
Salah satu perkembangan zaman yang cukup mencolok di era globalisasi ini adalah adanya pengadaan alat-alat teknologi baru yang berbasis listrik. Sebab, listrik dipandang sebagai salah satu energi yang ramah lingkungan, akhirnya mendorong adanya pengadaan alat transportasi yang menggunakan bahan bakar berenergi listrik.
Para ilmuwan dari abad 81 dikatakan telah memulai langkah-langkah kecil dalam menggarap proyek ini. Namun, barulah pada era modern ini, produksi alat-alat yang berenergi listrik mulai banyak diproduksi secara masal. Sebagai salah satu contoh dari proyek yang diklaim ramah lingkungan tersebut adalah adanya pengadaan mobil listrik.
Mobil sebagai salah satu alat transportasi darat yang paling banyak digunakan manusia manapun di seluruh dunia, dipandang sebagai kebutuhan yang amat penting bagi kehidupan umat manusia abad ini. Karena dianggap penting, penggunaan mobil di seluruh dunia akhirnya secara cepat terus mendapati jumlah yang begitu banyak.
Meski demikian, mobil sebagai alat transportasi yang paling banyak digunakan di seluruh dunia ini tentu memberi dampak yang cukup besar pula bagi lingkungan sekitar. Jumlah penggunanya yang begitu besar serta waktu penggunaannya yang juga sangat panjang ini membuat mobil mulai disadari sebagai salah satu faktor perusak lingkungan.
Salah satu yang paling mencolok dari dampak buruk penggunaan mobil adalah dampak polusi yang dihasilkannya. Hal itu berkat asap dari knalpot mobil yang juga lahir dari uap bahan bakar alat transportasi tersebut. Sebab tak ada pilihan, tanpa bahan bakar mobil tak bisa jalan, maka tak ada alasan untuk lebih peduli pada lingkungan.
Namun, melihat kembali pada pembahasan di awal bahwa hari ini telah ada teknologi baru yang dianggap dapat menyelamatkan lingkungan, tetapi juga mobil masih dapat digunakan. Hal itu diterapkan secara langsung pada alat transportasi beroda empat ini. Dengan bantuan listrik, nantinya sebuah mobil masih dapat berjalan untuk mengatarkan manusia pada tujuannya tanpa merusak lingkungan.
Kemunculan Baik Buruk Mobil Listrik

Berawal dari proyeksi-proyeksi kecil para ilmuwan di Belanda, Hongaria dan beberapa negara di Eropa lainnya pada abad 81, akhirnya proyeksi mobil listrik sebagai alat transportasi baru dengan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan kini mulai diproduksi secara masal. Bahkan tak hanya itu, mobil listrik kini sudah mejadi tren tersendiri bagi para pegiat otomotif. Dalam hal ini, salah satu perusahaan besar di Texas yang bergerak dalam memproduksi mobil listriknya yang bernama Tesla begitu hype di kalangan masyarakat dunia.
Meski memiliki harga yang sangat fantastis, dimana satu buah mobil Tesla dihargai dengan bandrol Rp. 2-3 Miliyar. Tren untuk memiliki mobil berteknologi listrik ini begitu menggadrungi seluruh keinginan pengendara mobil di seluruh dunia. Sebab bagiamana tidak, tak hanya ramah lingkungan, mobil listrik yang dihasilkan Tesla tersebut dinilai lebih aman digunakan oleh pengendara.
Seperti yang diungkapkan Rudy Salim, Presiden Direktur Prestige Image Motorcars Indonesia, bahwa Tesla merupakan sebuah mobil berteknologi safety. Beberapa buktinya adalah Tesla tidak akan meledak bila terjadi sebuah kecelakaan, sebab dalam kap mesinnya, tak terdapat sebuah mesin. Tak hanya itu, Tesla juga memiliki kelebihan untuk lebih kuat dari serangan benda tajam. Sehingga pengendara akan aman saat ada sebuah gangguan dari luar yang berasal dari serangan benda tajam.
Dibalik keperkasaannya, kegagahannya, kecanggihannya, serta keistimewaannya sebagai alat transportasi berteknologi canggih, ternyata mobil listrik memiliki jejak buruk dalam menjaga kelestarian lingkungan. Hal itu bisa diketahui dari berbagai macam artikel bahwa bagaimana sebuah mobil listrik dapat juga merusak lingkungan. Dalam hal ini memang perusakan lingkungan yang diberikan oleh mobil listrik bukan saat digunakan, melainkan saat proses pembuatan.
