Pondok Pesantren: Tak Mati-Mati, Meski Banyak Kasus dan Kontroversi

Sumber Gambar: Pexels.com/ Irgi Nur Fadil
Sumber Gambar: Pexels.com/ Irgi Nur Fadil

Sudah berlangsung lama sejak zaman nabi Muhammad, konsep Pondok Pesantren hingga kini masih menjadi konsep lembaga pendidikan keagamaan yang mutakhir di tengah masyarakat. Tak hanya itu, menurut catatan sejarahnya dalam buku, “Atlas Wali Songo” karya Agus Sunyoto, dikatakan bahwa sejarahnya adanya Pondok Pesantren justru berawal dari banyaknya tren padepokan serta dukuh yang menjadi tempat belajar dan menempa para cantrik. Hal itulah yang kemudian mendorong sistem pendidikan lokal dari masa Hindu-Budha di Indonesia diadaptasi menjadi sebuah konsep Pondok Pesantren, serta merupakan hasil dari Islamisasi dari proses masuknya Islam melalui Wali Songo.

Seiring berjalannya waktu, sejak era masuknya Islam melalui Wali Songo tersebut hingga sekarang, Pondok Pesantren justru masih berhasil menjadi lembaga pendidikan berbasis keagamaan. Hal itu menyusul adanya jawaban yang diberikan oleh Pesantren terhadap kebutuhan yang berasal dari masyarakat.

Tak hanya itu, Pondok Pesantren juga ikut membantu pembangunan skala nasioal bagi negara. Hal itu telah dibuktikan sejak zaman Wali Songo yang memberika jawaban tak terduga dari pemahaman Hindu-Budha yang pada saat itu merupakan agama yang masih menjadi komoditas paling besar di nusantara. Kebutuhan masyarakat akan moral dan peribadatan serta penyembahan justru dapat dijawab salah satuya adalah melalui konsep Pondok Pesantren.

Pesantren yang semakin hari kian eksis ini bahkan juga dapat mengukir sejarah hebat dalam merebut kemerdekaan. Di era kolonialisme, Pesantren serta unsur-unsur penting yang ada di dalamnya cukup ditakuti oleh para penjajah. Sebab kehadiran Pesantren dianggap tak hanya mengancam sisi keagamaan di tengah masyarakat, tetapi juga merebut sisi psikologis serta sosial budaya. Maka tak jarang, dalam sebuah catatan sejarah, Pondok Pesantren kerap kali menjadi garda terdepan dalam melakukan perlawanan dan berhasil menyulut semangat rakyat Indonesia untuk berani melawan penjajah.

Sebab dalam konsep Islam sendiri, mempertahankan tanah air merupakan bagian dari iman. Maka sebuah catatan sejarah besar dari kontribusi mahal yang diberikan Pesantren pada negeri ini terjadi pada momentum resolusi jihad. Sebuah resolusi yang dilakukan oleh kaum Pesantren yang diprakarsai oleh kiyai untuk ikut dalam gerakan perlawanan terhadap Jepang sebagai penjajah. Dari sanalah kemudian juga melahirkan banyak sekali tokoh-tokoh yang dinyatakan sebagai pahlawan nasional yang berlatar belakang sebagai tokoh yang lahir dari dunia Pesantren.

Berlanjut hingga era modern ini, Pesantren masih terus dapat menjawab kebutuhan yang ada di tengah masyarakat. Sebagai lembaga pendidikan berbasis keagamaan tertua di Indonesia, tak serta merta membuat Pesantre termakan zaman dan menjadi barang kuno. Justru kehadirannya hingga kini masih terus menjadi salah satu pilihan bagi kebutuhan yang diharapkan masyarakat.

Sebagaimana dikatakan dalam buku “Mempelajari Agama Secara Psikologis dan Relasinya Dalam Upaya Resolusi Konflik”, Wira Hadi Kusuma menyatakan bahwa manusia terlahir sebagai makhluk yang diciptakan sepaket dengan kebutuhan keagamaan. Dalam hal ini, Psikologi menyebut manusia sebagai makhluk homo religious. Hal itu berarti setiap manusia memiliki titik-titik tertentu yang merupakan titik keagamaan atau religiusitas yang melekat pada diri manusia.

Sebagaimana disiplin ilmu yang lain yang juga ikut menjawab kebutuhan manusia dari segi jasmani seperti biologi, anatomi, hingga geografi. Sisi Psikologi Keagamaan juga dianggap dapat memenuhi kebutuhan manusia dari segi rohani. Dimana setiap manusia memiliki kebutuhan terhadap ketenangan jiwa serta perasaan aman untuk menjalani kehidupan yang baik.

