
Keberlangsungan sebuah negara dalam menjalankan roda pemerintahannya memiliki beberapa pilihan bentuk. Salah satu diantaranya adalah bentuk ideologi demokrasi yang dipilih oleh Indonesia hingga saat ini.
Dalam pelaksanaannya, sistem tersebut melazimkan kebebasan bagi seluruh rakyat untuk memilih seorang pemimpin. Itu berarti sistem demokrasi adalah sistem yang memberikan seluruh elemen manusia pada sebuah negara untuk diberikan hak agar dapat ikut berkontribusi dalam hal membangun bangsa dan negara.
Indonesia sendiri dalam hal ini mengusung sebuah wadah untuk tujuan demokrasi yang menjadi cita-cita luhur bangsa. Hal itu dibuktikan dengan adanya sebuah wadah untuk mengumpulkan orang-orang di dalamnya yang memiliki persamaan dalam hal cita-cita, nilai-nilai yang dianut, serta tujuan dari dibentuknya perkumpulan tersebut. Perkumpulan itu dikenal sebagai partai politik yang akan menjadi perahu-perahu kecil demi mengarungi luasnya proses demokrasi di Indonesia.
Sejak era reformasi hingga sekarang pun, Indonesia sudah memiliki partai politik di dalamnya. Salah satunya sebagai yang paling tua seperti Partai Golongan Karya (Golkar). Pasca refomasi, setelah keluar dari jeratan orde baru, kembali banyak timbul beberapa partai politik baru yang akhirnya pada setiap pemilu terus bertambah satu persatu. Hingga sampai saat ini menuju pemilu tahun 2024, menurut catatan Kemenkumham, telah tercatat ada sekitar 76 partai politik yang terdaftar secara sah dan telah berbadan hukum. Hal itu berarti menunjukan, setidaknya ada 76 parpol yang memiliki hak untuk mendapatkan suara dari rakyat pada pemilu 2024 mendatang.
Setelah melewati perjalanan panjang, demokrasi di Indonesia nampaknya semakin hari semakin ramai. Paling tidak, jumlah parpol yang dicatatkan di atas menjadi salah satu bukti dari keramaian proses demokrasi di Indonesia saat ini.
Sebelum masuk pada pembahasan teknis yang mengaturnya, terlebih dahulu perlu diketahui terkait salah satu teori ketatanegaraan yang diusung oleh Aristoteles. Menurutnya dalam teori ketatanegaraan, demokrasi adalah salah satu pilihan untuk membangun sebuah negara. Tak hanya itu, Aristoteles juga mengamini bahwa demokrasi akan melahirkan secara alami dan otomatis sebuah partai di dalamnya sebagai bagian dari demokrasi tersebut.
Berangkat dari hal-hal di atas, sistem demokrasi serta prosesnya sebenarnya sudah diurusi dengan baik sebaik mungkin. Hal itu ditandai dengan proseduralnya serta teknis dari keberadaan partai-partai politik tersebut telah diurusi sedemikian rupa oleh Undang-Undang Dasar (UUD).
Fungsi Partai Politik Menurut Undang-Undang Dasar

Tak hanya itu, bahkan hal-hal nonteknis yang lain seperti fungsi partai politik juga menjadi salah satu hal yang tercantum dalam UUD. Hal itu dapat dibuktikan apabila mengacu pada Pasal 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang mengatakan setidaknya ada beberapa fungsi yang harus dimiliki dan dijalankan sesuai fungsinya oleh partai-partai politik yang nampaknya kini tengah jadi tren tersebut. Berikut adalah beberapa fungsi yang tercantum secara prosedural dalam Undang-Undang tentang fungsi partai politik:
- Partai Politik berfungsi sebagai sarana:
- pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
- penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;
- penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;
- partisipasi politik warga negara Indonesia; dan
- rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
- Fungsi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan secara konstitusional.