Hal tersebut dapat diketahui ketika satu buah mobil listrik membutuhkan nikel sebagai bahan bakunya atau bahan utamanya. Tak hanya itu, energi fosil seperti solar dan batu bara yang nantinya dijadikan sebagai bahan utama untuk bahan bakarnya merupakan kebutuhan untuk memproduksi mobil listrik.
Meski begitu, memang bila dibandingkan secara apple to apple dengan mobil berbahan bakar bensin, tentu mobil listrik masih dapat dinilai lebih ramah lingkungan. Hal itu sesuai seperti yang telah diungkapkan pengamat otomotif sekaligus akademisi di Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Pasaribu pada laman artikel Detikoto.
Dengan begitu, mobil listrik masih tetap dapat menjadi opsi yang lebih baik. Namun, dalam perkembangannya ini justru mungkin banyak orang yang tak tahu bahwa pada proses pembuatannya, mobil listrik ternyata telah banyak merugikan lingkungan, terutama bagi lingkungan di Indonesia.
Indonesia Pasar Besar Gudang Bahan Baku Mobil Listrik

Seperti yang diketahui dari ungkapan Presiden Jokowi Dodo saat membahas terkait teknologi mobil listrik ini, beliau mengungkapkan bahwa dengan adanya proyek mobil listrik dari perusahaan-perusahaan besar di luar negeri dapat membantu kegiatan eksportir Indonesia pada produksi nikel dengan jumlah yang akan sangat banyak, dan tentu hal tersebut akan menjadi keuntungan bagi Indonesia. Sebab dalam beberapa data yang ditemukan terungkap bahwa Indonesia merupakan salah satu negara penghasil nikel terbesar di dunia.
Dalam data statistik menurut pemerintah, Indonesia merupakan negara penghasil nikel dengan cadangan produksinya sebagai yang paling banyak di dunia. Bahkan di beberapa pulau, perusahaan tambang bijih nikel hingga mencapai ratusan jumlahnya.
Sebagai salah satu contoh, di provinsi Sulawesi Tenggara, terdapat 138 perusahaan tambang bijih nikel yang terdaftar dalam hitungan Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2021. Belum lagi jumlah yang lain di provinsi yang berbeda. Dengan begitu telah sah dan benar adanya, bahwa Indonesia merupakan surga dari bijih nikel yang sedang dicari banyak orang untuk energi baterai.
Berangkat dari pembahasan di atas, aktifitas pertambangan selalu saja memiliki objek penderita dalam pelaksanaannya. Dalam hal ini, beberapa masyarakat, bahkan terbilang cukup banyak yang ternyata harus menjadi korban dari akifitas pertambangan bjih nikel tersebut. Tak hanya itu, secara otomatis pula, beberapa lanskap indah di beberapa daerah pulau Sulawesi akhirnya mulai tercemari oleh proses pertambangan nikel tersebut.
Sebuah kemajuan dari buah zaman yang berbentuk kemudahan serta keuntungan dari teknologi selalu saja secara konstan melahirkan korban. Naasnya, tak banyak orang Indonesia khususnya, yang mengetahui dampak buruk yang ternyata dilahirkan dari sebuah solusi brilian dengan tujuan pelestarian lingkungan itu.
Dampak Buruk Tambang Bijih Nikel Dikemas Baik Dalam Sebuah Film yang Mendunia

Salah satu yang menjadi sorotan adalah adanya sebuah film dokumenter karya anak bangsa yang justru dianugerahi penghargaan di luar negeri. Film dokumenter tersebut merupakan film dokumenter yang secara khusus mengajak penonton untuk melihat lebih dekat dampak dari proses pertambangan bijih nikel yang ternyata telah begitu merusak lingkungan salah satu daerah pesisir di Provinsi Sulawesi Tenggara, tepatnya di Desa Tapunggaeya.
Film tersebut berhasil menyabet juara dalam ajang Yale Environment 360 Film Contest. Film tersebut berjudul “From Dreams to Dust”. Tak hanya itu, film karya anak bangsa tersebut menjuarai ajang bergengsi dalam dunia perfilman itu juga berhasil mengalahkan lebih dari 500 film hebat lain dari negara-negara lain. Salah satu hal yang menjadi sorotan dalam film peraih gelar bergengsi ini merupakan fokusnya pada penyorotan perusakan aktifitas pertambangan bijih nikel yang merupakan bahan utama dari produksi baterai untuk mobil listrik.
