
Dalam Buku Aksi Massa Bab 10 “Sekilas Tentang Gerakan Kemerdekaan Indonesia,” Tan Malaka bercerita mengenai kelahiran Budi Utomo dan melontarkan kritik yang sangat tajam. Budi Utomo didirikan pada tahun 1908 adalah sebuah partai yang semalas-malasnya di antara segenap partai-partai borjuis di Indonesia. Seperti seekor binatang pemalas, ia merana sombong karena umurnya panjang. Karena ia tak mendapat cara-cara aksi borjuis yang radikal dan tidak berani mendekati dan menggerakkan rakyat maka dari dulu sampai sekarang, kaum Budi Utomo menghabiskan waktu dengan memanggil-manggil arwah yang telah lama meninggal dunia. Borobudur yang kolot, wayang dan gamelan yang merana, semua basil “kebudayaan perbudakan” ditambah dan digembar-gemborkan oleh mereka siang malam. Di dalam “lingkungan sendiri” kerap kali dukun-dukun politik itu menyuruh Hayam Wuruk Raja Hindu atau setengah Hindu itu dengan laskarnya yang kuat berbaris dimuka mereka. Di luar hal-hal gaib itu, paling banter hanya dibicarakan soal-soal yang tak berbahaya. Di dalam Kongres Budi Utomo berkali-kali (sampai menjemukan) kebudayaan dan seni Jawa (?) dibicarakan. Soal yang penting, yaitu mengenai kehidupan rakyat di Jawa jangan dikata lagi di seluruh Indonesia tak pernah disentuh, apalagi diperbincangkan mereka. Belum pernah, barangkali, diadakan suatu aksi untuk memperbaiki nasib Pak Kromo yang tidak hidup di zaman Keemasan Majapahit, tetapi di dunia kapitalistis yang tak memandang bulu. Panjangnya umur Budi Utomo sebagian besar diperolehnya dari “mantera-mantera” pemimpinnya, dari hasil “main mata” dengan pemerintah dan dari hasil kelemahan teman seperjuangannya. Sebuah semangat kosong seperti Budi Utomo dapat diterima oleh pemerintah seperti Belanda. Selain itu, Budi Utomo tidak menumbuhkan cita-cita “kebangsaan Indonesia”. Fantasi “Jawa-Raya”, yakni bayangan penjajahan Hindu atau setengah Hindu terhadap bangsa Indonesia sejati, langsung atau tidak, menyebabkan timbulnya keinginan akan Sumatera Raya, Pasundan Raya atau Ambon Raya dan lain-lain.
Budi Utomo yang mengangkat kembali senjata-senjata Hindu Jawa yang berkarat dan sudah lama dilupakan itu, sungguh tidak taktis dan jauh dari pendirian nasionalis umum. Perbuatan itu menimbulkan kecurigaan golongan lain yang mencita-citakan persaudaraan dan kerja sama antara penduduk di seluruh Indonesia (bukan antara penjajah satu terhadap Iainnya). Dengan jalan sedemikian, Budi Utomo menimbulkan gerakan ke daerah yang bila perlu (misalnya Budi Utomo kuat), dengan mudah dapat dipergunakan imperialisme Belanda. Dengan keadaan seperti ini, keinginan “luhur” yang satu dapat diadu dengan yang lain, yang akibatnya sangat memilukan, Indonesia tetap jadi negeri budak.
Keunggulan
Budi Utomo yang kita kenal sebagai organisasi modern yang memiliki semangat nasionalisme yang namanya harum dibuku-buku sejarah namun tidak bagi Tan Malaka. Ia mengkritik keras Budi Utomo menurutnya Budi Utomo adalah partai yang paling malas diantara partai borjuis di Indonesia. Kaum Budi Utomo menghabiskan waktu dengan memanggil-manggil arwah yang telah lama meninggal dunia. Borobudur yang kolot, wayang dan gamelan yang merana, semua basis “kebudayaan perbudakan” ditambah dan digembar-gemborkan oleh mereka siang malam. Bagi Tan Malaka alangkah lebih baik menghimpun kekuatan untuk memperbaiki nasib masyarakat jawa pada saat itu dari pada mengedepankan hal-hal yang irasional. Tan Malaka sebagai seorang marxis memiliki paham materialisme atau kebendaan. Bukan kesadaran yang menentukan realitas tapi realitaslah yang menentukan kesadaran. Dalam Buku Aksi Massa ini, Tan Malaka memiliki pemikiran yang berbeda dalam mengupas gerakan Budi Utomo dan Tan Malaka tidak mempercyai hal-hal yang irasional seperti pemanggilan arwah nenek moyang, kekuatan keris dan banyak lagi lainnya. Maka dengan berani Tan Malaka melakukan kritik pedas terhadap Budi Utomo yang memiliki fantasi “Jawa Raya”.
Kelemahan
Dalam sub bab Budi Utomo yang terdapat dalam buku “Aksi Massa” ini Tan Malaka terlalu sinis sebagai seorang materialis terhadap kebudayaan jawa atau kejawen. Sementara Tan Malaka sendiri bukan lah kelahiran Jawa namun berasal dari Suliki Sumatra Barat yang memiliki kebudayaan berbeda. Bagi orang Jawa Keris atau pusaka lainnya merupakan simbol dari kekuasaan yang memiliki kekuatan supranatural. Kekuatan supranatural dari benda-benda pusaka masih dipercaya oleh orang-orang jawa sampai saat ini. Kritik yang dilontarkannya pada Budi Utomo tentu sangat subjektif sebagai seorang marxis dan mengeyampingkan adat tradisi orang jawa pada saat itu.
Keunikan
Buku Aksi Massa karya Tan Malaka ini mengajak kita untuk berpikir kritis pada sejarah bangsa Indonesia, khususnya soal gerakan pemuda pada 1908 yang dinamakan Budi Utomo. Ketika kita membaca pemaparan Tan Malaka, kita akan menohok soal gerakan Budi Utomo, National Indische Partij, Sarekat Islam dan banyak lagi yang dibahas oleh Tan Malaka dalam buku Aksi Massa yang berbeda dari pembahasan-pembahasan pada umumnya. Disini Tan Malaka lebih banyak menjelaskan kebobrokan Budi Utomo seperti percaya pada hal-hal yang irasional dan bermain mata dengan pemerintah untuk kelangsungan hidup organisasi Budi Utomo ini. Kalau kita membaca buku Aksi Massa ini, Tan Malaka terlihat memiliki semangat yang berkobar-kobar dan mampu mempengaruhi pembaca. Karena tulisan-tulisannya cendrung propokatif.
Kita juga dapat menganalisa bahwa para tokoh Budi Utomo banyak dipengaruhi oleh pemikiran politik Indonesai lama yang mereduksi pemikiran dari timur sementara Tan Malaka terlihat jelas pemikirannya banyak dipengaruhi oleh pemikiran Barat. Pasalnya selain membaca buku-buku Marxis, Tan Malaka juga mengenyam pendidikan di Harleem Belanda pada tahun 1913.
- Ini 8 Cabor yang Dikuti Atlet Karawang pada PON XX Papua - 18 September 2021
- DPRD Karawang Lakukan Pengawasan Bansos, Ini Indikatornya - 3 September 2021
- PMII Karawang Minta DPRD Serius Lakukan Pengawasan BPNT - 2 September 2021