Dalam hal ini, sebuah Jurnal yang ditulis oleh Rifki Rosyad mengenai pengaruh agama bagi kesehatan mental menyatakan bahwa praktik-praktik keagamaan seperti terapi keagamaan merupakan bagian penting yang dapat menjawab kebutuhan manusia untuk mencapai ketenangan jiwa serta kesehatan mental. Bahkan menurutnya, jauh sejak abad ke-19, kebutuhan manusia terhadap kesehatan mental telah ada. Hal itulah yang ternyata mengakibatkan agama sebagai sebuah jawaban yang ada pula. Melalui jurnal tersebut juga, terdapat fakta menyatakan bahwa terapi keagamaan seperti peribadatan baik dilakukan sendiri hingga berjamaah dapat berpengaruh bagi kesehatan mental, ketenangan jiwa seseorang, kecemasan terhadap kematian, alkoholisme, penggunaan obat-obatan terlarang, hingga depresi yang berlebihan.

Berangkat dari pernyataan-pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa penganut agama apapun di dunia ini memiliki titik kebutuhan terhadap agama. Hal itu juga diberikan agama pada kebutuhan primer manusia dalam mencari ketenangan jiwa. Berkat hal itu pula, banyak masyarakat beragama yang menjadikan agama sebagai tempat berteduh akan banyaknya masalah terkait kehidupan yang tengah dihadapi. Sehingga dengan beragama serta melalui terapi keagamaan yang diyakini sejak lama dapat membuat manusia itu sendiri bisa mengendalikan diri ketika menghadapi setiap masalah yang ada.

Hal itu tentu menjadi salah satu alasan tambahan mengapa masyarakat atau lingkungan sosial begitu dipengaruhi oleh agama. Sebab tak hanya itu, perilaku beragama masyarakat Indonesia yang terdiri dari mayoritas muslim telah berlangsung sejak lama. Bukti dari pemenuhan kebutuhan yang dicapai melalui praktik keagamaan kini telah berlangsung menjadi sebuah keharusan. Sebab dengan beragama, maka moral serta etika untuk menjalani kehidupan yang baik di tengah kehidupan sosial dan bermasyarakat juga akan terkendali dengan baik.

Dari sanalah kemudian yang dianggap mendorong masyarakat Indonesia yang juga berharap akan pemenuhan kebutuhan keagamaan serta ketenangan jiwa menjadi salah satu hal yang paling dicari. Maka pemenuhan tersebut memiliki beberapa pilihan dalam detail spesifikasi yang disiapkan oleh agama itu sendiri. Seperti datang pada ahli agama, membaca Al-Qur’an, melakukan praktik peribadatan, hingga bermeditasi sesuai ajaran agama.

Dari kesemua pilihan tersebut orang cenderung akan lebih banyak bertanya dibanding langsung melakukannya. Ketidaktahuan terhadap sesuatu tersebut yang kemudian mendorong mereka untuk mencari tahu. Maka mendatangi Kiyai sebagai tokoh ahli agama menjadi salah satu solusinya. Namun, berkat pemenuhan yang dibutuhkan tersebut akhirnya juga melahirkan sebuah kebutuhan baru di tengah masyarakat. Yakni kebutuhan pemenuhan pendidikan.

Sebagai makhluk yang berfikir, tentu pendidikan merupakan bagian penting bagi kehidupan manusia. Melalui pendidikan, maka pengetahuan beragam untuk dapat menjalani kehidupan yang lebih berkualitas akan tercapai. Berangkat dari sanalah yang kemudian membuat masyarakat merasa perlu dan membutuhkan untuk memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anaknya sejak dini.

Pemenuhan kebutuhan pendidikan yang lebih beragam tersebut tentu berada pada lembaga pendidikan formal. Namun, karena dilatarbelakangi oleh masyarakat homo religious, maka pencarian masyarakat terhadap lembaga yang tak hanya memberikan pemenuhan kebutuhan dalam segi pendidikan umum berlanjut pada pencarian pendidikan moral dan keagamaan. Sebab diantara keduanya, merupakan elemen penting untuk paling tidak dapat menjadi acuan serta pegangan bagi kehidupan manusia.

Kebutuhan tersebutlah yang akhirnya mendorong masyarakat untuk tetap setia mempercayai Pondok Pesantren hingga berpuluh-puluh tahun lamanya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Sebab melalui konsep Pondok Pesantren, diyakini pendidikan karakter dapat membentuk seseorang. Tak hanya akan mendapatkan pendidikan terkait pengetahuan keagamaan, tetapi juga para santri sebagai bagian yang belajar di Pondok Pesantren juga akan belajar untuk mandiri, disiplin, mampu bersaing dan bekerja keras, serta tetap dapat mengacu pada nilai-nilai keagamaan untuk membentuk moral dan etika yang berkarakter.

Sebab bukan tak mungkin bahwa nyaris seluruh orang tua pasti merasa tergiur untuk sekedar memiliki keturunan yang memiliki perangai baik dan bermoral. Terlepas dari semua pencapaian duniawi yang juga menjadi kebutuhan, paling tidak sebuah karakter moral yang terbentuk dengan baik di tengah masyarakat menjadi impian bagi semua orang tua. Dari sanalah kemudian dapat dikatakan bahwa mengapa Pesantren masih dapat terus eksis hingga saat ini.