Seperti yang diungkapkan dalam artikel di laman liputan6.com, pihak Yale Environment mengungkapkan bahwa dalam film tersebut sang pembuat, yakni
dan Muhammad Fadli menceritakan sebuah desa yang begitu asri dengan sumber daya alamnya yang tak hanya indah tapi juga melimpah. Desa tersebut adalah Desa Tapunggaeya yang berada di pesisir pulau Sulawesi, tepatnya di Sulawesi Tenggara.
Tak hanya itu, dalam film tersebut juga dipertontonkan bagaimana desa tersebut merupakan desa dengan penghasil nelayan terbaik di Indonesia, dengan lautnya yang elok di mata dan perbukitan di sekitarnya yang tak kalah memanjakkan setiap yang memandangnya.
Namun, hal yang menjadi sorotan dalam film tersebut adalah kejadian yang cukup mengenaskan yang tak disadari banyak orang. Diungkapkan juga bahwa Tapunggaeya kini telah melewati proses perusakan yang begitu hebat bagi lingkungannya, serta kehidupan sosial masyarakatnya selama berabad-abad. Naasnya, hal itu ternyata diakibatkan oleh aktifitas perusahaan tambang bijih nikel yang berada dekat dan tepat di Desa tersebut.
Beberapa kerusakan yang diciptakannya itu adalah adanya bencana longsor yang terakhir terjadi pada tahun 2019 silam, mengotori air minum bagi masyarakat, serta mencemari air laut di bagian pesisir desa tersebut. Selain itu, hal yang menjadi membuat penonton merasa dapat tenggelam dalam film dokumenter tersebut adalah pengemasan pesan yang mereka selipkan dari hasil peliputan secara khusus pada seorang mantan nelayan di desa tersebut yang kini telah berprofesi sebagai supir truk bagi perusahaan tambang tersebut.
Diungkapkan pula, bahwa sang mantan nelayan kini digajih dengan harga yang fantastis, yakni US$ 200 per bulannya (sekitar Rp.2,9 Juta). Namun dalam film tersebut juga sekaligus dipertontonkan bahwa sang mantan nelayan tersebut kini juga meratapi lingkungan desanya yang telah begitu rusak oleh pertambangan.
Kemudian, naasnya pertambangan tersebut tak hanya satu, dan yang dialami oleh Tapunggaeya yang lain juga begitu banyak, terkhusus di daerah Sulawesi Tenggara. Ternyata perusahaan-perusahaan tersebut merupakan kombinasi serta kolaborasi dari perusahaan-perusahaan kecil swasta, perusahaan milik negara, dan perusahaan raksasa seperti Vale dari Brasil.
Sialnya, penayangan film dokumenter tersebut justru cukup sulit diakses oleh masyarakat Indonesia sendiri. Karena, dikatakan dalam keterangan perilisan penayangannya, film tersebut hanya bisa diakses melewati sebuah laman aneh yang justru tak banyak orang yang tahu. Serta ternyata hal itu terjadi bukan karena pembuat film atau yang bersangkutan melakukannya untuk menambah pendapatan keuntungan. Justru pembatasan tersebut dilakukan oleh Kominfo tanpa alasan yang jelas.
Masalah Legalitas yang Nampaknya Masih Dianggap Sepele

Masalah lain yang juga bisa jadi sebuah sorotan dalam masalah ini adalah adanya bukti bahwa ternyata terdapat sebuah perusahaan tambang ilegal di desa tersebut. Menurut laporan sebuah berita dalam laman Republiknews.co.id, dikatakan bahwa terdapat sebuah perusahaan pertambangan bijih nikel yang bernama PT. Cinta Jaya yang masih melaksanakan operasi kegiatan produksinya di desa tersebut setelah diketahui ada sebuah Surat KUPP Kelas III Moloawe bernomor UM.003/02/VII/UPP.Mlw-22 tertanggal 2 Agustus 2022. Namun setelah surat tersebut keluar dan menyatakan bahwa Terminal Khusus (TERSUS) II milik PT. Cinta Jaya dinyatakan ilegal, perusahaan tersebut dilaporkan masih saja mengoperasikan alatnya yang bernama Jetty di daerah tersebut.
