Reinkarnasi

Ilustrasi. Sumber: Misekta.id

Jauh di dalam rahim seorang pelacur, sperma dibuahi. Ribuan bahkan milyaran calon manusia segera siap dikemas menjadi seorang bayi manusia oleh bidan atau paling tidak dukun beranak. Namun, mengenai jumlah pasti sperma yang dibuahi dan siap menjadi calon manusia itu tak ada yang tahu pasti, berapa jumlahnya. Tergantung kepercayaan masing-masing saja. Dari milyaran sperma yang sudah dibuahi oleh sel telur itu, hanya aku yang tahu kalau di luar sana, di luar kelamin perempuan ini ada tempat yang disebut dunia. Betapa juga aku tahu bahwa dunia ini adalah tempat paling menyebalkan. Aku tak tahu pasti, teman-temanku di dalam sperma ini apakah ada juga yang sama denganku, tahu kalau kita ini adalah calon manusia. Barangkali, hanya aku satu-satunya manusia reinkarnasi di rahim ini. Dulu sekali, aku adalah seorang seniman. Betapa terkenalnya aku saat itu. Betapa hidup sangat berpihak padaku. Cukup banyak orang yang mengenaliku. Ribuan karyaku juga sering menjadi karya-karya yang disebut sebagai karya yang melegenda. Tak hanya mengenaliku, tapi mereka juga mengakui aku sebagai idola mereka. Hah, betapa menjadi terkenal sangatlah menyenangkan. Berjalan pun dunia sangat memperhatikanku.

Satu hal yang membuatku sangat tak ingin menjadi manusia reinkarnasi dan hidup kembali untuk kedua kalinya di dunia ini. Adalah saat tahu dan sadar bahwa dunia ini memang tempatnya banyak masalah. Parahnya, kita sebagai manusia yang hidup di dunia ini dipaksa untuk mencari solusinya sendiri. Tak sedikit, orang-orang yang berhenti untuk hidup dengan cara bunuh diri karena tak tahan untuk menghadapi masalahnya. Saat dulu menjadi seorang seniman pun, aku sering menulis tentang banyak hal soal kebingungan-kebingungan yang tumbuh pada kehidupan manusia. Dimana banyaknya orang-orang yang kematiannya sudah begitu terasa saat hidup. Betapa jatidiri dan keberuntungan-keburuntungan sangat sulit untuk dimiliki. Tak hanya sampai situ, dunia masih memiliki banyak rahasia menyeramkan bagi kehidupan manusia dan aku malas untuk mengungkapkannya, seperti ingatan kelam yang menyeramkan jika kembali diceritakan.

Satu bagian kecil dari setetes sperma bapak-bapak kurang ajar yang menyetubuhi pelacur itu sampai tak terkontrol mencoba untuk meredam ingatanku terlebih dahulu. Sebab banyak sekali ingatan pahit perihal dunia yang kini akan kembali kusambangi. Sebelum tahap penyeleksian untuk menjadi seorang manusia dimulai; berlomba dengan berenang seperti anak katak. Aku sudah tak banyak berfikir soal kehidupan di dunia saat dulu. Selebihnya, meski tanpa tangan aku mencoba memegang erat bagian perut dalam wanita yang akan menjadi ibu ini. Berharap segala hal apapun itu tak ada yang mendorongku menuju tempat terakhir bagi sang pemenang; calon bayi manusia. Namun, apa boleh buat. Aku tahu betul, betapa hidup bahkan sebelum hidup pun kita selalu dipaksa. Aku benar-benar terlempar oleh teman-teman seper-spermaanku. Tersenggol ke sana ke mari hingga bisa dibilang aku ada di barisan depan kembali. Tubuhku benar-benar tak bisa menahan. Sungguh, tak sedikitpun ingatanku yang mengingat dulu saat hidup pertama kali ketika berada pada fase ini. Apakah dulu aku sesemangat mereka ini? Atau malah memang hoki?.

Mimpi buruk sebelum benar-benar kembali merasakan mimpi sebagai makhluk hidup saat itu adalah aku benar-benar hanya aku yang bertahan sampai tahap akhir penyeleksian saat itu. Milyaran sperma yang lain, hanya mati terkulai dan seperti sedang bermain-main dengan penyeleksian ini. Semacam mereka lebih tahu kalau di luar sana ada dunia yang menunggu untuk kembali membuat kita merasakan mati. Di ruang gelap di dalam perut pelacur itu, aku ditempatkan pada sebuah rahim. Benar-benar tempat yang penuh kasih, bahkan di dalam perut pelacur sekalipun. Dan aku benar-benar akan menjadi manusia kembali dan menjalankan hidup sampai mati kembali.

