
Masih ingat Riyanto? Seorang anggota Banser NU yang gugur pada malam natal tahun 2000 di Gereja Jemaat Pantekosta Indonesia atau GSJPDI Eben Haezer Mojokerto, Jawa Timur. Melalui sebuah thread twitter Jaringan GUSDURian Indonesia, kita diingatkan kembali pada kisah seorang pahlawan kemanusiaan itu. Waktu itu, Ramadhan hari ke-20, bertepatan tanggal 24 Desember 2000. Riyanto berpamitan kepada ibunya untuk tidak berbuka puasa di rumah. Ia izin berbuka bersama rekan-rekan anggota Banser lainnnya sekaligus mempersiapkan penjagaan di Gereja Eben Haezer Mojokerto. Sebagai tambahan informasi, kegiatan Banser NU menjaga gereja memang rutin dilakukan sejak tahun 1996. Dimana Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) saat itu, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menginstruksikan kepada Banser untuk menjaga gereja sebagai buntut dari kerusuhan dan pembakaran gereja di Situbondo, Jawa Timur.
Di tahun 2000 penjagaan gereja (terutama saat natal) sangat penting dilakukan karena adanya sejumlah aksi teror. Pada 1 Agustus bom meledak di Kedutaan Filipina, Menteng. Dan pada 13 September terjadi pengeboman di lantai parkir Bursa Efek Jakarta.
Kembali pada Riyanto. Saat itu, Riyanto juga izin untuk tidak pulang pada malam harinya. Ia ingin beriktikaf di masjid setelah menjaga gereja.
Di tengah penjagaan Gereja Eben Haezer, ia mendapat laporan adanya benda mencurigakan dalam bentuk bungkusan tas plastik dan tas berisi kado yang disimpan di bawah telepon umum depan gereja. Ia pun mengambil benda itu dan menyerahkan ke polisi yang berjaga. Ternyata benda tersebut merupakan bom. Petugas yang berjaga kemudian meminta semua menjauh dan tiarap. Namun, Riyanto justru membawa lari benda itu, menjauhkan dari gereja.
Saat berusaha mengamankan itulah, bom meledak. Tubuh Riyanto terpelanting sejauh 30 meter. Tak lama kemudian bom kedua juga meledak. Dalam insiden itu, tidak ada jemaat gereja yang menjadi korban jiwa. Namun, Riyanto wafat. Tepat saat nuraninya terketuk untuk menyelamatkan kehidupan manusia.
Di malam natal tahun 2000 yang kudus itu, bom juga meledak di gereja-gereja sejumlah tempat lainnya, yakni di Jakarta, Batam, Pekanbaru, Pangandaran, dan lainnya.
Hari ini, 21 tahun berlalu setelah peristiwa bom di Gereja Eben Haezer, nama dan jasa Riyanto masih tetap dikenang oleh banyak orang yang mengagumi keberaniannya dalam menyelamatkan banyak jemaat gereja. Hingga kemudian, namanya diabadikan menjadi sebuah nama jalan. Tidak hanya itu, sosok Riyanto juga menginspirasi kisah Soleh dalam film ‘?’ karya sutradara terkenal, Hanung Bramantyo.
Sepenggal kisah sang pahlawan kemanusiaan itu, memberikan contoh pada kita bahwa untuk menyelamatkan orang banyak tidak perlu mempertanyakan ‘agamamu apa?’. Seandainya saja, Riyanto saat itu memilih untuk menyelamatkan dirinya sendiri ketimbang dengan menyelamatkan ratusan jiwa di dalam gereja, bisa saja dalam peristiwa teror itu memakan banyak korban. Namun, Riyanto telah menunjukkan pada kita semua bahwa menolong sesama manusia itu sama pentingnya seperti mencari sesuap nasi.
Indonesia juga mengalami aksi teror melalui bom gereja lagi. Terakhir, peristiwa pengeboman itu terjadi pada bulan Maret 2021 di Gereja Katedral Hati Kudus Yesus, Makassar, Sulawesi Selatan. Namun, hal itu tidak membuat semua orang sadar bahwa betapa pentingnya untuk saling menjaga agar setiap penganut agama dan kepercayaan dapat beribadah dengan tenang dan merasa aman.
Pada Natal 2021 ini, sejauh pantauan saya, masih banyak sekali kontroversi yang bertebaran di media sosial terkait Banser NU yang menjaga gereja di waktu natal. Selain itu, beberapa diantaranya juga masih mempertanyakan hukum mengucapkan selamat natal. Perdebatan-perdebatan di media sosial tersebut seakan-akan sudah menjadi bahasan rutin setiap menjelang pergantian tahun. Entah apa yang ingin mereka cari tahu, namun setiap tahun perdebatan itu selalu saja terjadi.
