
Indonesia dikenal sebagai negara terkorup, hingga saat ini, kasus-kasus korupsi masih terus terlihat jelas pada kolom-kolom pemberitaan yang diedarkan ke masyarakat. Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) total kerugian negara yang diakibatkan praktik korupsi sepanjang tahun 2020 saja sudah mencapai Rp. 56,7 triliun, belum lagi ditambah dengan kasus-kasus baru di sepanjang tahun 2021. Hal ini membuktikan bahwa sampai sekarang, korupsi masih menjadi PR yang belum pernah diselesaikan oleh pemerintah Indonesia.
Namun, bukan tak ada yang dilakukan oleh pemerintah yang terus silih berganti. Semua kebijakan perihal pemberantasan korupsi telah diperhatikan secara jelas oleh setiap presiden, jauh sejak masa Ir. Soekarno bahkan. Hingga pada kenyataannya, meski perhatian lebih, terus dilakukan terhadap kasus korupsi, sampai saat ini Indonesia masih belum bisa mengatasi korupsi dengan baik.
Terlihat, hingga sekarang, Komisi Pemberantasan Korupsi atau yang biasa kita kenal sebagai KPK juga masih belum bisa mengatasi kasus-kasus korupsi dengan baik. Tak hanya oleh Lembaga yang fokus pada pemberantasan korupsi itu saja, tapi juga ketegasan hukum dan sikap dari kebijakan-kebijakan aparat, hakim, hingga penegak hukum yang lainnya yang malah selalu terlihat licik di mata masyarakat.
Beberapa kasus korupsi baru-baru ini malah selalu menuai kontroversi di masyarakat. Kasus-kasus yang ditangani, dinilai begitu semakin lemah dan tak masuk di akal – lucu. Sebut saja, kasus Juliari Batubara dan Jaksa Pinangki yang masa penahanannya dikurangi hanya karena terlalu banyak dibuli oleh masyarakat dan hanya karena seorang wanita yang mempunyai bayi.
Tak hanya dalam segi keputusan hukuman, hal yang menyoal dengan perkara korupsi yang lain juga sempat menuai kontroversi dan gelak tawa di masyarakat, yakni kebijakan pemerintah untuk merombak beberapa pegawai KPK yang jujur dengan cara melakukan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Kemudian, tes yang dilakukan oleh KPK itu menuai banyak kontroversi, dari mulai penguji yang tak berlisensi dan tanpa identitas, sampai pertanyaan-pertanyaan aneh yang dinilai bukan merupakan pertanyaan yang menggiring pada wawasan kebangsaan. Sisanya, pengurusan terhadap urusan korupsi ini terus menerus semakin terlihat tak jelas rimbanya. Nyaris seperti tak punya acuan dalam penanganannya. Meski ada, tak pernah benar-benar dipakai dengan seharusnya oleh para penegak hukum.
Selain itu, KPK yang kini sudah kehilangan integritasnya, Kembali menuai kontroversi di tengah jenuhnya masyarakat akan pemberitaan tentang korupsi. Lembaga pemberantasan korupsi itu kini hendak mengubah istilah pelaku korupsi yang selama ini dipanggil atau dikenal dengan kata “koruptor”, diganti menjadi “penyintas korupsi”.
Hal ini kembali menuai kontroversi. Pasalnya, menurut KBBI saja, kata penyintas ini berarti orang yang mampu bertahan hidup. Kritik pedas terhadap pernyataan KPK tersebut dilancarkan oleh Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM, Zaenur Rohman.
Menurut Zaenur, KPK sudah sangat keliru jika mengganti eks koruptor sebagai penyintas, karena sejatinya penyintas ini berarti orang yang mampu bertahan hidup. Dalam konteks ini, dia katakan juga bahwa yang pantas disebut sebagai penyintas adalah masyarakat, karena mampu bertahan hidup setelah menjadi korban kejahatan paling berat ini – korupsi. Dikutip dari wawancara prfmnews.id pada ketua PUKAT.