Di dalam sebuah rahim itu, sudah jelas aku tak melakukan apapun selain diam menjadi segumpal darah sebelum kemudian menjadi segumpal daging. Setelah masuk menuju bulan-bulan penting, akhirnya aku menjadi sebuah zigot. Bila ada cermin di dalam sini, kurasa aku akan teriak sekencang-kencangnya karena ketakutan melihat bentukku sendiri. Pelacur ini cukup baik dalam merawatku saat di dalam perut. Aku yakin dengan arahan dari dokter atau paling tidak dari tetangga atau temannya dia tahu makanan-makanan yang mana saja yang baik untuk perempuan hamil. Jauh sampai pada bulan-bulan yang menyebalkan, aku sudah tahu bahwa aku berjenis kelamin wanita. Mimpi buruk apalagi ini? Fikirku saat itu. Betapa aku tahu, bagaimana kejamnya dunia pada wanita. Bahkan sejak zaman Hawa. Di dalam rahim yang sempit itu, aku mungkin satu-satunya bayi yang menangis lebih dulu sebelum melihat dunia. Betapa harapan hanyalah sebuah lotre. Jika beruntung, mau berusaha ataupun tidak, kita hanya akan mendapatkannya jika memang beruntung dan sudah takdir nya untuk kita.

Tibalah hari dimana aku akan dilahirkan kembali ke dunia untuk kedua kalinya dengan ibu kandung yang berbeda, jenis kelamin yang berbeda, tanggal lahir dan tentu dengan nasib yang berbeda. Siap tak siap, seorang dokter atau dukun beranak tak akan menanyakan kesiapan padaku kecuali hanya pada ibuku. Di hari itu, jauh sebelum waktunya dikeluarkan, aku benar-benar menangis sejadi-jadinya. Rupanya ibuku ini seorang pelacur yang cukup berada. Aku dikeluarkan di rumah sakit bersalin oleh seorang dokter tampan. Betapa aku tak mau ada adegan seperti film porno antara pelacur dengan seorang dokter biadab. Untungnya, dokter ini sangat baik, paling tidak, dia masih punya malu. Tak akan berani-beraninya menyentuh ibuku sang pelacur yang selalu siap menjamu setiap berahi lelaki dengan bayaran yang setimpal. Persalinan ibuku tak melewati proses yang lama. Hanya sampai pada pembukaan ke tiga dengan jeda yang singkat, aku keluar dengan cepat. Namun, persalinan itu tak berjalan dengan baik. Saat aku hendak dikeluarkan dengan tekanan yang keras oleh perut pelacur itu, aku terus menahan sekuat-kuatnya. Memegang ari-arinya bahkan jika masih gagal, aku akan memegang rongga kemaluannya dan menahan badan dengan tangan agar tak terdorong. Tapi, ibuku mungkin sudah tak kuat untuk hidup. Rupanya dia tak tahan dengan proses persalinan ini. Betapa ari-ari berbelit kemana-mana dan segala kekacauan dirasakannya dalam perutnya. Selanjutnya, dorongan demi dorongan hebat semakin membuatku terpaksa untuk keluar. Seperti sedang berak dengan tai yang begitu besar, aku dikeluarkan oleh pelacur itu dengan nafas dorongan terakhirnya. Bahkan ironisnya, aku sudah menjadi anak yatim piatu saat itu. Pelacur itu mati dengan proses persalinan singkat nan aneh itu. Aku keluar dengan selamat dengan darah yang bercucuran kemana-mana. Aku ingat persis saat para suster-suster ganjen itu menjerit-jerit ketakutan ketika melihat proses persalinan itu. Entah mereka itu ketakutan sungguhan atau hanya berpura-pura. Yang jelas, mereka ketakutan berjinjit-jinjit mendekati dokter tampan itu. Aku tetap menangis sejadi-jadinya.