Suatu saat, Gus Dur pernah ditanya tentang hukum menjaga gereja. Gus Dur pun menjawab, “Kamu niatkan jaga Indonesia bila kamu enggak mau jaga gereja. Sebab gereja itu ada di Indonesia, Tanah Air kita. Tidak boleh ada yang mengganggu tempat ibadah agama apa pun di bumi Indonesia”. Pernyataan Gus Dur ini seharusnya sudah menyadarkan kita bahwa ada urgensi dalam tindakan saling menjaga pada setiap proses ritual ibadah penganut agama atau kepercayaan. Yakni, menjaga Indonesia. Mengapa demikian. Karena tempat ibadah yang kita jaga itu berdiri di atas bumi pertiwi. Sudah seharusnya, kita menjaga Indonesia dari segala bentuk aksi terorisme. Maka dari itu, hemat saya, aktivitas Banser NU dalam menjaga gereja saat natal adalah sebuah perwujudan dalam menjaga Indonesia. Hal ini, tentu sangatpatut dicontoh. Karena menjaga NKRI adalah kewajiban bagi setiap warga negaranya.
Selain perdebatan tentang aktivitas Banser NU dalam menjaga gereja saat natal, perdebatan juga terjadi dengan topik hukum mengucapkan selamat natal. Topik ini yang sangat sering kita temukan. Baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Biasanya, topik yang mempertanyakan hukum ini selalu keluar dari penganut agama islam. Padahal, para Ulama di agama islam sudah selesai dalam pembahasan itu.
Memang betul, terkait masalah hukum mengucapkan natal ada dua pendapat para Ulama yang berbeda. Yakni, ada yang mengatakan ‘haram’ dan ada pula yang mengatakan ‘boleh’. Perlu diketahui, mengapa kemudian para Ulama berbeda pendapat terkait hukum mengucapkan selamat natal itu. Penyebab berbedanya pendapat itu, karena dalam Al Qur’an dan Hadist tidak ada satupun ayat yang secara gamblang menyatakan tentang hukum mengucapkan selamat natal, baik haram ataupun boleh. Dari ketiadaan itu, maka masalah hukum ini dibawa pada ijtihad para Ulama. Sehingga, para Ulama mencari hukum terkait masalah ini di Al Qur’an yang secara umum dan dapat disinyalir sebagai ayat yang berkaitan dengan hukum mengucapkan selamat natal. Ketika masalah ini dibawa ke ranah ijtihad, maka perbedaan pendapat itu pasti ada.
Namun yang perlu kita ketahui bersama, bahwa dari perbedaan pendapat itu, para Ulama sama-sama memiliki dalil sebagai landasan dalam berfatwa. Dan dalil tersebut sama-sama bersumber dari Al Qur’an. Sebagai contoh, Ulama yang mengatakan ‘haram’, mengambil dalil dari Surat Al Furqon ayat 72, para Ulama yang berpendapat haram ini diantaranya, Ibnu Taimiyah, Ibnu Hajar Al Haitami, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah. Dan Ulama yang memperbolehkan mengucapkan selamat natal, mengambil dalil dari Surat Al Mumtahanah ayat 8. Ulama-ulama yang memperbolehkan, rata-rata adalah Ulama kontemporer, seperti Wahbah Zuhayli dan Yusuf Al Qaradawi.
Ulama sudah ber-ijtihad dan berpendapat terkait masalah hukum tersebut. Sehingga, sikap yang perlu dilakukan oleh kita hanyalah memilih untuk mengikuti pendapatnya siapa. Bagi yang ingin ikut pada pendapat yang memperbolehkan, ya silakan. Bagi yang ingin ikut pada pendapat yang melarang, juga silakan. Tidak perlu berdebat kusir sampai merasa paling muslim dan merasa paling punya ‘tiket’ surga. Sampai disini, saya kira yang haram bukanlah mengucapkan selamat natal, melainkan mulut yang menyakiti hati orang lain.
Mari kita sadari bersama, bahwa Indonesia ini adalah rumah bersama. Warga negara di Indonesia tidak hanya menganut satu agama atau kepercayaan saja. Sehingga, kita perlu memiliki rasa toleransi dan saling menghargai atas keberagaman itu. Tidak merasa paling kuat karena sebagai mayoritas. Seandainya mayoritarianisme yang ditonjolkan daripada keberagaman, maka saya pikir tidak pantas menjadi warga negara Indonesia yang sehari-hari merasakan air dan isi bumi Indonesia. Kisah Riyanto di awal tulisan ini, harus menjadi salah satu tauladan kita semua tentang bagaimana cara menjadi manusia yang beragama. Karena kata Gus Dur, “Peran agama sesungguhnya membuat orang sadar akan fakta bahwa dirinya merupakan bagian dari anggota umat manusia, dan bagian dari alam semesta”.
- Belajar Pada Gus Dur: Sosok Multidimensi Pejuang Keadilan - 9 Maret 2023
- Ekstremisme Dalam Bingkai Toleransi - 23 Januari 2023
- NU Kagetan - 7 Juli 2022