
Tulisan ini dibuat bukan sebagai dukungan atau bantahan pada pihak-pihak tertentu. Tulisan ini sengaja saya buat sebagai bentuk keprihatinan saya secara pribadi melihat situasi dan kondisi NU Karawang pasca Konfercab XXI di Pesantren Attarbiyah, bulan Maret lalu.
Pada Konfercab itu, saya bukanlah seorang tim sukses dari kandidat calon Ketua PCNU mana pun. Saya hanya sebagai panitia penyelenggara yang turut menyukseskan jalannya rangkaian musyawarah tertinggi tingkat cabang di NU.
Sebagai panitia, saya merasa Konfercab berlangsung lancar dan sukses. Meskipun, dalam perjalanannya ada kompetisi antar kandidat calon ketua dan pendukungnya yang terlihat sengit, yakni antara kubu Kiyai Uyan dengan kubu H. Zaenal.
Terus terang, sampai tulisan ini saya buat, saya hanya mengenal sosok Kiyai Uyan saja. Karena memang beliau adalah petahana ketua PCNU periode sebelumnya. Untuk itu, sebelum Konfercab saya sempat juga menulis biografi singkat tentang Kiyai Uyan. Selain itu, saya juga sering bertemu dan mendapat nasihat dari beliau. Namun, dengan demikian bukan berarti saya menjadi bagian dari tim suksesi pemenangan beliau di Konfercab PCNU XXI.
Sekali lagi, Konfercab XXI PCNU Karawang berjalan sukses. Hasil musyawarah pleno akhir yang dipimpin oleh Pengurus Wilayah NU saat itu menghasilkan sebuah keputusan bahwa pemegang mandataris Konfercab XXI PCNU Karawang adalah Kiyai Uyan sebagai Ketua dan KH. Nandang sebagai Rois Syuriah. Secara pribadi, saya sepakat, karena kedua Kiyai ini memang sangat pantas menjadi pemimpin Nahdliyin se- Karawang.
Pasca Konfercab, saya kira akan ada rekonsiliasi antar kandidat dan pendukungnya. Ternyata tidak. Hal yang sangat menyedihkan bagi saya sebagai warga NU sekaligus kader muda NU Karawang.
Mengapa demikian. Pertama, Saya amati sejak selesai Konfercab sampai hari ini, ternyata masih banyak warga NU struktural yang ‘kagetan’. Mereka seakan-akan tidak memiliki niat yang baik untuk berkhidmat di Nahdlatul Ulama dan mempersiapkan diri menyongsong Satu Abad NU yang secara global tantangannya sangatlah ketat. Mereka masih terlihat haus pada kekuasaan dan memilih untuk tetap protes pada hasil Konfercab XXI lalu. Saya tidak tahu dan tidak mau tahu apakah di belakang mereka ada penguasa yang mengendalikannya. Kalau saja ini benar terjadi, penguasa dan yang terlibat, sangat tidak bermoral.
Mari berpikir. Setahu saya yang masih awam, Nahdlatul Ulama ini sebagai wadah untuk kita berkhidmat dan berjuang untuk agama, bangsa dan negara. Bukan untuk saling berebut kekuasaan dan mengeluarkan hawa nafsu habis-habisan. 96 tahun NU berdiri kokoh dan kuat adalah berkat doa dan perjuangan para muassis. Para muassis itu tidak mencontohkan untuk saling berebut kekuasaan. Hal ini yang harus kita refleksikan bersama.
Kedua, saya amati, bentuk protes itu tidak hanya sampai situ saja. Berbagai cara dan statement terus membanjiri pemberitaan terkait hasil keputusan Konfercab XXI. Hingga beberapa waktu lalu, sebuah “senjata” telah dilemparkan oleh satu pihak yang merasa terkhianati dan langsung ditangkap oleh kader NU ‘kagetan’ tadi. “Senjata” yang dimaksud adalah surat perjanjian antara Kiyai Uyan dengan salah satu ketua partai. Kemudian mereka membawa dan menyebarluaskan “senjata” itu ke publik hingga sampai pada telinga Pimpinan tertinggi NU, yakni Gus Yahya. Para warga NU ‘kagetan’ memanfaatkan “senjata” tadi dan situasi politik nasional antara PBNU dengan salah satu partai politik untuk menjatuhkan mandataris Konfercab dan mengharapkan Konfercab diulang lagi. Karena mengklaim pihaknya sebagai ‘orang yang terdzalimi’ bak tokoh-tokoh sinetron yang selalu melakukan playing victim.
Mohon maaf, saya pikir warga NU ‘kagetan’ itu sangat naif. Padahal, mereka pasti tahu bahwa pada setiap momentum politik, wajar saja apabila ada bargaining dan kesepakatan-kesepakatan politik antar individu atau kelompok. Seharusnya, hal yang perlu dicermati adalah apakah kesepakatan itu dilaksanakan atau tidak. Pada faktanya, hal-hal yang disepakati antara Kiyai Uyan dan partai politik tadi tidak dilaksanakan. Saya melihat bukanlah penghianatan dalam hal ini, namun strategi yang dimainkan Kiyai Uyan dalam arena. Dan itu biasa terjadi dalam arena politik. Itu juga menandakan Kiyai Uyan tidak dikendalikan oleh penguasa mana pun.
Ironi sekali melihat upaya-upaya yang dilakukan warga NU ‘kagetan’ itu, bukan?. Untuk itu, saya berharap masih banyak warga NU yang berfikir jernih dalam menangkap informasi-informasi yang tersebar di media sosial dan pemberitaan lokal.
Mari sama-sama kita jaga jam’iyyah kita. Jangan sedikit pun membuat kegaduhan yang jauh dari moralitas sesama warga NU. Jadilah warga NU yang cerdas dan mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan-tantangan global yang kian hari kian besar tantangannya. Bukan terus bergelut pada wilayah itu-itu saja. Dan sekali lagi, jangan jadi warga NU yang kagetan. Nge-NU kok kagetan, mase.
- Belajar Pada Gus Dur: Sosok Multidimensi Pejuang Keadilan - 9 Maret 2023
- Ekstremisme Dalam Bingkai Toleransi - 23 Januari 2023
- NU Kagetan - 7 Juli 2022