Setelah menjalani perawatan yang cukup lama di rumah sakit bersalin itu. Aku tumbuh sebagai anak murung bukan main. Semua perawat yang merawatku di rumah sakit saat itu merasa aneh dengan sifatku yang begitu pemurung ini. Betapa akupun tahu, bahwa akan sangat aneh melihat anak sekecilku saat itu sudah banyak murung dan menangis sejadi-jadinya. Tetapi, apa boleh buat mungkin, atas nama kemanusiaan mereka tetap merawatku sampai aku benar-benar sudah sedikit tunbuh menjadi anak usia 5 tahun. Setelah dirasa sedikit mengerti tentang banyak hal sebagai anak kecil. Pihak rumah sakit akhirnya memutuskan untuk memindahkanku ke panti asuhan. Meski dalam perjalanan hidupku yang kedua kalinya itu sangat menggangguku, aku masih merasa sedikit beruntung dilahirkan di rumah sakit dan dibesarkan di sana. Paling tidak, kurasa tuhan masih baik padaku. Tak membuatku jatuh sejatuh-jatuhnya dalam meratapi nasib buruk. Seperti dilahirkan dari seorang pelacur dengan ditambah dilahirkan secara tak sengaja di kolong jembatan dengan keadaan mabuk lalu kemudian dibuang sejauh mungkin ke selokan dan tak mati dipaksa untuk menelan bulat-bulat pahitnya hidup untuk kedua kalinya sedari kecil.

Panti asuhan hanyalah sebuah transit bagi kehidupanku yang kedua kalinya itu. sebelum akhirnya menjadi remaja dan tumbuh dewasa kemudian terpaksa harus pergi menjadi istri orang. Namun, itu hanyalah bayangan semu tentang kehidupan yang akan kuterima sebagai seorang gadis. Bila ada yang bertanya seputar bagaimana rasanya menjadi seorang wanita setelah hidup yang pertama sebelum ini adalah seorang pria. Aku akan mengatakan dengan sejujur-jujurnya bahwa hidup bereinkarnasi menjadi sebuah bangku lebih baik dibanding jadi manusia dengan jenis kelamin wanita. Aku hanya perlu menjadi bangku yang baik dan hanya perlu menjadi pandai membuat nyaman para penggunaku. Meski kenyataannya wanita juga pandai membuat nyaman, namun yang membuatku jengkel adalah saat hal itu ternyata sepaket dengan sifat wanita yang selalau mengutamakan perasaan. Mudah sekali aku sakit hati di kehidupan kedua ini. Bahkan sedari kecil, aku sudah tak sudi memiliki banyak teman saat di panti asuhan. Seasik apapun mereka mengajakku bermain, aku tak pernah tergiur dengan keramaian. Aku benar-benar hidup seperti saat di dalam rahim pelacur itu.

Semakin besar, aku memutuskan untuk mulai mencari pekerjaan. Aku tak terlalu berminat untuk bersekolah sedari kecil. Meskipun aku tahu wanita itu sangat pintar dalam mempelejari sebuah peelajaran, tapi aku tak mau bersekolah. Rasanya percuma saja bila hidup sepertiku ini jika bersekolah pun. Di usia remaja, panti asuhan sudah mulai mengajarkanku beberapa hal soal dunia pekerjaan. Dari mulai berdagang sampai membuat kerajinan yang memang sudah menjadi keterampilan yang biasanya kebanyakan tangan jentik wanita pandai melakukan itu. Betapa aku selalu takjub pada tanganku sendiri ketika jari-jari tangan itu bekerja sama menenun kain-kain atau melipat-lipat kertas dengan begitu terampil, rapih dan cepat. Kukira, tuhan juga masih mengaruniaiku keterampilan soal seni pada diriku dari kehidupan pertamaku dulu. Meski, kini beberapa peluang sangat susah untuk kudapatkan karena berbagai keterbatasan. Tetapi, setidaknya tuhan masih baik soal itu.

Akhirnya, di usiaku yang semakin tua, aku mendapatkan pekerjaan sebagai tukang Jahit di daerah dekat panti asuhan. Awalnya, aku bekerja bulak-balik dari panti asuhan ke tempat jahit itu, sampai aku bisa mengumpulkan uang dari gajih itu untuk mulai mengontrak satu kontrakan kecil. Lagi-lagi aku takjub pada diriku, betapa menjadi seorang wanita begitu mudah untuk menabung dan mengelola uang sendiri. Kemudian, satu kontrakan di sekitar daerah itu itu saja kudapatkan. Cukup besar untuk satu orang wanita sepertiku. Tanpa membawa banyak barang, aku bergegas menuju tempat baru bagi kehidupanku selanjutnya.

