah sosok ulama kharismatik, orasinya yang berapi-api mampu membakar hati yang gundah gulana, sang ulama populis. Jika saja seruannya itu untuk menenangkan umat yang kebingungan, memotivasi umat untuk keluar dari kemiskinan, menggunakan kata-kata yang lembut, merangkul bukan memukul, mengajak bukan menghasut, tentu akan menjadi ulama yang di segani dan di hormati oleh semua kalangan dan tidak akan bolak-balik ke jeruji besi. Kini akibat dari perbuatannya yang terlalu aktraktif, Sang Oase harus mendekam di penjara selama 4 tahun atas  kasus kerumuman petamburan, Mega Mendung dan pemalsuan hasil swab di RS Umi Bogor.

Semoga Riziek dan para pengikutnya mematuhi putusan hukum, semoga kedepan dakwah-dakwahnya menyejukan bukan memabukan.