Sebagaimana fungsi-fungsi yang disebutkan di atas menunjukan bahwa seharusnya seluruh partai yang telah terdaftar secara sah dan berbadan hukum menjalankan seluruh fungsi di atas. Sebab kata fungsi merujuk pada makna kegunaan, peran suatu hal, bahkan dikatakan juga sebagai jantung dari berjalannya hal tersebut.
Maka dapat dikatakan, jika suatu hal sudah tak menjalankan fungsinya, dengan kata lain tak berfungsi sebagaimana mestinya, berarti satu hal itu dapat dikatakan sudah rusak dan tak berfungsi lagi. Dengan demikian, begitu pula dengan partai politik. Dengan adanya fungsi-fungsi yang harus dipenuhi oleh partai politik di atas, maka menunjukan bahwa partai politik memiliki peran pada hal-hal yang dicantumkan di atas.
Upaya Pembatasan Ambang Batas Parlemen

Beranjak dari pembahasan terkait fungsi dari partai politik itu sendiri, berarti secara otomatis memang menyatakan dan menunjukan bahwa partai politik merupakan unsur penting yang perlu dimiliki oleh Indonesia demi tercapainya cita-cita luhur bangsa, yakni demokrasi yang baik dan benar.
Menjelang pemilu beberapa tahun ke depan, Dewan Perwakilan Rakyat yang mengurusi terkait Undang-Undang tengah melakukan perencanaan revisi bagi ambang batas parlemen. Menurut beberapa sumber mengatakan bahwa saat ini tengah direncanakan adanya kenaikan jumlah persentase ambang batas parlemen yang berasal di angka 4%, kini rencana dinaikan hingga 5-7%.
Beberapa pakar politik menyatakan bahwa hal itu dapat mempengaruhi proses demokrasi yang katanya masih dalam pembangunan di Indonesia. Sebab batas ambang parlemen serta beberapa prosedural yang lain yang juga menjadi syarat membentuk sebuah partai dianggap hanyalah sebuah upaya untuk memberhentikan laju demokrasi itu sendiri. Sebab dari sulitnya syarat yang diembankan pemerintah pada calon pelaku politik di Indonesia akan semakin membatasi partai politik hanya pada kaum elit dan borjouis saja.
Selanjutnya, beberapa sumber menyatakan bahwa upaya yang dilakukan dari pembatasan jumlah serta sulitnya akses untuk pembentukan partai itu merupakan bagian dari pembatasan demokrasi. Sebab pada akhirnya, partisipasi rakyat telah dibatasi atas nama kekayaan dan sumber daya manusia yang dikotak-kotakkan.
Apa Gunanya Istilah Partai Nasionalis-Agamis dan Partai Agamis-Nasionalis yang Lahir Dari Sebuah Koalisi?

Sedikit membelok dari pernyataan-pernyataan di atas, melihat pada sisi lain terkait banyaknya partai politik di Indonesia saat ini tentu akan mempengaruhi keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Pasalnya, pergerakan sebuah partai politik tentu akan sedikit dipengaruhi oleh ideologi yang diusungnya. Di Indonesia sendiri ada dua bentuk ideologi yang dipegang oleh kebanyakan partai politik di Indonesia pada saat ini. Dua bentuk tersebut adalah ideologi nasionalis dan ideologi agamis.
Dalam pengertian singkatnya, klaim yang dilakukan oleh para partai nasionalis menunjukan bahwa partai yang nasionalis merupakan partai yang dibangun atas asas-asas negara, nilai-nilai dari sebuah negara, serta yang paling penting berdiri secara tegap sebagai partai yang paling berjiwa nasionalis untuk direkam dalam ingatan rakyat. Sedangkan partai dengan tajuk agamis merupakan partai yang bergerak sesuai dengan asas-asas Islam, berdiri sebagai perantara adanya pemikiran-pemikiran serta gaya kepemimpinan Islam, dan tentu mengklaim bahwa politik tak bisa dipisahkan dengan agama.