Beberapa bulan berdiam diri di kontrakan dengan pekerjaan itu itu saja, aku cukup kewalahan. Banyak hal yang harus membuatku mengeluh dan mengeluh. Gajih tak pernah dinaikkan bahkan seringkali aku mendapatkan pekerjaan tambahan dengan cap terimakasih. Kemudian aku sendiri kembali takjub dengan keramahanku pada ibu bosku itu saat mendapatkan pekerjaan tambahan. Kemudian, hari-hari hanyalah seputar benang dan jarum dan malam hanya sebatas kasur dan sepi. Akibatnya, tak jarang aku merenungi kehidupanku yang kedua kalinya ini. Dan yang paling sering membuatku bertanya-tanya adalah mengapa aku bisa menjadi gadis baik-baik setelah tahu kalo aku ini dilahirkan dari kemaluan seorang pelacur. Bagaimana bisa sifat-sifat seorang pelacur tak dikaruniai kepadaku. Mana mungkin sifat-sifat baik ini datang dari bapakku yang aku sendiri tak tahu siapa dia. Dan itu benar-benar tidak mungkin, sebab menjaga kemaluannya saja dia tak bisa, mana mungkin bisa dicap baik, lelaki sebiangkerok itu. Kemungkinan-kemungkinan dan tebakan-tebakan yang kufikirkan semuanya hanyalah sebuah tebakan. Kemudian aku hanya bisa tidur dan kembali lagi merenungi itu. Pada akhirnya, kucoba untuk segera bergerak dan mencoba cari tahu soal itu. Dengan cara, tentu menanyakan pada teman-teman ibuku. Tapi siapa mereka? Dimana juga mereka sekarang? Aku sudah sebesar ini, mana mungkin mereka masih hidup. Tapi, aku tak mau mati dengan rasa penasaran ini. Setelahnya aku pun mangamini keputusanku untuk mencari tahu siapa ibuku ini sebenarnya.

Dengan misi baru ini, aku tak hanya bekerja ketika siang. Tetapi juga terus berkeliling seputar tempat pelacuran. Bertanya kesana kemari. Tetapi malah godaan-godaan dari leleki-lelaki brengsek yang tak punya malu yang menghampiriku. Malah tak jarang aku disangka mencari pekerjaan di tempat pelacuran. Tapi, aku tak pernah peduli pada keadaan disekitarku. Aku harus terus menyelam untuk mencari mutiara ini. Setelah beberapa bulan, aku tak mendapatkan apa-apa. Pencarianku hanya berhenti sampai nama ibuku. Namanya Lastri, dan selebihnya tak ada yang tahu seperti apa dia ini saat hidup.

Di tengah pencarianku, aku tak melulu bekerja di tempat jahit itu. Mencoba mencari uang tambahan di sela-sela kekosongan waktu yang kupunya. Sejak kecil, aku memang pandai dalam memasak. Seringkali ketika aku mendapatkan bagian sebagai petugas dapur di panti asuhan, bibi-bibi dapur selalu memujiku ketika melihat kepiawaianku dalam mengotak-atik spatula. Akibatnya, dengan modal keterampilan seperti itu, aku memasak berbagai makanan ringan sebatas untuk cemilan. Kusimpan di warung-warung dan sedikit ku jajakan berkeliling. Seharusnya, bila kubandingkan dengan kehidupan pertamaku dulu, uang yang dihasilkan dari kerja kerasku ini masih sangat kurang. Namun, aku sendiri merasa aneh melihat uang yang kukelola sendiri di dompet kecilku sangat-sangat terkelola dengan baik. Aku yakin, bila banyak di luar sana yang hidup sezaman denganku saat ini pasti akan merasa kurang, apalagi dengan kebutuhan hidup di perkotaan seperti ini. Akhirnya, dibalik perasaan aneh yang kurasakan aku tetap bersyukur dijadikan wanita yang sangat baik sekali oleh tuhan. Meski sejatinya hidup selama 20 tahun ini hatiku tak pernah mengamini syukur atas hidup yang kedua kalinya.

