
Jokowi, sebagai Presiden yang masih menjabat hingga detik ini, mempunyai beberapa polemik yang tumbuh di masyarakat. Polemik-polemik tersebut ditimbulkan karena berangkat dari kebijakan dan sikapnya terhadap janji-janji verbal yang sempat disuarakannya.
Salah satu polemik yang ditimbulkan dari ketidaksesuaian janjinya yang terdahulu dengan kenyataan saat dirinya menjabat adalah perihal kritik dan aspirasi yang datang dari masyarakat. Yang mana kritik dan aspirasi yang ditujukan pada pemerintah ini seakan diberangus secara sistematis, berpola, masiv, dan dinilai cukup licik.
Dalam beberapa pekan terakhir saja, terdapat berbagai kasus penangkapan warga sipil karena menyuarakan kritik dan aspirasi kepada pemerintah, terutama pada kritik dan aspirasi yang mengarah langsung pada Jokowi.
Baru-baru ini, terdapat penangkapan sepuluh mahasiswa oleh aparat kepolisian saat Presiden Jokowi berkunjung ke Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Kesepuluh mahasiswa itu memasang poster bertuliskan kritik ke pemerintah dan dibentangkan ketika presiden berencana menghadiri acara Forum Rektor Perguruan Tinggi, pada Senin (13/9/2021).
Beberapa poster yang dibentangkan oleh aktivis yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNS Solo itu bertuliskan, ‘Pak Jokowi tolong benahi KPK’ dan ‘Pak Jokowi tuntaskan pelanggaran HAM’.
Menyoroti kasus itu, Deputi Direktur Public Virtue Research Institute, Anita Hayatunnufus Wahid mengunggah sebuah meme di Instagram. Meme karya Toni Malakian itu menggambarkan suasana masyarakat sedang memegang poster kritik kepada Presiden Jokowi. Ia kemudian membubuhi postingan itu dengan meminta Presiden agar segera berbenah karena kejadian penangkapan masyarakat lantaran menyampaikan aspirasi selalu saja terjadi. Dikutip dari unggahan NU Online dalam akun instagramnya @nuonline_id, Rabu (15/9/21).
“One time, it’s an incident/accident (satu kali, itu adalah insiden atau kecelakaan). Two times it’s a coincidence (dua kali, itu kebetulan). Three times, it’s a pattern (tiga kali, itu adalah pola)”. Dikutip dari sebuah postingan akun instagram Anita Wahid, @anitwahid, Selasa (14/9/21).
“Presiden bisa saja berkata beliau terbuka atas kritik. Tapi kalau pelaksanaan di lapangan berbeda, dan berulang-ulang pula, saatnya untuk berbenah dan melihat realita, Pak.” Tambah Putri Presiden keempat RI itu.
Tak hanya Anita, Abdurrahman Arsyad, komika ternama yang begitu sering menggunakan beberapa isi dari materi stand up nya dengan sebuah satire yang merupakan kritik serta aspirasi terhadap pemerintah juga mengungkapkan ketakutannya. Dilansir dari sebuah cuitan di Twitternya, Abdur mengungkapkan, “Kok gak kaya dulu, berani kritik pemerintah? Karena dulu presidennya SBY, jadi berani.” Dikutip dari akun Twitter Abdurrahman Arsyad, @abdurarsyad, (7/10/20).
Dalam sebuah video yang diunggahnya juga, Abdur mengingatkan pada seluruh netizen atau rakyat Indonesia untuk tak mudah melupakan apa yang telah disuarakan. Menurutnya, orang Indonesia ini mudah sekali melupakan.
Saat ini, bisa saja masyarakat ramai dan melakukan aksi di sejumlah daerah. Namun, aksi tersebut seakan dilupakan ketika menjelang pemilu. Maka dari itu, dirinya meminta kepada seluruh rakyat Indonesia untuk mengikuti orang-orang yang memang benar-benar peduli terhadap Indonesia. Dikutip dari Portal Majalengka.com.