Dari hiruk pikuknya saling klaim yang terjadi tentang ideologi yang digunakan oleh partai-partai tersebut sejak 2013, kini bertambah lagi saling klaim ideologi baru yang justru seperti dipaksakan oleh para pelaku politik ini. Salah satu contohnya adalah sebuah klaim yang dilakukan oleh beberapa kolaborasi atau koalisi partai politik menjelang pemilu 2024.
Beberapa koalisi ini bertujuan untuk mengusung calon presiden di pemilu mendatang, sebab hasil suara yang dimiliki perlu diadakannya penyatuan hingga mencapai 20% untuk nantinya mengusung calon presiden pada pemilu mendatang. Kepentingan perolehan suara inilah yang kemudian nampaknya sedikit memaksa para partai poltik untuk saling bergabung dengan dalih koalisi demi memajukan bangsa.
Salah satu hal yang menjadi sorotan dalam hal ini adalah kembali timbulnya klaim ideologi baru yang justru terkesan dipaksakan. Beberapa koalisi yang dibentuk tersebut karena saling bergabung tanpa melihat ideologi yang diklaimnya dahulu akhirnya menampakan ideologi baru bernamakan partai nasionalis agamis dan partai agamis nasionalis. Kata-kata yang dibolak-balikkan itu justru terkesan dipaksakan hanya untuk sebuah kepentingan bersama. Dimana seluruhnya akhirnya bertumpu pada asas-asas pancasila yang katanya dibangun atas dasar-dasar pemikiran nasionalis dan agamisnya para pahlawan bangsa.
Partai-Partai yang Justru Mengganggu?

Berikutnya, tak hanya terkait klaim ideologi yang dilakukan saja, sisi yang perlu disorot dengan adanya banyak sekali jumlah parpol yang ada kini tentu akan menambah kegaduhan sistem pemerintahan saat ini.
Dalam hal ini, Indonesia yang kini menganut sistem presidensil terlihat malah terganggu dengan adanya banyak partai (multi partai) yang justru akan merubahnya pada sistem parlementer. Hal ini kemudian akan menimbulkan kesulitan serta kegaduhan pada kabinet pemerintahan. Sebab pada akhirnya, partai-partai baru yang muncul ini merupakan partai yang dibuat oleh orang-orang yang dibuang dan merasa terbuang dari partai sebelumnya. Sehingga peluang dan kemungkinan untuk membuat kegaduhan di mata masyarakat juga akan lebih banyak timbul dan ditimbulkan oleh mereka sendiri.
Hal ini tentu tak sejalan dengan salah satu fungsi partai politik di atas yang mengatakan bahwa partai politik harus dapat menjadi sarana berpolitiknya rakyat. Namun, pada kenyataannya hingga sekarang partai-partai yang semakin banyak yang seolah-olah menunjukan proses demokrasi semakin meluas dan melebar, justru tersimpan kenyataan bahwa partai-partai tersebut merupakan buah dari konflik partai-partai besar dengan diisi kembali oleh orang-orang lama yang juga memiliki catatan buruk dalam karir perpolitikannya.
Hal itulah yang menjadikan eksistensi partai-partai baru yang kecil tetaplah kecil, dan yang besar semakin besar. Karena pada akhirnya masyarakat sudah sedikit muak dengan kasus-kasus yang terjadi serta prestasinya yang juga dibungkus sedemikian rupa, dan akhirnya tak ada bedanya hingga menimbulkan ketidakpedulian dari masyarakat. Akibatnya, jumlah partai begitu kembung dan demokrasi tetaplah carut marut di sana sini.
Bajing Luncat Lebih Punya Banyak Opsi

Tak hanya itu, beberapa tren lain yang juga dibahas dari beberapa sumber mengatakan bahwa terdapat beberapa tren buruk yang sering dilakukan oleh partai politik di Indonesia.