Dalam laporan surat KUPP tersebut dikatakan bahwa Jetty II milik perusahaan tersebut tidak memiliki izin operasional dan izin pembangunan. Tak hanya itu, dalam kasus tersebut dilaporkan juga bahwa ternyata tak ada ketegasan dari pihak KUPP terhadap pihak perusahaan. Sebab sebagai buktinya, secara kesengajaan, pihak perusahaan masih terus melanggar aturan yang ada.
Terlebih lagi, dalam hal ini perizinan pembangunan TERSUS itu tidak mudah untuk didapatkan. Menurut penuturan pimpinan Lingkar Hijau Nusantara, Maul Gani, menyatakan bahwa dalam proses perizinannya pembuatan TERSUS itu tidak mudah. Perlu adanya kajian teknis, rencana teknis, uji kelayakan, AMDAL, persyaratan lengkap pun masih harus dievaluasi lagi juga tidak otomatis dikabulkan, bisa juga ditolak.
Hal itu membuktikan bahwa baik pihak perusahaan dan pihak yang berwenang nampaknya tidak benar-benar serius membereskan masalah tersebut. Padahal jika masalah legalitas perusahaan pertambangan ini dibiarkan, maka jelas sebuah kerugian yang merugikan hanya akan terkena dampaknya pada lingkungan dan masyarakat sekitar.
Tak hanya di Tapunggaeya, sebuah kasus perusahaan ilegal juga ditemukan di dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas di Desa Lamondowo, Kecamatan Andowia, Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara. Penyidik Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wilayah Sulawesi, menyerahkan pria berinisial RMY (27), Direktur PT. JAP (James & Armando Pundimas) sebagai tersangka tambang nikel ilegal tersebut. Akhirnya, pria tersebut dibawa ke Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara, lengkap dengan barang buktinya, 3 buah eskavator dan 3 buah dump truck yang beroperasi sewenang-wenang dalam kawasan tersebut.
Pemeriksaan terhadap pengawas, operator dan supir menunjukkan bahwa penambangan nikel yang dilakukan PT. JAP adalah ilegal karena tidak memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dan perizinan lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Hingga pada akhirnya, kasus tersebut dianggap selesai dengan penetapan tersangka sebuah jeratan hukuman sesuai perundang-undangan.
Namun demikian, dalam hal tersebut pihak KLHK meminta pada pihak yang berwenang untuk tak hanya mengusut sampai perusahaan tersebut saja, namun juga perlu adanya pengusutan secara meluas. Sebab dalam hal ini, sebuah pelanggaran terhadap pelestarian hutan dan lingkungan pasti dilakukan secara besar dan meluas. Maka dinilai perlu adanya penyisiran pada perusahaan-perusahaan tambang yang lain.
Dua kasus di atas merupakan sebagian kecil dari kasus pertambangan ilegal. Dalam hal ini, menurut sebuah artikel dari CBC Indonesia menjelaskan bahwa ada dua hal yang dianggap sebagai kegiatan pertambangan yang datang dari masyarakat. Menurut Rizal Kasli, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), bahwa hal yang pertama adalah Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan yang kedua adalah Pertambangan Tanpa Izin (PETI).
Dalam penjelasan singkatnya, IPR adalah sebuah kegiatan pertambangan kecil yang memiliki izin atau legalitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dengan alat yang sederhana dalam Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Hal itu sesuai dengan UU Minerba No. 3 Tahun 2020.
Sedangkan PETI merupakan kegiatan pertambangan illegal atau tanpa izin yang juga dilakukan oleh masyarakat setempat dengan peralatan yang sederhana pula, tanpa wawasan pelestarian lingkungan, tanpa wawasan keselamatan, serta merupakan hasil kerja sama antara pemodal dan pedagang. Dalam PETI, terdapat juga sebuah kasus yang ditemukan berasal dari geliat perusahaan dan koperasi.
