Patah Hati Yang Sebenarnya

Ilustrasi: Nyarita.com
Ilustrasi: Nyarita.com

Selesai sarapan aku bersiap untuk pergi menuju tempat dimana aku biasa menorehkan isi pikiran, berekspresi sesuka hati lewat tangan lenturku. Hari Minggu adalah hariku; hari merdeka, karena aku bisa berekspresi di atas kanvas bersama kuas dan cat serta kawan-kawannya.

“Waktu hampir habis Liya, segera selesaikan. Kita harus pulang” ucap wanita paruh baya yang setia menungguiku dari pagi hingga mentari terik. Ibuku, wanita hebat yang mengantarkan aku pada posisi ini, menjadi diriku sendiri.

“Huhhh, akhirnya…” Ujarku pada diri sendiri. Kemudian merapikan kuas-kuas yang telah dicuci ke dalam tas. Ku simpan kanvas hasil lukisku dibarisan hasil karya teman-temanku, karena minggu depan aku akan kembali.

“Selesai Bu” kuhampiri ibu yang sedang bercengkrama dengan ibu pemilik sanggar. Kami berpamitan, lantas bergegas menuju tujuan selanjutnya.

**

“Ibu, sementara ibu belanja aku jalan-jalan sendiri ya” sahutku dengan ceria. Ibu menoleh dan mengangguk tersenyum.

“Boleh, jangan lupa aktifkan handphone nya ya” kami turun dari mobil dan melenggang bersampingan.

Sesampainya di lobi, kita berpisah, aku ke arah kanan dan ibu ke kiri menuju pusat makanan.

Aku seorang remaja berbalut kebahagiaan, bertindak ceria berjalan sendirian di lorong-lorong tempat berbelanja. Sendiri itu tenang, asik menikmati hentakan kaki sendiri, menghirup udara bercampur ketenangan. Orang-orang juga berlalu lalang di hadapanku, tetap saja aku melenggang tenang. Di sela-sela langkah kaki, aku melihat sesuatu yang membuatku tertarik, penasaran dan ingin menghampirinya. Karena sendiri, tanpa ba-bi-bu lagi aku sedikit berlari namun langkahku tertahan oleh bunyi nyaring di tas selempangku.

“Iya ibu, aku segera kesana” lunglai sudah kakiku, balik kanan dari arah tujuan, berjalan sedikit lamban dan lemas. ‘Ahhh’ batinku mendengus kesal.

**

Seperti biasa setiap minggu adalah hariku. Sepulang melukis aku dan ibu pergi ke Mall. Tujuan kami berbeda, aku benar-benar ingin menemukannya, iya, yang telah buatku terus mengingatnya. Semoga langkahku tidak sia-sia, aku ingin bercengkrama, berhadapan langsung dengannya. Semoga ia tetap di sana.

Aku telah sampai di tempat minggu kemarin melihatnya. Pandanganku berkelana mencari keberadaannya, aku yakin di sana. Tapi belum jua aku melihatnya, barangkali ia pindah atau mungkin….

Tanpa pikir panjang aku masuk ke dalam toko itu, memastikan apa yang aku lihat adalah ia yang buatku terpana dan menarik hati. Aku yakin di sini, ini tempat aku melihatnya. Kenapa bisa tidak ada? Lantas, aku mencari lagi. Kegembiraan menghujani hati, aku menemukannya, yang aku cari telah di hadapanku. Bercengkrama adalah hal paling sederhana untuk mencairkan suasana. Hatiku berbunga, rasa-rasanya aku telah jatuh hati, aku ingin memilikinya.

“Liya, sedang apa senyum-senyum sendiri?” tegur seseorang yang suaranya tak asing di telingaku. Sontak aku kaget dan kebingungan, lalu menggaruk belakang kepalaku yang tidak gatal.

“Eh i-ibu, kenapa tiba-tiba disini? Bagaimana bisa menemukan aku?” jawabku kikuk bercampur malu.

“Ayo kita pulang” ucapnya sambil melangkah keluar toko. Aku membuntutinya di belakang.

**

Minggu kali ini aku tidak melukis karena sedang tidak ada inspirasi. Kebetulan lukisan kemarin baru saja aku selesaikan. Aku pikir aku sedang malas menarikan kuas di atas kanvas. Di sisi lain ada kesedihan yang menguar tanpa di sengaja, aku tak bisa pergi ka Mall, tepatnya ke toko itu. Aku masih memikirkannya, aku kira ini mudah dengan tidak pergi kesana aku mampu melupakannya. Ternyata tidak, aku tersiksa, pesonanya membuatku benar-benar terpana. Sayangnya tak bisa jika harus memaksakan diri untuk menemuinya lagi. Ibu akan tidak senang aku pergi sendiri, haruslah ia ikut bersamaku.