Oleh sebab itu, terlihat samar namun cukup jelas bila kita mau untuk menelisik lebih dalam terhadap sikap presiden atau pemerintah saat ini dalam menyikapi kritik dan aspirasi yang keluar dari masyarakat. Karena pada kenyataannya benar kata Anita Wahid bahwa bila sudah terjadi berulang kali, maka ini sudah bukan bisa disebut sebuah kebetulan atau kesalahan lagi, melainkan sebuah pola atau sistem yang digunakan pemerintah.
Pemerintah atau presiden secara gamblang dan langsung sering sekali mengintruksikan pada seluruh anggota kabinetnya bahwa pemerintah tak boleh menolak kritik yang datang dari masyarakat pada pemerintah. Hal itu selalu diungkapkan Presiden Jokowi pada setiap rapat tahunan.
Namun, di sisi lain atau katakanlah yang terjadi di lapangan pada pelaksanaannya, begitu maraknya kasus penangkapan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap masyarakat yang melayangkan kritik pada pemerintah, baik secara langsung ditujukan pada Jokowi ataupun tidak secara langsung.
Hal itu menjadi bukti, bahwa ini merupakan pola juga sistem yang digunakan pemerintah. Dalam pernyataannya yang begitu jelas, presiden atau pemerintah begitu gamblang mengatakan pada publik bahwa pemerintah tidak anti kritik. Padahal, pada kenyataannya saja harusnya, aparat kepolisian yang seharusnya bisa berkoordinasi lebih jauh dengan presiden tak bisa dengan sewenang-wenang menangkap masyarakat yang melayangkan kritik dan aspirasi pada pemerintah. Karena bila benar pemerintah tak anti kritik, kasus penangkapan terhadap masyarakat yang mengkritik pemerintah tak bisa seenaknya ditangkap. Parahnya lagi, dengan begitu banyaknya kasus yang semakin hari semakin bertambah, Presiden malah seolah tak tahu dengan penangkapan-penangkapan yang dilakukan oleh aparat itu.
Pada akhirnya, bila dipetakan secara jelas seperti ini, pernyataan verbal Jokowi tentang ‘Pemerintah tak anti kritik’ ini hanya sebatas omong kosong belaka yang digunakannya untuk memperbaiki citra pemerintahan. Dengan kata lain, ini dikonsep dengan begitu pintar sekaligus licik. Rakyat yang akhirnya hanya bisa mengamini semua yang dinyatakan oleh pemerintah, tak bisa bergerak lebih bebas dalam menggali kebenaran tentang ini. Seolah-olah, kita tak diberi satu alat pun untuk membangun Indonesia yang kaya ini. Karena sebab dibungkam secara halus dan tersistematis oleh pemerintah.
Bila kembali mengambil contoh, sempat Jokowi mengingatkan seluruh aparat kepolisian untuk bertindak secara bijak dalam menangani para pelaku kejahatan kriminal. Beliau mengungkapkan bahwa seluruh pelaku kejahatan itu juga mempunyai hak asasi manusia yang perlu dilindungi. Dalam pernyataannya itu, terlihat secara jelas betapa rakyat telah dilindungi oleh pernyataan pemimpinnya perihal perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).
Namun, semua yang diungkapkannya itu seolah nyaris seperti perlakuan seorang Papah pada anaknya yang merengek menagih janjinya yang dulu akan membelikan dirinya sebuah mobil-mobilan. Kemudian, kita sebagai anak kecil yang polos nan bodoh begitu mudahnya tersenyum kembali karena disumbat bibirnya oleh si bapak itu dengan hanya oleh sebuah permen lolipop kecil yang murah.
Parahnya, kita tak bisa melawan dan tak mempunyai pengaruh besar untuk ikut mengingatkan pemerintah bahwa mereka harus berbenah. Karena sudah terlanjur ketakutan oleh anak buahnya Papah.