Menurut Rizal, PETI tumbuh seiring peningkatan harga komoditas tambang yang semakin tinggi dan lemahnya penegakan hukum. Kegiatan PETI yang semakin marak terjadi di Indonesia, meskipun terdapat ancaman pidana maupun perdata, faktanya pertambangan tanpa izin tetap berlangsung tanpa terkendali. Data Kementerian ESDM hingga kuartal III 2021 menunjukkan terdapat lebih dari 2.700 lokasi PETI yang tersebar di Indonesia. Dari jumlah tersebut, lokasi PETI batubara sekitar 96 lokasi dan PETI mineral sekitar 2.645 lokasi.
Tak hanya itu, geliat PETI bisa menimbulkan pasar gelap (black market) yang menjual alat-alat pertambangan yang merupakan bagian dari bentuk pelanggaran dari penghindaran pajak resmi barang tambang. Maka dengan adanya hal tersebut, kegiatan PETI ini tak hanya dapat merusak lingkungan, namun juga dapat merugikan negara dan masyarakat luas.
Solusi bagi Pilihan Dilematis

Dalam hal ini, memang tak bisa dipungkiri bahwa sebuah pilihan dalam kehidupan bermasyarakat untuk memilih antara melestarikan lingkungan atau mengeruknya untuk mencari keuntungan nyaris bukan sebuah pilihan. Sebab sudah barang pasti hal tersebut akan didominasi oleh masyarakat yang lebih cenderung memilih mendapat keuntungan dari alam atau lingkungan dan tentu merusaknya, daripada melestarikan lingkungan namun tak berpenghasilan.
Sebuah hal dilematis tersebut sebenarnya merupakan hal yang cukup wajar, karena baik pelestarian lingkungan, keadaan sosial masyarakat, serta pembangunan ekonomi negara, sama-sama hal penting yang harus diperhatikan.
Namun, ternyata hal ini memiliki sebuah solusi. Seperti yang diungkapkan madaniberkelanjutan.id dalam sebuah artikelnya mengungkapkan bahwa proyeksi sebuah negara terhadap aktifitas pembangunan ekonomi telah terjadi sejak zaman perang dunia ke-2. Hingga sampai berabad-abad lamanya memang hal ini masih terus menjadi sebuah masalah.
Meski demikian, di sana diungkapkan ada sebuah solusi yang sebenarnya dapat pemerintah lakukan untuk tak hanya memilih satu dari tiga diantara pilihan tersebut. Sebab baik ekonomi, lingkungan, maupun sosial masyarakat, ketiganya merupakan hal penting yang harus selalu menjadi perhatian. Dalam artian, ketiga hal tersebut tak boleh ada satu yang dimenangkan sedangkan dua yang lainnya menjadi kalah dan terabaikan. Karena sudah barang pasti sebuah negara akan mengalami kemunduran yang sangat signifikan jika satu diantara tiga hal tadi ada yang terbaikan.
Salah satu solusinya adalah usaha pemerintah untuk melakukan keseimbangan serta keselarasan dari aktifitas ketiganya. Sebuah pembangunan ekonomi, pelestarian lingkungan, serta keseimbangan sosial di masyarakat perlu sama-sama diperhatikan.
Secara lebih spesifik jumlah-jumlah produksi serta pegelolaan dari sumber daya alam yang berkelanjutan juga harus terus dilakukan. Sebab bila hanya melihat pada segi produksi yang berasal dari kekayaan alam yang terbatas tersebut, tentu akan habis dan raib bagi kebutuhan manusia yang justru tak terbatas. Dengan begitu, perlu adanya sebuah sikap bersinergi dalam pengelolaan ketiganya, sehingga nantinya tak hanya ekonomi yang membaik, tapi juga alam tetap lestari, serta kesejahteraan yang sesungguhnya dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat dan tidak akan menimbulkan ketimpangan sosial.
Namun, beberapa kasus di Sulawesi Tenggara di atas justru sedikitnya dapat menjadi bukti bahwa ternyata Indonesia masih belum bisa memaksimalkan sikap bersinergi untuk menjaga ketiganya. Pada kenyataannya, hanya kepentingan pada hal yang dinamakan pembangunan ekonomi saja yang diperhatikan dengan memproduksi banyak bijih nikel.
Padahal di sisi lain, meski Indonesia dikatakan sebagai penghasil bijih nikel dengan cadangan terbesar di dunia ini juga lambat laun akan mengalami kehabisan dalam proses produksinya. Tak hanya itu, berkat fokus yang tak seimbang tersebut, lingkungan yang menjadi kewajiban untuk dijaga sebagai warisan pada anak cucu, justru pada abad ini sudah banyak mengalami kerusakan. Tapunggaeya adalah satu dari sekian banyak desa yang tecemar dan merasakan akibatnya.