Kurebahkan badan di sofa sambil mengingat kejadian minggu kemarin di toko itu, sepertinya aku telah jatuh cinta, bahkan untuk pertama kali melihatnya. Bagaimana bisa aku memilikinya ?
Lamunan-lamunan panjang di siang hari yang sepi, mengantarkan aku pada sisi alam bawah sadar, semakin dalam dan nyaman. Hingga lupa mulutku menganga tanpa sadar.

**

Akhirnya aku punya inspirasi, hari ini aku ingin menggambar anime lucu, rambutnya berkibar-kibar, pipinya merona dan seorang petarung hebat. Aku memikirkan Yamanaka Ino yang telah jadi akibat tarian tanganku nanti. Inspirasi ini aku dapatkan setelah membaca komik Jepang, dan entahlah aku ingin menggambar Yamanaka Ino dalam movie Naruto.

Di sisi lain, kebahagiaan telah bersamaku. Lamunanku telah berada di toko itu, bersamanya, dan berharap akan memilikinya. Membawanya pulang bersama aku dan ibu, semobil bersamanya. Sungguh kebahagiaan yang tak terhingga.

“Lukisan yang bagus Liya, nanti bulan depan akan ada pameran di kota, kurator akan menyeleksi lukisan-lukisan kamu untuk di pamerkan. Cepat selesaikan yah, karena bulan depannya lagi kita akan ke Yogyakarta untuk pameran selanjutnya” Ibu sanggar yang sedari tadi berada di sisiku, mendampingiku, mengarahkanku. Beliau pelukis hebat, perantara aku bisa menjadi pelukis, meski belum sehebat dirinya.

“Terimakasih, Bu. Siap laksanakan, hihi” jawabku dengan sumringah. Lantas, ku rapikan semua alat lukis dan siap-siap bergegas pulang. Kami pun berpamitan.
Perjalanan yang tenang, kota sedang tidak ramai seperti biasanya. Mungkin banyak orang weekend ke luar kota, pikirku.

“Bu, seperti biasa bukan kita akan ke Mall?” tanyaku pada ibu yang sedang menyetir.

“Tentu saja sayang” batinku bersorak bibirku melengkung ke atas. “Ibu akan membeli keperluan dapur” lanjutnya lagi, kemudian memasuki area Mall dan menuju tempat parkir.

Seperti biasa sampai di lobi kami berbeda arah. Jalan kanan adalah arah paling benar dan indah, pikirku. Sedikit berlari menuju toko itu karena lumayan jauh untuk ditempuh jalan kaki dengan gontai, akan menghabiskan waktu lama dari pada lari kecil.

Aku sudah di depan tokonya. Tanpa ragu lagi aku melangkah dan masuk, mencari target dan membawanya pulang. Itulah pikiranku.

Kaki ini masih mencari, matanya tak kalah jeli dengan mata hatiku. Akhirnya aku temui dia, kulihat dengan saksama, kuraba dan kuambil dengan penuh hati-hati.

Setelah minggu-minggu lalu bercengkrama lewat ceritanya, alurnya yang membikin aku menganga dan juga terpesona oleh diksinya. Cantik itu luka karya Eka Kurniawan telah menawan hatiku untuk lebih dalam hanyut dalam ceritanya, jatuh masuk ke dalam kehidupan perempuan kolonial dan si Cantik anaknya. Kini, buku ini telah di tanganku. Tak sampai hati aku meninggalkannya lagi, kubawa saja pada kasir Gramedia.

‘Aih tunggu-tunggu’ langkahku terhenti. Batinku mengelak. Uang sakuku tak cukup untuk beli ini. Aku masih mematung, menatap nanar buku di tangan kananku. Aku berpikir lagi sebelum akhirnya kembali menyimpan buku itu di rak kayu kuning langsat toko ini.

Ekspresiku langsung berubah, senyumku memudar bersamaan dengan langkah kaki yang menjauhi toko. Arah kanan tak selalu benar, arah kanan ada kalanya samar. Cantik, aku pulang.

Fatimah
Latest posts by Fatimah (see all)