Menjadi seorang mahasiswa merupakan sebuah kemewahan dimana tidak semua orang bisa mencicipi kemewahan ini. Bahkan, berdasarkan data yang didapatkan hanya 30% hingga 34% anak muda yang bisa menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi. Duduk di bangku perkuliahan, merupakan sebuah tanggung jawab dan kesempatan yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Hal ini pernah diungkapkan oleh seorang intelektual muda terkenal, Najwa Shihab.
Mahasiswa memiliki peran penting bagi kemajuan suatu bangsa. Sebab mahasiswa adalah generasi yang di tengah masyarakat dianggap memiliki kapasitas intelektual dengan kapabilitas mahasiswanya masing-masing, Praktik-praktik diskursif di ruang publik membuktikan mahasiswa memiliki peran penting bagi kemajuan bangsa, seperti yang saya katakan sebelumnya. Meskipun, di tengah masyarakat, terkadang mahasiswa dianggap sebagai makhluk yang serba bisa dan memiliki kemapanan pengetahuan pada semua bidang. Anggapan tersebut seperti sudah mendarah daging di masyarakat. Dalam menghadapi itu, ada hal-hal yang akan menjadi keharusan mahasiswa untuk mempelajari ilmu-ilmu yang pastinya tidak ada dalam proses yang terbatas pada ruang dan waktu di kelas-kelas perkuliahan. Inilah yang kemudian menjadi tantangan mahasiswa.
Menurut saya, pada umumnya ada tiga jenis mahasiswa di lingkungan kampus. Pertama, mahasiwa kupu-kupu (kuliah pulang, kuliah pulang). Kedua, mahasiswa kura-kura (kuliah rapat, kuliah rapat). Ketiga, mahasiswa kunang-kunang (kuliah nangkring, kuliah nangkring). Tak bisa dipungkiri, tiga jenis mahasiswa tersebut akan selalu ada di setiap Kampus. Hal ini biasanya didorong oleh kultur masing-masing kampusnya. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana peran dan fungsi mahasiswa sesungguhnya (yang dianggap serba bisa itu). Eits, jangan sampai kita terjebak pada suatu orientasi yang salah, yakni hanya mengejar sebuah ‘nilai’ kuliah. Seperti apa yang pernah dikatakan seorang intelektual terkenal, Rocky Gerung, “Ijazah itu tanda Anda pernah sekolah, bukan tanda pernah berfikir”. Mari kita kupas.
Menurut saya, ketiga jenis mahasiswa yang sudah saya sebutkan di atas adalah mahasiswa yang tidak memiliki naluri inovatif dan revolusioner. Aktivitas mahasiswa yang memiliki siklus keseharian seperti tiga jenis tersebut, bisa saja akan tersesat lalu terjebak dalam lingkungan sosial. Karena hanya sekadar belajar teori yang fakultatif tanpa melakukan aksi yang jelas dalam hasil pembelajaraan yang dilaluinya. Untuk kedepannya, jangankan untuk bisa berguna di masyarakat, bagi dirinya pun akan menjadi ancaman. Karena tidak memahami arah dan tujuan, sehingga tidak memiliki kapasitas yang mapan selama ber-mahasiswa.
“Survival of the fittest”, kata Charles Darwin. Fittest berarti mampu beradaptasi dengan lingkungan. Kunci survive itu bukan yang paling kuat atau yang paling cerdas, tapi yang paling adaptif. Menjadi mahasiswa adalah sebuah privilege. Hal ini jangan sampai disia-siakan. Mahasiswa yang berintelektual harus memiliki wawasan serta naluri yang luas dan tajam. Jangan sampai ada mahasiswa yang belajar di kelas, tapi tidak tahu arah dan tujuannya. Mahasiswa inilah yang kemudian tidak memiliki kemampuan berpikir yang sesuai dengan data dan realita sosial.
Para aktivis dan senior selalu berkata, “Mahasiswa adalah agent of change, agent of development dan agent of social control.” Tiga poin tersebut adalah tugas pokok mahasiswa disamping nilai dan prestasi di kelas. Untuk menjalankan tiga poin itu, tidaklah mudah. Perlu sebuah proses yang konsisten. Dan proses itu hanya didapat dalam sebuah organisasi mahasiswa.
Ada banyak organisasi kemahasiswaan yang sudah terkenal dan mapan serta sudah melahirkan banyak tokoh bangsa yang bisa kalian search di internet melalui gadget masing-masing. Organisasi tersebut ada yang berlandaskan perjuangan religi, seperti PMII, HMI, GMKI, PMKRI, dan Hikmah Budhi. Ada juga organisasi yang berlandaskan perjuangan nasionalisme, seperti GMNI. Meski pun organisasi-organisasi itu berbeda konsep berfikirnya, namun asas mereka tetap sama, yaitu berasaskan Pancasila. Menarik, kan?
Sampai disinilah saya ingin masuk dalam inti tulisan saya. Walau organisasi-organisasi besar yang saya sebutkan diatas sudah berumur lama, tetap terjaga eksistensinya sampai saat ini dan sudah melahirkan para tokoh bangsa. Tantangan para kadernya cukup besar. Salah satunya, menghadapi mahasiswa — yang katanya — anti organ ekstra kampus.
Mereka yang menjadi bagian dari mahasiswa anti organ ekstra kampus, biasanya selalu mengatakan bahwa mengikuti organisasi ekstra itu tidak ada manfaatnya dan hanya membuang-buang waktu saja. Rasanya saya ingin tertawa.
Lalu, yang jadi pertanyaan, apakah kemudian mahasiswa yang tidak mengikuti organisasi itu akan mampu membangun peradaban dan negeri? Mari berpikir.
Organisasi ekstra kampus telah banyak melahirkan tokoh bangsa yang sampai saat ini populer dan tak asing ditelinga kita. Ada tokoh-tokoh aktivis tahun 1998 yang berperan dalam gerakan reformasi, seperti Ganjar Pranowo dan Fahri Hamzah. Mereka terlahir dari organisasi ekstra kampus. Ada juga penulis buku dan intelektual muda terkenal, Bung Kristeva. Yudi Latief, seorang cendikiawan juga terlahir dari organ ekstra kampus. Tokoh agama islam terkenal, seperti Gus Muwafiq, Gus Miftah, Gus Yahya Staquf dan Prof. Said Aqil Sirodj juga terlahir dari organ ekstra kampus. Bagaimana dengan kontribusi mereka pada bangsa dan negeri ini? Tentu sudah tidak perlu dipertanyakan lagi.
Organisasi ekstra kampus biasanya berdiri sejak sebelum reformasi. Hal ini menandakan betapa pekanya mahasiswa saat itu pada sebuah realita sosial. Dalam setiap AD/ART mereka, tidak juga bertentangan dengan ideologi bangsa. Lantas, apa yang bisa menjadi alasan harus ‘anti organ ekstra kampus’? Marilah berpikir objektif.
Mengutip perkataan Najwa Shibab dalam sebuah video pendeknya, “kuliah bukan hanya tentang nilai dan IPK belaka. Tapi, tentang orang-orang yang kalian temui, pengalaman yang kalian jalani, memori yang kalian buat, skill yang kalian latih, pemahaman yang kalian dapatkan. Kuliah itu seperti membeli situasi, situasi yang mendorong kalian belajar, mendorong kalian berjejaring, mendorong kalian berdiskusi, mendorong kalian bergerak”. Sadarlah wahai Mahasiswa!
Institut Agama Islam Cipasung
- Mahasiswa Itu Apa? - 18 Desember 2021