Tak hanya itu, ketimpangan sosial justru semakin merajalela di tengah program pembangunan ekonomi tersebut. Memang benar adanya, lapangan pekerjaan bagi beberapa masyarakat lokal bertambah, namun uang memang bukan segalanya. Pada bukti kenyataannya, seperti yang disorot dalam film dokumenter yang dibahas di atas, seorang mantan nelayan yang digajih berjuta-juta setiap bulan itu pun masih tetap merasa sakit hati dan hanya bisa meratapi kecongkakkan dari pembangunan ekonomi yang tak memperhatikan pelestarian lingkungan.
Sebab kini, uangnya yang bisa jadi lebih banyak sebagai bentuk dari penghasilannya, justru digunakan hanya untuk membersihkan lumpur bekas debu pabrik, serta pasca longsor yang menimpa kampungnya. Ditambah, anak cucunya yang merugi tak mendapatkan lingkungan asri yang dulu sempat dirasakannya semasa kecil. Dan yang paling penting, mantan nelayan itu tak benar-benar kaya dan sejahtera, justru orang korporat yang semakin kaya berkat pekerjaan berat yang dilakukannya untuk membantu mereka.
Tesla dan Mobil Listriknya Tak Benar-Benar Ramah Lingkungan

Dibalik hal-hal yang tertera di atas, merupakan sebuah berita besar ternyata tak banyak diketahui orang. Berita tersebut mengabarkan bahwa salah satu perusahaan mobil listrik terbesar di dunia, yakni Tesla.Inc dilaporkan telah membeli nikel dari Indonesia. Menurut laporan berita CNN Indonesia dikatakan bahwa Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menuding Tesla Inc membeli nikel bernilai sekitar US$5 miliar atau setara Rp74,5 triliun (asumsi kurs Rp14.901 per dolar AS) dari dua perusahaan asal Cina yag terletak di Indonesia, yaitu Zhejiang Huayou dan CNGR Advanced Material.
Zhejiang Huayou merupakan perusahaan yang bergerak dalam penelitian, pengembangan, dan pembuatan bahan baterai lithium energi baru dan produk bahan baru kobalt. Perusahaan ini berkantor pusat di Zona Pengembangan Ekonomi Tongxiang, Zhejiang, Cina. Sedangkan, CNGR Advanced Material merupakan anak perusahaan dari Hunan CNGR Holding Group Co., Ltd, yang berfokus pada penyedia layanan profesional dan komprehensif bahan energi canggih untuk baterai lithium. Perusahaan ini berbasis di Cina Barat, Zona Pengembangan Ekonomi Dalong, Guizhou.
Pimpinan Jatam, Melki menyatakan bahwa Zhejiang Huayou sendiri telah menandatangani Perjanjian Kerangka Kerjasama (Framework Cooperation Agreement) dengan PT Vale Indonesia untuk mengembangkan proyek pengolahan High-Pressure Acid Leaching (HPAL) di Pomalaa, Kolaka, Sulawesi Tenggara pada 27 April 2022 lalu.
Sedangkan, CNGR Advanced Material telah berinvestasi dalam dua proyek nikel matte dengan Rigqueza tahun lalu di Sulawesi, dengan total kapasitas tahunan 60 ribu ton. Perusahaan juga mencapai kesepakatan dengan raksasa nikel Tsingshan Holding Group, yang akan memasok produk sebanyak 40 ribu ton.
Menurut pihak Jatam, dua perusahaan China tersebut telah melanggar perjanjian mereka terkait Environmental Social and Governance (ESG) dalam berinvestasi. Tak hanya itu, Tesla yang ternyata juga malah bekerja sama dengan dua perusahaan tersebut juga telah menelan ludahnya sendiri. Sebab sesuai dengan laporan Jatam pada September 2020, Tesla sempat mengklaim bahwa mereka merupakan sebuah perusahaan yang bergerak dalam aspek bisnis dengan perhatiannya pada lingkungan, serta memperhatikan aspek sosial masyarakat.
Dengan begitu, CNGR Advanced Material, yang menjalin kesepakatan bisnis dengan raksasa nikel Tsingshan Holding Group (China), secara tidak langsung berkontribusi pada penghancuran ruang hidup warga di Morowali, Sulawesi Tengah dan Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara.
