Komedian Wanita Adalah Wanita Hebat yang Kehilangan Sisi Feminitas

Sumber Gambar: Pexels.com/Polina Kovaleva

Dalam lingkup kehidupan sosial, terdapat sebuah beberapa kebutuhan yang dibutuhkan. Salah satunya adalah kebutuhan untuk mendapatkan hiburan. Hal itu terbukti dengan adanya fakta bahwa hiburan merupakan bagian dari kebutuhan sekunder manusia. Itu berarti jika hiburan tak terpenuhi, maka peningkatan kualitas yang tengah dicapai oleh manusia tersebut justru cukup terganggu.

Seperti yang diungkapkan dalam sebuah penelitian ilmiah yang ditulis oleh Gerri Lingga Siusa mengenai, ‘Kebutuhan Hiburan Sangat Diperlukan’, dirinya menyatakan bahwa hiburan merupakan kebutuhan yang cukup penting bagi manusia. Bahkan tak hanya itu, dengan mendapatkan hiburan manusia dinilai dapat merasakan pikiran yang lebih segar dan lebih siap untuk menjalani kembali kehidupan dengan rutinitas biasanya.

Berangkat dari hal itu, baik manusia era modern ataupun jauh sejak zaman monarki, hiburan adalah sebuah hal yang cukup fundamental bagi kehidupan manusia. Setelah melewati kurun waktu yang begitu lama sekalipun, hingga kini hiburan masih menjadi sesuatu yang terus dicari dan dibutuhkan.

Bicara mengenai hiburan, masyarakat Indonesia tentu juga memiliki pilihan hiburannya sendiri. Jauh sejak era kolonialisme, atau bisa ditarik kembali ke masa kerajaan-kerajaan, hiburan-hiburan seperti ludruk, wayang geber, wayang kulit, wayang golek, dan hiburan lainnya sudah menjadi hal lumrah sebagai bagian dari kehidupan masyarakat.

Oleh karena itu, pada akhirnya seiring berjalannya waktu, dunia hiburan tak hanya menjelma menjadi suatu tontonan saja. Lebih dari itu mulai melibatkan kebudayaan, tradisi, industri, ekonomi, politik, atau bahkan masuk pada pembahasan-pembahasan mengenai gender.

Sebagai salah satu hal yang memiliki banyak pilihan di dalamnya, dunia hiburan melahirkan banyak pilihan bagi manusia yang hendak memilih untuk menontonnya. Hal itu dapat kita temukan dari film, drama, musik, panggung gembira, festival, hingga pertunjukan-pertunjukan baru yang menampilkan hal-hal spektakuler di depan khalayak.

Dari sana kemudian dunia hiburan yang begitu kompleks tersebut melahirkan sebuah genre secara langsung. Seperti dalam dunia perfilman, kita mengenal banyak genre seperti komedi, horror, action, drama, atau bahkan sebatas sebuah ulasan sejarah. Begitupun dengan pilihan hiburan lainnya yang juga sama-sama memiliki banyak genre yang pada akhirnya mengkotak-kotakkan menjadi sebuah hal yang disebut ‘selera’.

Salah satu genre yang paling banyak diminati dari begitu banyak pilihan tersebut adalah komedi. Banyak orang yang membutuhkan kebutuhan hiburan sebagai kebutuhan sekunder jatuh pada pilihan untuk lebih banyak tertawa. Maka komedi menjadi sebuah pilihan bagi kebanyakan orang untuk sekedar melepas penat dan mencoba merefresh otak dan pikiran.

Hal itu terbukti dari sebuah survey yang dilakukan oleh Rumah Millenial menyoal genre apa yang paling digemari oleh penonton di Indonesia dalam hal memilih film. Maka komedi muncul sebagai pilihan ketiga setelah genre action (aksi) dan romance (romantis). Tak hanya itu, dalam hal pemilihan program tontonan dalam televisi pun komedi menjadi pilihan ketiga setelah tontonan religi dan talkshow. Hal itu sebagaimana laporan Komisi Penyiaran Indonesia Pusat pada 2015.

Menarik dari hal-hal di atas, kita bisa dapatkan bahwa komedi merupakan tontonan yang dapat begitu mempengaruhi kehidupan sosial di masyarakat. Sebab sesuai dengan hasil survey di atas pun termasuk pada kebutuhan yang dipenuhi dalam hiburan, edukasi, serta informasi. Maka sesuatu yang diambil dari menonton komedi akan menjadi bagian dari penentu peningkatan kualitas masyarakat kita.

