Ombak beralun, o, mamae.
Pohon-pohon pala di bukit sakit.
Burung-burung nuri menjerit.
daripada membakar masjid
daripada membakar gereja
lebih baik kita bakar sagu saja.
Bait di atas merupakan kutipan dari puisi berjudul “Sagu Ambon” karya W.S. Rendra. Puisi itu beliau tulis tiga bulan setelah Piagam Malino II ditandatangani sebagai penyelesaian konflik SARA berkepanjangan di Maluku sejak awal era reformasi pada 1999 dan baru selesai pada Februari 2002.
Baris pertama hingga ketiga bait pertama puisi itu mengisyaratkan lokasi yang menjadi referensi. Lokasi itu adalah Maluku, surga rempah-rempah, salah satunya pala, dan habitat alami burung nuri. Bait keempat hingga kelima mengisyaratkan waktu yang menjadi referensi, yakni peristiwa tadi tatkala agama menjadi alasan peperangan. Masjid dibakar. Gereja dibakar. Saling membalas satu sama lain atas nama agama. Kubu Kristen menyebutnya perang suci, kubu Islam menyebutnya jihad.
Di Maluku mungkin sudah dikenal kerajaan Islam semacam Ternate dan Tidore. Di Maluku pulalah sudah dikenal sebagai tempat singgah Spanyol pertama kali singgah dilanjut dengan Portugis. Kedua bangsa ini membawa tiga tujuan, salah satunya gospel, yaitu menyebarkan agama Kristen. Ini menandakan keberagaman di Maluku sudah terasa sejak lama.
Ketika di daerah lain jumlah penganut Islam terasa jomplang, Maluku memiliki kondisi yang berbeda. Sebanyak 49,2 persen dari penduduknya menganut Kristen Protestan, 6,35 persen beragama Katolik, dan 44,3 persen beragama Islam. Kelompok Islam terkumpul di dataran rendah, mereka disebut ‘acong’ berasal dari kata hasan. Kelompok Kristen terpusat di dataran tinggi dan disebut ‘obet’ dari nama robert. Meskipun terpisah, semuanya masih baik-baik saja. Namun, semua berubah sejak Soeharto membuat kebijakan yang memihak Islam dan adanya program transmigrasi. Apalagi setelah Soeharto lengser, pemerintahan masa reformasi melakukan pemekaran terhadap Provinsi Maluku. Gesekan-gesekan mulai terjadi. Kecemburuan sosial antarkelompok mengantarkan pada kebencian. Hanya tinggal menunggu pemantiknya membakar sumbu.
Berdasarkan laporan dari Human Right Watch (HRW), ada dua versi mengenai pemicu awal konflik di Maluku ini. Setiap versi disampaikan oleh masing-masing kubu sehingga cenderung mendiskreditkan kubu lain. Versi pertama disampaikan oleh Obet yang memaparkan bahwa konflik ini bermula dari seorang sopir Obet angkutan umum yang dipalak oleh seorang acong. Sopir itu menolak pemalakan itu, singkat cerita terjadilah pemaksaan hingga Acong itu membawa teman-temannya untuk menyerang si sopir.
Versi Acong justru berkebalikan dengan Obet. Versi Acong menyatakan bahwa sopir itulah yang mengancam seorang Acong yang menjadi kondekturnya hingga membawa pasukan dan terjadilah bentrokan. Kedua versi ini memiliki latar waktu yang sama, yakni hari raya Idulfitri. Sejak saat itu, di Maluku, perkelahian sering terjadi apalagi menjelang hari raya salah satu agama dan di suatu acara yang mempertemukan keduanya, seperti saat pertandingan voli pada 12 Desember 1999.
Perseteruan terjadi dalam berbagai bentuk, diantaranya saling membakar rumah, seperti yang terjadi pada 4 Februari 1999, saling membunuh pemimpin agama, saling serang perkampungan, dan lain-lain. Perseteruan ini tidak seperti tawuran yang hanya menggunakan senjata tajam, tetapi juga menggunakan senjata api dan peledak, seperti granat dan bom molotov.
Pasukan masing-masing kubu tidak hanya terdiri dari orang dewasa, tetapi juga anak-anak yang sudah didoktrin dan dimatikan hatinya supaya bisa membunuh dengan “nyaman”. Ini sesuai dengan kesaksian seorang pendeta yang bercerita saat beliau membimbing seorang anak bernama Robert lepas dari radikalisme. Dilansir dari Tirto, menurut pendeta itu, Jacky namanya, anak-anak memiliki beragam peran, seperti pengebom, pembakar, penembak, dan pemegang parang.
Pasukan memiliki pangkat kayaknya tentara. Ronald sendiri pada 2002 sempat mencapai wakil komandan lapangan untuk tentara anak. Meskipun mewakili masing-masing agama, setiap kampung bergerak sendiri-sendiri dan memiliki pasukannya sendiri. Perseteruannya juga terjadi di waktu yang berbeda-beda tergantung dari pemicunya, biasanya salah satu pihak yang memulai.
Pola perseteruan juga cenderung mirip. Awalnya ada salah satu pihak yang melakukan provokasi, lalu pihak lain tersinggung dan menyerang, lantas keduanya pun saling menyerang. Pertempuran lalu diintervensi oleh aparat keamanan yang menurut salah satu pihak sering berbuat tidak adil dengan mendukung pihak lainnya. Saling tuduh tersebut membuat tidak adanya pihaknya yang dianggap netral dan dapat menyelesaikan secara damai. Maka dari itu, konflik ini dapat terjadi berulang-ulang di desa dan kampung berbeda selama tiga tahun lamanya. Meminjam sebuah kalimat dari laporan HRW, tidak satu pun, termasuk aparat, yang tidak terjangkit kanker komunalisme.
Penyelesaian dari konflik ini adalah Deklarasi Malino pada 20 Desember 2001 untuk daerah Poso. Di Poso, Sulawesi Tengah, terjadi konflik yang mirip dengan yang terjadi di Maluku. Selanjutnya, ada Piagam Malino II pada 13 Februari 2002 untuk mengakhiri konflik komunal Maluku.
Dampak dari konflik ini tentunya adalah nyawa dan harta yang harus hilang dengan sia-sia atas nama kebencian. Tidak ada angka akurat mengenai jumlah korban dan kerugian material. Saat ini, kedua pihak mulai saling membuka diri meskipun di beberapa daerah masih terpolarisasi. Bangunan-bangunan bekas yang terbakar masih bisa ditemui dan korban luka serta korban “keadaan” juga masih tinggal di sana.
Sosial Humaniora.
Entitas fana berwujud manusia.
Ya.
- Sulitnya Pita Menggapai Tampuk Perdana Menteri - 20 Juni 2023
- Maluku 1999: Obet Versus Acong - 1 Juni 2023
- Di Timur - 11 Januari 2023