Laut Berkasih

Sumber Gambar: Unsplash/Cristian Palmer
Sumber Gambar: Unsplash/Cristian Palmer

Ia berhasil membiarkan orang-orang dengan ketidaktahuannya untuk mengumbar kebencian, membuat mereka puas dengan asumsinya masing-masing”

Bel masuk kehidupan sesungguhnya telah dibunyikan

          Seorang Wanita Kue berjalan gontai memasuki gerbang Pentas Kehidupan. Ya, sebuah nama kota kecil bernuansa asri dan nyaman. Pemandangan yang indah serta ramai oleh orang-orang bermuka tebal. Tak lupa mulut-mulut mereka bagaikan gergaji memotong kayu saat di tebang, bising mengagumkan.

Wanita Kue dengan kulit putih terang, berkepang dua dan pakaian berwarna merah muda pastel berhasil melewati raungan orang-orang yang menatapnya sinis saat pertama kali memasuki gerbang. Mereka menyerupai berbagai macam anggota tubuh manusia yang menggelikan.

Diantaranya ada Mata Satu yang sering menerawang kehidupan orang lain. Mata Dua si paling sinis akut saat menatap orang. Hidung Berlubang besar yang paling bisa mencium keburukan orang lain. Kaki Panjang Lebar dan tinggi yang cepat tanggap terhadap kabar orang lain yang tak mengenakan. Tangan Lebar yang senantiasa menampung duka cita keresahan setiap orang. Satu Telinga dengan lubang menganga bersedia menerima informasi terkini yang bersifat fakta maupun hoax. Dan Si Mulut Monyong yang tak pernah lelah mengeja orang lain serta menyulut kebencian. Di antara mereka semuanya sama-sama sarkastik.

Belum sempat memasuki rumah, si Mata Satu menatapnya jeli dari kejauhan. Wanita Kue mendesis pelan menyadari hal tersebut, lantas bergegas memasuki rumahnya.

*****

Hari-hari begitu berat untuk dijalani oleh Wanita Kue. Bukan hanya merasa dibenci, tapi setiap gerak-geriknya di mata-matai. Beberapa orang masih bertanya-tanya apa yang akan dilakukan oleh Wanita Kue setelah kembali ke kota mereka. Apa misi dari Wanita Kue hingga ingin menetap di kota mereka?

Setelah bertahun-tahun Wanita Kue berjuang ke negeri orang untuk menjadi manusia seutuhnya dengan berjalan, menepi, berjalan lagi, bahkan terkadang berlari untuk menghindari ketidakyakinan. Ia tidak ingin menjadi seperti orang-orang Kota Pentas Kehidupan dengan menjadi berbagai bentuk rupa anggota badan. Cita-citanya ingin menjadi laut.

Sudah seminggu Wanita Kue berhibernasi melepas letih setelah beberapa tahun terjaga. Hari itu, hari ke delapan ia memutuskan untuk keluar rumah, melepas kangen pada kota yang telah lama ia tinggalkan. Ia menghirup udara yang sejuk, memandang tanaman hijau, mendengar embusan angin, dan suara percikan air di kolam, begitu mengasyikan.

Seperti biasa pakaiannya merah muda pastel, rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai. Ia menyusuri kota dengan bersepeda santai, memandang sawah-sawah yang membentang hingga ke ujung penglihatan. Ia menatap langit yang cerah kebiruan dan merasakan embusan angin menyejukkan.

Di tengah sawah terdapat kolam kecil berbentuk persegi kira-kira enam kali enam meter dengan kedalaman dua kali lipatnya. Kolam tersebut merupakan warisan nenek moyang Kota Pentas Kehidupan. Selain untuk mengairi sawah, konon bisa mengobati segala macam penyakit, kecuali penyakit bodoh dan iri dengki, dan membuat seseorang berubah sesuai keinginannya. Namun, masyarakat tidak tahu satu hal, syaratnya tergantung bagaimana hatinya.

Tiba-tiba penglihatannya terganggu, matanya menyipit. Ternyata Si Bibir Monyong sedang sibuk bermandikan air kolam tersebut. Dengan susah payang ia meraih air dengan gayungnya. Tak lupa diiringi dengan keluhan karena tak kunjung berubah menjadi manusia seutuhnya.

“Kapan aku bisa berubah, hah? Ini sudah ke sekian kalinya aku mandi di kolam ini!” teriaknya putus asa sambil melemparkan gayung ke tengah kolam. Lantas, ia pergi meninggalkan kolam.

Wanita Kue masih menaiki sepedanya, melihat setiap adegan yang dilakukan oleh si Bibir Monyong. Ia ingin menyapanya, dan ketika si Bibir Monyong hampir mendekat, ia menyunggingkan senyum hangatnya.

“Selamat pagi, Bibi” ucapnya lembut sambil mengangguk sopan. Si Bibir Monyong menghentikan langkahnya dan menoleh.

“Hai, Wanita Kue yang Aneh. Kapan kau akan berubah menjadi seperti kami, hah? Lihatlah! Kau berbeda. Tak pantas menjadi manusia” jawab Si Bibir Monyong degan kasar dan lantang, kemudian berlalu. Wanita Kue tertegun mendengarnya.

