Lautan Jilbab

Ilustrasi: Nyarita.com
Ilustrasi: Nyarita.com

Tahun 70-an anak anak sekolah masih mengandalkan rok mini tanpa jilbab dan lekukan dada juga tubuh intim lainnya. Tapi pesantren menyulap dengan proses yang panjang untuk meneggakkan prosesi jilbab. Proses itu bermula dari yang masih kelihatan dada, berlanjut yang kelihatan leher sampai tertutup penuh kecuali penglihatan. Di luar jilbab, yang perlu dibenahi diantaranya soal akhlak. Hijab soal luar. Akhlak soal hati.

Bukan hanya Nama baik individual, tetapi almamater yang besar. Keputusan berjilbab sama dengan keputusan untuk siap berproses merawat akhlaq. Sehingga lambat laun akan melahirkan Khadijah, Aisyah atau Robiatul Adawiyyah yang lain.

Penulis tidak sedang menyinggung pesantren, tetapi soal manusianya yang hidup di tanah itu. Santri kampung vs Santri kota. Yang dipertarungkan dari mulai make up, perhiasan, kecantikan, busana, outfit, wawasan, kelilmuan dan yang dinomorsatukan masalah akhlak. Mereka bersaing berlomba-lomba bukan dalam kebenaran semata, tetapi atas arahan Allah berlomba-lomba dalam kebaikan.

Di zaman 2010 ke bawah, santri terutama santriyah tidak repot-repot mengurusi, misal soal kecantikan wajah. Orang milenial menggelarinya dengan diksi “glowing” atau kaifiyyah memutihkan kulit atau memuluskan dan lain sebagainya. Skincare dari yang sederhana, sedang sampai mahal pun tak sedikit yang mengoleksinya. Dari aspek penampilan, santri kota menang dalam hal itu dibanding santri kampung. Mayoritas orang-orang menyebutnya santri salaf atau salafy.

Dalam suksesi lautan jilbab, pesantren telah berhasil mencipatakan ribuan, ratusan bahkan jutaan santri dengan sarung, peci dan jilbab. Tetapi individunya sendiri berkarakter macam-macam. Semua orang pun akan tahu item-itemnya. Masih alhamdulillah mereka masih berani berjilbab. Setidaknya menjadi cakram untuk pekerjaan yang memungkinkan negatif.

Di beberapa kesempatan, pihak yang berwenang seyogyanya konsisten menyampaikan evaluasi. Entah itu harian, mingguan atau bulanan. Perlu terus menerus mendidik, membina, menyentuh relung hatinya. Misal soal bagaimana cara beretika, berjalan, berbicara. Awam tidak pernah menganalisis jika berjilbab tapi kelakuannya edan. Yang mereka mau berjilbab sepaket dengan kelembutan atau keindahan kelakuan. Apalagi mereka berjilbab di atas tanah suci yang dulu pernah disinggahi wali-wali, ulama-ulama.

Wildan Solihin
Latest posts by Wildan Solihin (see all)