Tak hanya itu, Zhejiang Huayou ternyata juga merupakan mitra bisnis PT. Vale Indonesia yang dalam hal ini Vale merupakan salah satu perusahaan raksasa yang telah banyak mencemari lingkungan di Pulau Sulawesi. Sebagai contoh, Melky menyebut pada 2014, tumpahan minyak dari Vale Indonesia telah mencemari Laut Lampia. Lalu, pada 2018, Danau Mahalona juga tercemar berat akibat sedimentasi tanah bekas penambangan. Kemudian, pada Agustus 2021, operasi Vale juga mencemari perairan Pulau Mori, mengakibatkan terganggunya biota perairan, kesehatan, dan mata pencaharian warga.
Respon Pemerintah

Dalam kasus ini, respon pemerintah justru mengatakan sebaliknya. Alih-alih melihat hal-hal buruk yang menimpa Indonesia karena pertambangan dari perusahaan-perusahaan raksasa tersebut, pemerintah justru mengemukakan beberapa keuntungan yang didapatkan oleh Indonesia dari hasil kegiatan kerjasama tersebut.
Juru Bicara Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan membenarkan bahwa Tesla telah bekerja sama dengan perusahaan China yang ada di Indonesia. Meski demikian, menurutnya kerja sama tersebut juga mendatangkan keuntungan bagi Indonesia. Menurutnya pula, bahwa keuntungan yang didapatkan adalah lapangan pekerjaan yang bertambah, serta biaya pajak yang wajib mereka bayar secara rutin pada negara.
Bentuk Protes Dibatasi

Sejak pembahasan terkait pertambangan bijih nikel ini belum terbahas sebuah kasus yang menunjukan kekejaman hukum pada masyarakat yang hendak meminta haknya dengan bentuk memberikan protes perlawanan pada sebuah perusahaan tambang.
Seorang pria bernama Hernemus Takuling, Warga Desa Lelilef Sawai, Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara merupakan pria yang dipenjarakan akibat mempertahankan tanah miliknya sendiri.
Pada 2013, pria yang akrab dipanggil Nemo ini dihukum penjara dengan tuduhan telah mengancam karyawan perusahaan PT Weda Bay Nickel (PT WBN) yang kala itu melakukan pembebasan lahan. Hukuman itu dia dapat sebagai buntut kegigihannya melakukan protes terhadap perusahaan. Dalam pandangannya, upaya mendapatkan lahan warga tidak sesuai aturan dan mekanisme yang berlaku.
Konflik itu dimulai pada 2008 ketika perusahaan mulai melakukan pembebasan lahan. Dari berbagai sumber, perusahaan kala itu menentukan harga sendiri, mematok Rp 8.000 per meter. Menurut Nemo, perusahaan juga menurunkan harga tanah menjadi Rp 2.500 per meter. Menurut Nemo, harga itu bahkan lebih murah dari sebungkus indomie.
Sontak Nemo melawan perusahaan bersama warga lain yang sependapat. Dia mengkonsolidasi 66 keluarga dari 300 keluarga di Desa Lelilef, Sawai. Namun pihaknya juga harus berhadapan dengan warga yang setuju dengan pembebasan lahan tersebut.
Setelah itu, banyak hal berubah di kampungnya. Kini kawasan pertambangan yang menjadi PT Indonesia Weda Bay Industrial Park(PT IWIP) beroperasi hanya 100 meter dari perkampungan. Tidak ada lagi kegiatan bertani karena sebagian besar tanah dikuasai perusahaan. Sementara itu banyak warga menjadi buruh atau membangun kos-kosan.
Nemo juga terpaksa menjual tanahnya karena sudah dikelilingi perusahaan. Bahkan lahan tersisa yang dia garap bersama keluarganya juga dikelilingi konsesi tambang. “Kami mencoba bertahan dengan tanah ini,” ujarnya, seraya menambahkan ada usaha sewa kapal ikan berjenis pajeko yang dimulainya dua tahun lalu.