***

Setelah kejadian di hari ke delapan, hari-hari berikutnya semakin banyak cemoohan, sindiran, bahkan kata-kata merendahkan yang ia dengar. Setiap keluar rumah, orang-orang bagaikan melihat musuh bebuyutan. Sementara itu, Wanita Kue hanya bisa bersabar.

Satu bulan telah berlalu, badai seharusnya ikut berlalu. Namun, angin topan masih terus menerjang. Wanita Kue tak tinggal diam, ia berusaha mewujudkan mimpinya menjadi seperti laut. Diam-diam ia mengajari anak-anak masyarakat untuk mendapatkan pelatihan. Belajar menjadi manusia yang manusiawi.

Suatu hari, Wanita Kue kembali keluar rumah untuk sekadar memandang sawah yang membentang. Tak jauh dari tempatnya berdiri, sekelompok orang berbentuk anggota itu berjalan menuju persawahan, kira-kira lima orang. Seperti biasa Wanita Kue menyapa dengan ramah.

“Paman, Bibi mau berangkat?” tanyanya. Basa-basi Wanita Kue yang tak perlu di jawab. Rombongan mereka terhenti.

“Akhirnya, makhluk biasa seperti kau pulang juga, yah?” jawab Si Kaki Panjang dan Lebar yang paling berani menjawab dengan santai. Orang-orang di sekelilingnya menatap sinis terhadap Wanita Kue.

“Apa kau bisa menjadi Dewa Penyelamat, hah? Itu menyedihkan, kau tahu!” seru Si Kaki Panjang diiringi tawa puas mengejek.

Wanita Kue termenung mendengar ucapan tersebut. Begitu tinggi cita-citanya ingin menjadi laut. Apakah akan terwujud?

***

Hari ini begitu panas, matahari semakin meninggi. Namun, tak menyurutkan semangat Wanita Kue untuk berbagi. Hari itu, anak-anak masyarakat berdatangan memenuhi rumahnya, berkumpul di ruang tengah untuk mendengarkan cerita-cerita dari Wanita Kue.

Ketika ia menyiapkan hidangan di dapur, terdengar teriakan di luar rumahnya. Lantas, ia bergegas melihat apa yang terjadi. Tak disangka kerumunan orang telah mengepung rumahnya. Berbagai protes dilemparkan. Alasan logisnya ialah mereka menyangka anak-anaknya di sandra Wanita Kue untuk dicuci otaknya.

“Keluarkan Wanita Kue dari kota ini!” teriak salah satu dari kerumunan.

“Jangan biarkan ia mencuci otak anak-anak kami!” teriakan dari sisi yang lain.

Sementara anak-anak bergeming penuh tanda tanya. Sedangkan Wanita Kue berusaha menenangkan mereka. Kemudian ia memberanikan diri keluar dari rumahnya. Seketika, beberapa orang menghampirinya tanpa aba-aba, membawa wanita tersebut untuk bergabung di kerumunan. Setelah itu, ia diarak-arak menuju kolam ajaib untuk diubah paksa.

Sesampainya di kolam, orang-orang dengan berbagai bentuk mengutarakan berbagai macam  protesnya. Termasuk menghabisi Wanita Kue sebagai jalannya.

“Hilangkan Wanita Kue dari kota kami!”

“Tenggelamkan ia di kolam ajaib ini, agar ia berubah seperti kami!”

Wanita Kue hanya terisak, tak mampu melawan karena benar-benar sendirian. Hanya keyakinan dalam hati agar semua ini segera usai.

“Perhatian!” instruksi Si Kaki Panjang dan lebar sebagai tetua melengking Panjang.

“Kita putuskan, Wanita Kue harus di hilangkan!” teriaknya, lantas diikuti kericuhan dan persetujuan orang-orang.

“Kita lemparkan ia ke kolam ajaib!” serunya dengan semangat sambil melompat-lompat. Gemuruh semakin beramai. Apalagi ketika Wanita Kue benar-benar dilemparkan ke dasar kolam dengan sekali hempas.

Inilah akhir kehidupan. Semoga Tuhan mendengar setiap harapan yang dilangitkan. Termasuk cita-citaku yang orang lain remehkan. Batin Wanita Kue dalam hatinya yang pasrah ketika menerjang kedalaman kolam.

Sementara di atas, semua orang bersorak ramai, berbahagia atas kepergian Wanita Kue. Namun, kebahagiaan tak berlangsung lama. Tiba-tiba gempa menggetarkan bumi yang mereka pijak. Perlahan air kolam ajaib menggulung bagai ombak, meninggi hingga batas tak terhingga. Gempa pun berhenti dan orang-orang menganga menatap pemandangan di depan mata.

Seketika air tersebut menghempas kembali bumi termasuk mereka yang bergumul. Tak ada yang mati sia-sia, semuanya berubah menjadi manusia. Cita-cita Wanita Kue telah terwujud.

Fatimah
Latest posts by Fatimah (see all)