Salah satunya adalah adanya politikus “Bajing Luncat”. Istilah ini diberikan pada politikus yang sering berpindah-pindah dari satu partai ke partai lain dengan melihat peluang serta analisisnya terhadap potensi keuntungan yang bisa didapatkan. Hal ini tentu merupakan tren yang buruk bagi perpolitikan di Indonesia. Dengan begitu, banyaknya jumlah parpol saat ini tentu akan menambah wahana pilihan bagi para Bajing Luncat tersebut demi mencapai kepentingannya sendiri. Tentu saja tak ada kepentingan yang dibangun untuk bangsa.
Selanjutnya, para kader yang diusung dari setiap partai yang kini begitu banyak ini juga menjadi penambah kesemrawutan proses demokrasi di negeri ini. Kader-kader dari setiap partai yang tak ada bedanya ini sama-sama memiliki fokus urusannya masing-masing.
Dikatakan dari Kompasiana bahwa para kader-kader politik serta partai politik di Indonesia terlalu berfokus pada objek-objek yang akan memberikan pemasukan, ketimbang harus berfokus pada visi dan misi yang padahal lebih dulu terpampang bagi kemajuan bangsa. Maka secara otomatis, dengan banyaknya partai politik yang ada hingga saat ini, nampaknya dengan jumlah hingga mencapai 70 akan ada lebih dari 70 kebiasaan yang sama yang akan kembali dilakukan oleh para kader-kader dari partai politik tersebut.
Lebihnya lagi, adanya fenomena perpindahan kader yang begitu sering dan terlihat mudah tersebut akan mempengaruhi perpolitikan di Indonesia. Akibatnya penerimaan kader yang lemah tersebut akan menimbulkan miss positioning pada akhirnya. Dalam artian, kader-kader dalam partai yang justru telah mengetahui visi misi partai serta jalur pergerakan dan pemikirannya akan kalah oleh para Bajing Luncat yang secara mengejutkan datang menjadi salah satu bagian penting di partai karena kepentingan bisnis dan yang lainnya. Akibatnya sisi kualitas dari partai itu sendiri akan dicederai dari dalam.
Ragam Penyimpangan Politik yang Mencederai Demokrasi

Kemudian, membahas terkait pengaruh banyaknya jumlah parpol yang ada tentu perlu adanya pembahasan terkait pemahaman penyimpangan politik yang bisa saja terjadi. Dalam pengertiannya, penyimpangan politik adalah menggunakan kegiatan dan ilmu politik untuk hal-hal yang menyimpang. Dalam hal ini dikatakan bahwa penyimpangan politik tidak hanya bisa dilakukan oleh pemerintah, pejabat, atau para anggota partai saja, melainkan oleh semua orang. Namun pengaruh yang akan jauh lebih kuat bagi kemunduran sebuah bangsa biasanya berasal dari pemilik jabatan-jabatan yang tinggi di negara tersebut.
Agar lebih tahu dan dapat mengawal kegaduhan dan keramaian parpol saat ini, perlu diketahui beberapa bentuk dari penyimpangan politik tersebut:
- Penyimpangan politik dalam kampanye
Dalam hal ini penyimpangan yang dilakukan sebelum menjadi pemangku jabatan pun bisa dilakukan dalam dua bentuk:
- Penyimpangan jangka pendek
- Money Politic
- Memberikan janji-janji dan tidak ditepati
- Melakukan penyerangan terhadap pihak lain dan berujung pada truth claim (klaim pembenaran) untuk diri sendiri
- Penyimpangan jangka panjang
Dalam penyimpangan yang dilakukan pada jangka panjang ini sederhananya partai politik serta pihak di dalamnya melakukan segala cara untuk mendapatkan suara agar dapat membeli suara rakyat secara cuma-cuma. Istilah-istilah seperti buzzer, akhir-akhir ini dapat menjadi salah satu pilihan untuk memborbardir pikiran rakyat, sehingga kinerja pemerintahan pun tak jarang terganggu oleh laju sistem atau strategi politik yang sebenarnya merupakan penyimpangan ini.
