Menemukan Rumah

Sumber Gambar: Open.AI/Dall-E2

Lantunan Al-Qur’an bergemuruh mengisi ruang tengah. Aku menyadari lantunan tersebut bersumber dari orang-orang yang datang setiap hari selepas magrib ke rumahku. Lokasinya yang strategis karena di tengah kampung.

Anganku melangit, ‘Benarkah semua ini? Apakah aku benar-benar sudah dewasa?’. Rasa-rasanya seperti mimpi. Kedua mataku mengedar ke seluruh penjuru rumah. Setiap orang duduk rapi dan khusyuk dengan kitab suci di tangannya. Ibu-ibu berjilbab warna-warni, sedangkan golongan kepala keluarga berpeci hitam formal. Aku yang berada di antara mereka menghela nafas panjang.

“Yang tabah dan kuat ya, De,” ucap Ibu paruh baya dengan lirih. Kedua matanya berkaca-kaca, kemudian memelukku hangat. Aku mengangguk dan menyalaminya. Dari beberapa tetangga yang aku kenal, dialah Ibu Wati yang paling menunjukkan empati. Sejak Ibuku sakit keras, beliau sering berkunjung ke rumah untuk sekadar menjenguk atau memberikan makanan untuk kami. Sebab tidak ada keluarga lain yang bisa aku mintai pertolongan. Paman dan Bibi tinggal jauh di luar kota. Jadilah kami hanya tinggal berdua, di rumah dan Bandung yang cukup tenang dan aman.

Setelah Ayah, Ibu juga di panggil yang Maha Kuasa. Penyakit diabetesnya berhasil memakan harapan dan sisa hidupnya. Bukan hanya hidup Ibu, tetapi juga hidupku. Paman dan Bibi sudah hadir di tengah kami. Sayangnya mereka tak bisa berlama-lama. Paman hanya punya waktu tiga hari, setelah itu harus terbang ke Lampung untuk urusan yang lain. Bibi juga seorang pedagang di Jakarta, tak hanya itu ia juga single parent yang mempunyai dua orang anak sebaya denganku.

Seminggu telah berlalu. Pengajian di rumah juga telah selesai. Saatnya menata kembali harapan. Kali ini aku tidak sendirian, Ibu Wati tetangga yang tidak bisa mempunyai anak telah bersepakat dengan Paman dan Bibi untuk mengurusku di Bandung. Bagiku tak masalah, sebab meninggalkan rumah dan kenangan bersama Ibu adalah hal yang berat. Paman dan Bibi berjanji tidak akan melupakanku, mereka akan sering menghubungiku.

Akhirnya aku bisa merebahkan badan di kamarku yang nyaman. ‘‘Dra, Rajendra …,” suara melengking itu membuyarkan lamunanku. Aku lupa Bu Wati sedang memasak di dapur sendirian. Namaku Rajendra, masih muda dan perkasa, bagaimana tidak? Seorang remaja yang duduk di bangku SMP kelas 2 tak pantas mengeluh dan bersedih. Buru-buru aku beranjak memenuhi panggilan Bu Wati. Di meja makan sudah berjajar rapi berbagai menu makan malam. Semuanya terlihat menggiurkan. Ada satu yang membuatku berlinang, paha ayam kecap buatan Ibu benar-benar di depan mata. Aku duduk di kursi memandangi dan menghirup aromanya. Tanpa sadar air mataku mengalir.

“Mana yang kau suka, Nak?,” tanya Bu Wati kemudian duduk di hadapanku. Buru-buru aku menghapus air mata. “Ah–, ya. Aku rasa aku akan menyukai semuanya, Bu.” Jawabku sedikit terbata. Tangan kananku langsung menyambar piring dan nasi untuk mengalihkan perhatian. Bu Wati yang sadar bekas air mataku tersenyum kemudian menghiburku.

Tiga bulan telah berlalu. Aku semakin tidak nyaman. Bu Wati memberiku banyak aturan dan tuntutan. Meski aku tahu hal itu merupakan tanda kasih sayang, tapi menurutku berlebihan. Melarangku untuk tidak keluar setelah pulang sekolah bersama teman. Mengantarku sekolah sampai ke pintu kelas. Bahkan, menelpon wali kelas setiap dua hari sekali untuk memastikan aku baik-baik saja di sekolah. Aku memahami keinginan Bu Wati untuk mempunyai seorang putra. Namun, kekhawatirannya membuatku khawatir akan kenyamananku. Paman dan Bibi bulan ini belum menghubungiku. Haruskah aku memberitahu mereka? Lantas haruskah aku ikut bersama mereka?