Dampak yang terasa tidak berhenti di situ. Sungai di belakang kampung, yang dulunya sumber air bagi masyarakat, kini tercemar berwarna kecoklatan. Masyarakat pun terpaksa mengeluarkan uang untuk membeli air isi ulang, pengganti air sungai yang dulunya diperoleh secara gratis. Karena lahan produktif warga juga menyusut, kini pasokan pangan seperti pisang, sagu, atau hasil kebun dipasok dari luar desa. Termasuk sayur mayur dan cabai juga. Hal ini berbeda ketika dulu rata-rata warga Lelilef, Sawai mampu memproduksi pangannya sendiri.
Nemo juga menyadari tingginya debu akibat lalu-lalang kendaraan perusahaan. Pada musim kemarau, debu masuk ke dalam rumah. Pada musim hujan, terjadi banjir dan genangan lumpur menggenangi jalanan.
Kisah Nemo di atas merupakan satu dari sekian banyak ketimpangan sosial yang ternyata diakibatkan oleh sebab kegiatan perusahaan tambang yang katanya menguntungkan bagi negeri ini.
Industri Nikel Tak Terbukti Membantu Perekonomian Masyarakat, Justru Menambah Ketimpangan Sosial

Secara sepintas, pertambangan memang memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat. Namun, jika dilihat secara lebih seksama, justru hal ini timbul karena aktifitas dari perusahaan tambang tersebut. Ambil contoh para penambang liar dari masyarakat yang dibahas di atas, mereka melakukan hal tersebut karena telah melihat dan meyadari bahwa uang yang dihasilkan dari proses pertambangan memang lebih menjanjikan daripada mengolah hasil bumi. Namun, secara langsung pula, masyarakat ini memang tak punya pilihan. Sebab jika mereka memaksakan untuk memelihara lingkungan, waktu serta tenaga yang mereka keluarkan seolah sia-sia sebab melihat kenyataan mereka tak pernah benar-benar menjadi kaya akibat membandingkan value dari gajih bekerja pada pertambangan. Tak hanya itu, masyarakat juga pada akhirnya kehilangan lahannya untuk mengolah hasil bumi, sebab semuanya telah habis sekaligus tercemar akibat kegiatan perusahaan tambang yang tak teratur dan dilakukan secara massif serta besar-besaran.
Dalam segi yang lain, Mohammad Ahlis Djirimu, dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tadulako mengatakan, pertumbuhan ekonomi di wilayah industri nikel cukup tinggi namun tidak inklusif.
Ahlis mencontohkan ekonomi Sulawesi Tengah yang naik hingga 28%. Sementara itu pendorong utama perekonomian Morowali dan sekitarnya adalah industri berbasis lahan dan pertambangan seperti nikel. Namun, ini hanya terjadi di wilayah barat seperti Kabupaten Morowali dan Banggai. Sementara itu wilayah timur masih terbilang rendah. Ini artinya, tidak ada penciptaan lapangan kerja karena tidak dipersiapkan tenaga kerjanya. Sehingga sekitar 10 ribu penduduk pindah jadi unskilled labor. Ketika tidak dibutuhkan lagi, mau kembali bertani dan mencari ikan, sudah tidak ada.
Ahlis mengatakan pula bahwa angka kemiskinan juga masih tinggi. Pasalnya harga di wilayah pertambangan mahal sehingga menggerus pendapatan masyarakat. Kemandirian ekonomi juga hilang. Dahulu budidaya rumput laut tinggi di kalangan masyarakat Morowali. Namun kini praktik itu lenyap. Dengan begitu, sebenarnya hingga kini industri bijih nikel masih belum benar-benar mensejahterakan rakyat.
Pembahasan terkait pertambangan di atas mestinya dapat menjadi bahan acuan bagi kita untuk kembali melihat bahwa sistem dalam tujuan membangun perekonomian, pemerataan sosial masyarakat, serta pelestarian lingkungan pada akhirnya tak ada satupun yang benar-benar menang.
Karena berawal dari kegiatan yang tak terukur dan sewenang-wenang justru melahirkan banyak masalah. Akibatnya tak hanya lingkungan yang sudah terlanjur tercemar, perekonomian yang nampaknya tak benar-benar stabil jika hanya mengadalkan industri nikel justru mendorong semakin besarnya kemunduran dalam bidang ekonomi kesejahteraan bagi rakyat. Sebab sekaya-kayanya Tesla ataupun pendapatan negara dari pertambangan tersebut, tak ada cost yang sebanding untuk dibayarkan pada kehidupan sosial di masyarakat.