Padahal di era modern ini, di era dimana semua hal dapat diakses dengan mudah, termasuk informasi-informasi, membuat Pesantren juga memiliki banyak sorotan. Selain sejarah heroiknya serta perannya yang begitu fundamental bagi karakter bangsa, agaknya cukup banyak pula lubang-lubang keburukan yang menjadi sorotan publik.

Meski terdiri dari mayoritas Islam, Indonesia yang juga telah masuk di era modern ini juga terdiri dari orang-orang yang masuk pada kategori awam dalam beragama. Tak hanya itu, secara otomatis mereka juga tak mengetahui secara lebih dalam bagaimana Pondok Pesantren berjalan sebagai lembaga pedidikan. Biasanya, pihak ini menganggap bahwa Pesantre yang di dalamnya mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan, serta sistem berbasis keagamaan, dan penokohan kental yang juga berbasis keagamaan dari para Kiyainya, justru menjadi patokan.

Karena hanya hal-hal tersebut saja yang menjadi patokan, maka bila hal-hal berlawanan terjadi mencuat pada muka publik, sebuah kesimpulan menohok dan menginterupsi pada Pesantren akhirnya lahir. Hal itu kini terjadi dan kian marak berkat adanya banyak kasus kekerasan seksual, serta pengaiayaan yang terjadi di lingkungan Pesantren. Hal itu terjadi tentu berkat ketidaktahuan masyarakat awam, serta berkat kemajuan teknologi dari penyaluran informasi yang begitu mudah.

Bahkan, dilaporkan menurut data komnas perempuan bahwa Pondok Pesantren berada di urutan kedua sebagai lembaga yang paling rentan dalam kasus kekerasan seksual setelah Perkuliahan. Hal itu menyusul adanya jumlah yang cukup banyak terjadi di lingkungan Pondok Pesantren selama ini. Tak hanya itu, kasus peganiayaan di tahun 2022 ini juga nyaris terjadi di setiap bulannya. Informasi-informasi terkait penganiayaan mencuat dengan sendirinya dan menjadikan stigamatisasi buruk di tengah masyarakat.

Meski demikian, semua upaya untuk menghandle hal tersebut telah juga sama-sama dilakukan. Berkat dorongan dari pemerintah serta keterbukaan Pondok Pesantren yang ada juga menjadi jawaban. Sebagai lembaga pendidikan yang dikenal sangat tertutup, di era modern ini Pondok Pesantren juga mulai mau untuk membuka diri di tengah kemajuan zaman. Bahkan, sikap untuk menyikapi kasus-kasus yang menimpa Pesantren tersebut juga dijawab dengan sikap yang baik melalui permohonan maaf yang dipublikasi serta pemenuhan jalur hukum dari pihak Pesantren.

Tak hanya itu, Pesantren juga tak menjadi ciut akibat beberapa kasus tersebut. Kasus-kasus tersebut justru menjadi sebuah pintu baru bagi Pesantren untuk kemudian dapat lebih dekat dan dapat melebarkan sayap agar bisa memenuhi kebutuhan semua masyarakat. Sebab kini tak hanya kelompok yang membutuhkan keagamaan saja, lebih dari itu, kelompok-kelompok yang merasa agama bukan satu-satunya jawaban pun mulai banyak yang terbuka hati dan fikirannya bahwa Pesantren tak sepenuhnya bersalah dalam kasus-kasus tersebut.

Dalam hal ini, sebuah kenyataan dapat dilihat bahwa meskipun diterkam banyak kasus, Pesantren terbukti masih berdiri kokoh menjadi salah satu pilihan paling penting yang dicari masyarakat untuk memenuhi kebutuhan spiritual dan pendidikan moral. Itu semua dapat kita simpulkan dari adanya sejarah panjang Pesantren yang telah sejak lama mencuri hati masyarakat. Tak hanya itu, hal ini juga didukung oleh keterbukaan Pesantren untuk juga mengikuti kemajuan zaman.

Teknologi yang semakin maju membuat Pesantren tak hanya menyajikan kelas-kelas pengajian klasik saja, lebih dari itu mayoritas Pondok Pesantren hingga sekarang banyak yang juga menyajikan pendidikan formal serta kegiatan ekstra untuk mendukung kemampuan santri atau muridnya. Sehingga tak jarang, prestasi juga banyak diukir oleh mereka para santri lulusan pesantren. Terdapat begitu banyak santri yang tak hanya mengerti persoalan agama dan praktik-praktik keagamaan, lebih dari itu terdapat banyak sekali yang juga menjadi ahli dalam bidang-bidang pengetahuan yang lain yang juga dibutuhkan bagi kemajuan zaman.

Dari sini, dapat disimpulkan bahwa sampai kapanpun nampaknya Pesantren tak akan pernah mati. Meski banyak oknum yang dibui, serta kasus-kasus yang silih berganti, tak serta merta membuat Pesantren hilang di muka bumi. Justru berkat sifat dinamis Pondok Pesantren yang sejak lama mengetahui kebutuhan dari mulai masyarakat kuno hingga masyarakat modern, membuat Pesantren akan tetap eksis sebagai salah satu pilihan pemenuhan kebutuhan bagi kebutuhan rohani serta kebutuhan pedidikan moral bangsa.