Hari-hari berganti, ternyata aku jenuh tinggal di rumah tanpa berinteraksi dengan teman-teman. Pada jam tidur siang aku memaksa keluar rumah untuk mencari angin, tentu saja melalui jendela, sebab pintu depan dan belakang dikunci Ibu Wati dari luar. Melelahkan sekali bermain-main seperti ini. Ketika kakiku hendak menginjak ubin, Bibi dari Bandung dahulu menyapaku. “Rendra! Apa yang kamu lakukan?,” teriaknya tak percaya. Aku menoleh tak kalah kaget. Momen yang sangat dinantikan, bibi datang melihat keadaanku. Beginilah aku bertumbuh bibi, benakku.

Tak pernah terkira hari ini bahagia menghampiriku. Bibi ingin menjemputku untuk tinggal bersamanya di Jakarta. Alasannya bukan karena kejadian tadi siang, tapi kesepakatan Paman dan Bibi sebelum berangkat ke Bandung. Ibu Wati tidak bisa berkata apa-apa. Lantas, ia mempersilakan aku berkemas meskipun matanya berkaca-kaca. Aku dengan ragu melangkahkan kaki menuju kamar.

Jakarta dengan keluh kesah juga peluh. Aku harus terbiasa dengan lingkungan baru, suasana baru, sekolah baru dan teman baru. Hidup adalah terus belajar. Seminggu belum cukup untuk aku bisa beradaptasi. Melihat kerja keras Bibiku yang terkadang ruwet karena harus mengurusi bisnisnya di pasar dan kedua anaknya, adalah hal luar biasa menurutku. Terkadang, aku merasa menjadi beban melihat keruwetan tersebut. Tidak ada ART atau suami baru, sebab Bibi tidak mau.

Sedangkan aku berusaha keras untuk tetap tinggal dan bertahan, kedua putra Bibi nampaknya kurang menyukai keberadaanku. Secara terang-terangan mereka akan berani melempar sindiran di depan Bibi. Padahal, setiap akhir pekan aku selalu menyempatkan membantu Bibi di pasar. Dalam bentuk apapun terimakasih aku akan berusaha untuk membalas kebaikan mereka. Namun, nampaknya putra Bibi cemburu karena kedekatan kami semakin dekat. Bukankah itu hal yang wajar bagi keponakan dan Bibi? Rasa-rasanya aku tersinggung jika harus tak diakui. Kini, aku sadar waktu tak bisa mengubah nasib seseorang. Tiga bulan adalah sia-sia bagiku yang mencari hidup dan kehidupan di tengah orang tersayang.

Aku yakin Bibi menyadari sikap kedua anaknya. Hari ini, akhir pekan yang mengharukan, bertempat di Kios Bibi. Ia memberiku dua pilihan untuk melanjutkan kehidupan. Pertama bertahan bersama keluarganya, senantiasa menghiraukan sikap-sikap yang mengganggu. Kedua mengembara dan melanjutkan pendidikan di kota orang lain. Pilihannya cukup menantang, harus dipikirkan dengan matang. Aku memutuskan untuk menjawabnya nanti malam.

Pilihan kedua sepertinya lebih memungkinkan, keluar dari ketidaknyamanan, lantas memulai dengan sesuatu yang baru. Pukul delapan setelah makan malam, kami berempat tidak langsung berbenah ke kamar. Melainkan berkumpul untuk mendiskusikan baiknya aku tetap tinggal atau hendak di pondokan. Aku harap keputusan ini adalah yang terbaik. Jika tetap tinggal akan menambah keruwetan, maka tinggal di pondok adalah sebuah pilihan yang tepat.

Dua hari setelah diskusi di meja makan aku resmi berpindah tempat tinggal. Pondok Pesantren berbasis modern menjadi pilihan. Aku rasa akan lebih menyenangkan tinggal di sini. Riuh bukan karena sindiran, tapi lantunan puji-pujian. Ruwet berseliweran bukan karena masalah yang datang, tapi semangat yang mondar-mandir berangkat ke surau. Lari terburu-buru bukan karena berebut diskon di pasar, tapi terbirit karena berlomba beribadah di masjid. Sungguh pemandangan yang mengesankan.

Bibi beserta kedua putranya melambaikan tangan dari mobil hitam Fortuner sampai hilang di belokan. Aku pun melambai ditemani hujan di pelupuk mata. Ah, saatnya ibadah sore. Ternyata adzan telah berkumandang.

Fatimah
Latest posts by Fatimah (see all)