- Penyimpangan politik dalam sistemnya
Hal ini berarti penyimpangan yang dilakukan merupakan kegiatan yang dilakukan secara sewenang-wenang dalam sistem pemerintahan untuk kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. Maka hal ini dapat disimpulkan bahwa penyimpangan ini hanya bisa dilakukan oleh anggota partai yang telah berhasil mendapatkan kursi jabatan di pemerintahan.
Menurut beberapa sumber yang ditemukan mengatakan beberapa penyebab dari adanya penyimpangan tersebut, diantaranya adalah karena ketidak tahuan, ketidak mampuan, dan kesengajaan. Ketiganya tetap disebut sebagai penyebab dari timbulnya penyimpangan yang dimaksud di atas.
Dengan adanya penyimpangan-penyimpangan di atas, maka peluang adanya penyimpangan yang lebih besar dan tengah menjadi masalah besar dan begitu lamat di Indonesia akan terus menerus menjadi sebuah masalah. Masalah-masalah tersebut adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Maka dengan adanya banyak parpol yang begitu kembung menjelang pemilu tahun 2024 mendatang menjadi salah satu hal yang perlu disorot dimana nantinya semakin banyak parpol apakah peluang untuk adanya masalah-masalah besar tersebut justru akan semakin merajalela? Tidak ada yang tahu akan hal itu, sebab partai-partai sudah terlanjur terdaftar, dan rakyat sudah terlanjur tak peduli dan tak bisa menakar-nakar.
Terakhir, yang nampaknya akan menjadi salah satu masalah karena adanya banyak parpol sebagai opsi bagi proses pemilu mendatang bagi masyarakat adalah buah bagi tambah-tambahnya kebingungan dan ketidakpedulian bagi sikap demokratis masyarakat.
Psikologi Menyebut Banyaknya Sebuah Pilihan Hanyalah Awal Dari Hilangnya Pertimbangan Untuk Memilih

Menurut ahli psikologi dari Swarthmore College, Barry Schwartz menyatakan bahwa adanya terlalu banyak pilihan bagi manusia akan memberikan ujung yang tidak membahagiakan bagi manusia itu sendiri. Dalam bukunya yang berjudul The Paradox of Choice, Schwartz menjelaskan bahwa kesulitan dalam memilih ini tidak hanya terjadi dalam membeli satu atau dua barang saja, melainkan hal ini terjadi pada segala aspek kehidupan.
Menurutnya juga orang yang dihadapkan pada begitu banyak pilihan akan cenderung menghabiskan waktunya untuk memberikan pilihan pada yang tidak diinginkannya. Bahkan, bisa juga orang tersebut nantinya akan menanyakan lagi apa yang telah dipilihnya.
Hal ini tentu akan terjadi pada rakyat Indonesia yang diberikan begitu banyak pilihan di kertas suaranya dengan kualitas pilihan dan peluang dari pilihan yang tepatnya semakin jauh dari apa yang diharapkan. Sebab budaya-budaya buruk perpolitikan Indonesia nampaknya akan semakin disemarakan oleh lebih dari 70 parpol yang kini sudah terdaftar dan dianggap secara sah oleh negara sebagai sebuah partai.
Kelemahan Demokrasi

Tak hanya oleh hal-hal di atas, salah satu teori yang dipaparkan milik Aristoteles tentang ketatanegaraan itu juga menyebutkan sebuah kelemahan dari demokrasi itu sendiri. Dalam hal ini, menurutnya justru demokrasi ini akan lebih rentan menimbulkan satu suara yang datang dari pertimbangan, justru akan kalah oleh beberapa suara yang datang dari pemikiran yang kosong.
Dengan begitu, dapat disimpulkan secara sederhana bahwa demokrasi di Indonesia yang hari ini memiliki begitu banyak partai di dalamnya, justru hanya akan menambah keruwetan pada ajang pemilihan. Hingga pada akhirnya, suara-suara hanyalah sebuah angka kosong yang lebih berharga dari nilai sebuah bangsa.