Pencarianku terus mentok hanya pada sebuah nama. Kurang lebih enam tahun seperti anak SD mengejar ijazahnya, aku mencari siapa sebenarnya ibuku ini. Kemudian, di tahun ke tujuh pencarianku, yang kudapatkan malah seorang lelaki yang begitu tampan. Dia sangat baik kepadaku. Itu adalah kekasihku saat itu. Kita bertemu di sebuah kedai. Dengan sangat singkat, dia mengajakku kenalan. Kemudian, aku mengiyakan segala yang dia rasakan. Akhirnya dua tahun selanjutnya aku benar-benar menikah dengannya. Tanpa pernah merasakan sentuhan tangan yang lembut dari seorang pria seumur hidupku, kini aku akan merasakan buah dzakar seorang pria. Keluarganya pun tak mempermasalahkan siapa aku? Dari keluarga seperti apa dan atau aku ini keturunan siapa? Mereka sangat mengerti ketika tahu bahwa aku hanyalah wanita yang hidup tanpa sayap selama hidup. Sejak saat itu, hatiku mulai bisa menerima kehidupan. Betapa keindahan itu tak bisa kulupakan. Namun, aku kikuk bukan main saat tahu dan sadar kalau aku akan segera menjadi istri seorang lelaki. Dulu, aku menjadi seorang suami, kini dengan kelamin yang berbeda, aku benar-benar akan menjadi seorang istri. Membersihkan rumah, mengecup punggung tangan suamiku, melahirkan dan menyusui buah hati. Tetapi, bagaimanapun aku adalah seorang wanita sekarang ini. Tak ada yang bisa membantah itu. Bahkan paguyuban waria pun tak akan tahu kalau aku pernah hidup sebagai seorang lelaki. Meski di zaman yang begitu jauh berbeda.

Aku menikah sebelum kemudian dikaruniai kehamilan tak lama setelahnya. Pengalamanku bercinta untuk hidup yang kedua kalinya sangat membuatku takut, aneh dan cukup ketagihan. Suamiku ini benar-benar pandai membuat cinta di balik dinding kamar pengantin. Aku benar-benar hanyut di tubuh tegapnya. Setelah hanya satu malam itu saja, aku benar-benar seperti pemain PS 4 yang bermain pokemon dengan dua kali permainan serta merasakan dua peran.

Kehamilanku cukup baik bagi seukuran wanita muda yang baru hamil seumur hidupnya — apalagi seorang wanita muda yang dulunya pernah hidup menjadi seorang lelaki tulen di kehidupan pertamanya. Dulu, aku mengira bahwa mengidam hanyalah drama yang memang sengaja diciptakan turun temurun oleh Hawa sebagai wanita pertama di muka bumi. Ternyata dugaanku salah, jabang bayi di perutku benar-benar membuatku jengkel. Tak hanya sering menendang-nendang rahimku, dia juga menyiksa lidahku. Aku selalu ingin memakan durian setiap malam. Betapa baiknya suamiku ini, berbeda denganku dahulu. Dia selalu membelikanku durian satu buah penuh dengan dagingnya yang besar-besar. Malah tak jarang, durian dengan nama montong yang paling enak itu dibawakannya untukku dan buah hati. Perutku semakin besar sampai aku sendiri pun jijik melihatnya. Mencapai 9 bulan aku mendapatkan keanehan. Buah hatiku tak keluar-keluar hingga menginjak 11 bulan aku masih menjadi wanita bunting. Setelah aku dan suami menyadari hal yang tak lazim ini, kamipun langsung mencari tahu apa penyebabnya. Menurut dokter, ini hanya masalah teknis, sekitar beberapa minggu katanya aku akan segera melahirkan. Entah teknis seperti apa yang dia katakan. Yang jelas, aku sudah tak tahan pada jabang bayi di dalam perutku ini. Mirip seperti kelahiranku dulu, dokter atau bidan itu kesusahan membantuku mengeluarkan jabang bayi di dalam perutku ini. Sampai aku tak sadarkan diri setelah 12 jam ngeden tanpa ada yang keluar dari kemaluanku selain air kencing yang tak bisa kutahan. Saat aku tak sadar, aku melihat sekelilingku benar-benar putih. Aku berada pada ruangan yang gelap dan pengap tetapi di depan mataku warna putih sangat jelas dan luas. Aku pun aneh dengan mataku saat itu. Aku berdiri di alam bawah sadar itu dan yang paling membuatku kembali mengeluh atas nasib adalah saat tahu dan kembali ingat bahwa tempat ini adalah tempat saat dulu aku mati dan akan dihidupkan kembali sebagai makhluk reinkarnasi.

***