Pentingnya Sebuah Mitigasi Bencana

Sebagai negara dengan tingkat bencana yang begitu rentan, Indonesia dikenal masih belum memiliki banyak hal yang bisa memberikan pencegahan lebih dini sebelum datangnya bencana itu pada masyarakat, baik pencegahan dalam segi praktik maupun segi materi atau pemahaman.

Banyak hal yang membuat Indonesia begitu rentan akan sebuah bencana, seperti dari segi geografis yang banyak menempatkan Indonesia sebagai negara yang berada dalam ring of fire (jalur cincin api), hal itu yang membuat bencana alam begitu sering terjadi di Indonesia. Beberapa sebab lain pula mendukung banyaknya sebuah bencana alam terus menerus terjadi setiap tahunnya.

Perbincangan mengenai penanggulangan bencana sudah banyak diperbincangkan, begitu pula dengan beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana yang mengamanatkan mitigasi bencana. Pemerintah tentu saja akan sangat memperhatikan tentang hal tersebut, seperti dalam pernyataannya, presiden Republik Indonesia, Jokowi Dodo pernah mengungkapkan bahwa tak hanya para pegawai atau bagian dari lembaga penanggulangan bencana saja (dalam hal ini, seperti tim SAR) yang hanya mengerti tentang cara penanggulangan bencana atau mitigasi terhadap bencana. Tetapi justru menurut penuturan beliau, pendidikan kebencanaan perlu masuk sebagai kurikulum di bidang pendidikan. Begitu pula dengan Ridwan Kamil yang dalam hal ini juga pernah memerintahkan pada seluruh sekolah yang ada di Jawa Barat untuk menggagas kurikulum tanggap bencana pada proses belajar mengajar.

Terhitung hingga bulan Februari ini ada beberapa berita yang memberikan informasi tentang lembaga pendidikan, baik formal ataupun nonformal yang terkena dampak bencana (baik bencana alam maupun nonalam) dan memakan banyak korban jiwa. Seperti yang telah terjadi pada beberapa sekolah atau lembaga pendidikan yang lainnya yang kemudian harus menghentikan kegiatan belajar mengajar atau bahkan kehilangan banyak hal berharga dari lembaga pendidikan tersebut karena adanya bencana alam. Dalam hal lain seperti bencana nonalam (bencana yang terjadi akibat peristiwa nonalam) seperti kebakaran yang disebabkan oleh korsleting atau hal teknis lainnya dikabarkan telah melahap sebuah lembaga pendidikan nonformal di Kabupaten Karawang dan memakan beberapa korban jiwa.

Berangkat dari hal itu semua, Indonesia sebagai salah satu negara yang rentan terhadap sebuah bencana, apalagi bencana alam karena segi geografisnya, dinilai perlu memiliki kurikulum mitigasi bencana atau penanggulangan bencana bagi setiap pelajar pada setiap jenjang pendidikan. Bahkan tak hanya pada pelajar yang sedang mengemban jenjang pendidikan di lembaga formal saja, tetapi hal ini juga perlu dilakukan terhadap lembaga-lembaga nonformal, seperti Pondok Pesantren. Beberapa kasus yang menunjukkan berjatuhannya korban jiwa akibat bencana (baik alam maupun nonalam) seperti terus menerus terjadi dan dibiarkan begitu saja.

Seharusnya, bila melihat pada Jepang, kurikulum mitigasi bencana diajarkan secara praktik pada anak-anak usia dini. Meski, hal itu dilakukan Jepang juga sekaligus untuk memperingati sebuah bencana alam dahsyat yang pernah menimpa mereka dahulu. Maka seharusnya begitupun dengan Indonesia, dengan beberapa tulisan sejarah yang menyangkut perihal bencana, dari mulai Krakatau sampai peristiwa Aceh, seharusnya melahirkan sebuah pencegahan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Pencegahan atau penanggulangan bencana ini tak hanya bisa diberikan secara praktik di lapangan saja, tetapi juga secara teori, maka dengan memasukan mitigasi bencana pada proses pembelajaran anak di lembaga pendidikan, baik formal maupun nonformal, akan memudahkan setiap rakyat Indonesia untuk menanggulangi bencana secara merata dengan pemahaman yang juga merata.

Kendati demikian, bencana alam memang hanya bisa diminimalisir kedatangannya, biasanya bencana yang bersifat alam tetap saja akan datang dengan sebab akibatnya, dan penanggulangan menjadi salah satu solusi untuk meminimalisir korban yang berjatuhan yang diakibatkan oleh bencana alam tersebut. Berbeda dengan bencana alam, bencana yang bersifat non alam seperti kebakaran yang diakibatkan korsleting atau hal teknis lainnya, atau bangunan rubuh karena bangunan tempat belajar yang tak layak, atau seperti pohon yang dapat rubuh kapan saja menimpa ruang kelas atau ruang tempat para pelajar biasa berkumpul dan memungkinkan memakan korban jiwa, akan terus menambah jumlah pelajar yang harus mati akibat terjebak dalam sebuah bencana nonalam.

Karena berbeda dengan bencana alam, bencana nonalam tentu memiliki cara penanggulangan atau upaya pencegahannya sendiri. Bahkan, meski bencana itu telah terjadi, besar kemungkinan keselamatan akan bisa didapatkan oleh seseorang yang memang mengerti cara mengatasi bencana tersebut agar terhindar dari bencana tersebut. Oleh karena itu, standarisasi keamanan baik dari segi fasilitas serta kurikulum yang diajarkan perlu ditentukan.

Dengan adanya standarisasi keamanan yang nantinya menjadi patokan sebuah lembaga pendidikan, baik formal maupun nonformal, untuk memberikan tak hanya pemahaman mitigasi bencana, baik bencana alam maupun bencana nonalam, tapi juga memberikan hal-hal praktis yang bisa memudahkan setiap pelajar untuk mengetahui upaya yang efektif terhindar dari sebuah bencana. Dengan begitu, tak hanya fasilitas yang mungkin bisa diupayakan untuk diselamatkan, tetapi jutaan nyawa anak-anak bangsa juga dapat terselamatkan.