Zaenur juga menambahkan, bahwa para pelaku korupsi ini justru seharusnya tetap disebut koruptor, bahkan maling, garong, rampog, dan sebagainya.
Selain Zaenur Rohman, salah satu perlawanan yang paling menyita perhatian publik terhadap pernyataan KPK ini adalah pernyataan yang dikeluarkan oleh sebuah akun Instagram resmi Remotivi, @remotivi.or.id, yang diunggahnya pada tanggal 23 Agustus 2021 lalu.
Remotivi ini adalah sebuah organisasi nirlaba yang bergerak di bidang kajian media dan komunikasi. Dalam ungkapan yang mereka tulis di akun resmi instagramnya, Remotivi mengungkapkan bahwa, “perlu ada upaya di ranah Bahasa yang bisa memberi penekanan pada daya rusak dan jahatnya korupsi. Maka dari itu, mengapa tidak kita panggil mereka “maling” saja?” pernyataan ini dikutip langsung dari unggahan akun Instagram milik Remotivi, yakni @remotivi.or.id
Remotivi juga menganggap istilah “maling” ini memiliki konotasi yang lebih buruk dibanding koruptor. Selain itu, istilah “maling” juga dinilai lebih dekat secara kultural dengan masyarakat.
Setelah pernyataan yang dikeluarkan oleh Remotivi tersebut, akhirnya tercatat hingga 170 media dari Pikiran Rakyat Media Network (PRMN), juga ikut mengubah istilah koruptor menjadi maling dalam setiap pemberitaan yang mereka tulis.
Selain media yang merupakan Lembaga informasi untuk publik, beberapa tokoh publik juga ikut mengamini hal ini. Sebut saja sebagai contoh, Najwa Shihab. Dalam akun Instagramnya, ada video yang menunjukkan dirinya sedang mengobrol dengan ayahnya, Quraish Shihab. Dalam video tersebut jelas dikatakan, bahwa Quraish Shihab tidak suka bila menamai pelaku korupsi hanya dengan panggilan koruptor. Pasalnya, menurut Quraish Shihab, istilah koruptor dinilai terlalu halus untuk menamai pelaku kejahatan berat yang belum bisa ditangani oleh negeri ini. Dia juga mengungkapkan bahwa dirinya lebih suka memanggil pelaku korupsi ini dengan panggilan “pencuri”.
Dilihat dari segi pengaruhnya, penggunaan istilah ini sepintas terlihat tak banyak berpengaruh bagi perlakuan korupsi di Indonesia. Padahal, dalam beberapa teori mengungkapkan bahwa Bahasa dapat mempengaruhi persepsi masyarakat. Salah satunya adalah teori yang dicetuskan oleh Wilhelm Van Humboldt, sarjana Jerman abad ke-15.
Humboldt menekankan adanya ketergantungan pemikiran manusia pada Bahasa. Menurutnya, pandangan manusia pada suatu masyarakat ditentukan oleh Bahasa atau istilah yang dipakai oleh masyarakat itu sendiri. Anggota-anggota masyarakat itu tak dapat menyimpang dari garis-garis yang telah ditentukan oleh bahasanya itu.
Dengan begitu, penggunaan istilah ini sangat berpengaruh terhadap pandangan masyarakat. Istilah untuk menamai pelaku korupsi di negeri ini sebagai “koruptor” layak dan perlu diganti menjadi “maling” guna menekan realitas yang menganggap jika melakukan korupsi ini adalah Tindakan yang memiliki makna hina di pandangan masyarakat. Sehingga, diharapkan tak ada lagi maling-maling di negeri ini yang saat terciduk dan disorot media malah cengar-cengir seakan tak bersalah. Juga agar tak ada anggapan bahwa maling-maling uang rakyat ini dianggap sebagai maling kelas kakap yang masih patut dihormati bahkan dielu-elukan.
Selebihnya, semoga dengan perubahan istilah yang disepakati oleh masyarakat ini bisa menjadi budaya dalam upaya menanamkan Pendidikan anti korupsi pada masyarakat tentang tak ada sedikitpun kehormatan dan ampunan bagi seorang “maling”.