Perlu diketahui, menurut Rahmanadji dalam buku “Sejarah, Teori, dan Fungsi Humor” menyatakan bahwa humor atau komedi merupakan sebuah gejala yang menimpa manusia untuk merangsang rasa atau perasaan untuk tertawa. Tak hanya itu, menurutnya humor juga tak hanya didapatkan dari sebuah rangsangan yang datang dari orang lain, tapi perlu ada rasa atau perasaan humor yang terasa sendiri atau mereka sebut sebagai ‘sense of humor’. Definisi ini juga menambahkan bahwa humor itu berbeda dengan kontak fisik yang memaksa seseorang untuk tertawa. Artinya, humor itu harus merangsang rasa untuk tertawa tanpa ada usaha kontak fisik seperti menggelitiki.

Berangkat dari penjelasan di atas maka dapat dikatakan bahwa komedi atau humor itu akan didapatkan dari luar diri manusia itu sendiri. Sebuah tontonan yang mengandung komedi atau humor di dalamnya maka akan merangsang orang yang menonton untuk juga ikut merasakan tertawa. Itu kenapa kemudian tontonan yang mengandung komedi banyak diminati dan menjadi pilihan banyak orang.

Seiring keberjalanan waktu, serta seperti yang telah disinggung di atas mengenai komedi yang semakin besar dan begitu kompleks. Terdapat banyak kenyataan lahir dari dunia komedi. Sebuah kebudayaan bisa sangat dipengaruhi oleh tren yang dibawa melalui pentas komedi. Atau bahkan akhir-akhir ini kita dihadapkan pada kenyataan bahwa komedi dapat menjadi pilihan untuk menyuarakan keresahan mengenai perpolitikan di Indonesia.

Sebagai sebuah selancar besar yang dapat digunakan untuk berlayar lebih cepat mengarungi perhatian banyak orang. Komedi justru menarik perhatian penulis terkait bias gender di dalamnya. Bahwa dalam dunia komedi terdapat sebuah kenyataan bahwa feminitas yang seharusnya dimiliki oleh seorang wanita harus banyak dihilangkan oleh para pelaku komedi wanita.

Sebab dalam pentas komedi, setelah adanya banyak perjalanan atau transisi dari isu kesetaraan gender, kemudian melahirkan banyak wanita yang mulai berperan dalam dunia komedi di Indonesia. Sebut saja seperti lahirnya banyak legenda komedi yang justru merupakan wanita. Seperti Nunung, Mpok Ati, Mpok Nori, Omas, atau komedian-komedian wanita yang baru lahir di muka publik seperti Mpok Alpha, Soimah, Kiky Saputri, atau bahkan artis-artis yang justru lahir bukan dari dunia komedi yang malah merambat ke dunia tersebut seperti Ayu Tingting, Rina Nose, hingga Hesty.

Dari kesemua itu kita bisa dapatkan bahwa mereka semua telah sukses merambah ke dunia komedi. Namun, terdapat satu hal menarik yang dapat disaksikan ketika melihat komedian-komedian wanita tersebut. Hal itu merupakan isu gender mengenai feminitas atau kewanitaan. Maksudnya, komedian wanita merupakan pelaku komedi yang perlu menghilangkan hal-hal alami mengenai kewanitaan yang perlu dihilangkan sebagai sebuah citra dalam pentas komedi yang mereka lakukan.

Seperti yang diungkapkan dalam beberapa sumber bahwa paling tidak beberapa sifat feminim itu dapat dicirikan melalui adanya sifat affectionate (penyayang), cheerfull (periang), childlike (kekanakkanakan), compassionate (mudah terharu), does not use harsh language (berkata sopan), eager to soothe hurt feelings (suka menghibur), flatterable (suka memuji), Gentle (lemah lembut), gullible (mudah dibohongi), loves children (menyukai anak-anak), loyal (setia), sensitive to the needs of others (peka terhadap kebutuhan orang lain), shy (pemalu), soft spoken (bersuara lembut), sympathetic (simpatik), tender (halus), understanding (pengertian), warm (hangat), yielding (penurut).

Seperti dalam catatan sejarah, wanita yang pada mulanya banyak tak mendapatkan tempat dalam beberapa hal juga sama tak mendapatkan tempat dalam sebuah pertujukan panggung atau pementasan. Meurut N. Rintiarno dalam buku, “Kitab Teater: Taya Jawab Seputar Seni Pertunjukan” dikatakan bahwa jauh sejak era awal adanya pementasan seperti teater di Yunani pada 525-291 SM, jika dalam sebuah pertujukan membutuhkan peran seorang perempuan, maka yang memerankan adalah tetap seorang lelaki. Hal itu lengkap dengan dandanan perempuan serta hal-hal yang perlu diperankan oleh lelaki tersebut agar mirip dengan peran perempuan.

Menurut banyak sumber, hal tersebut menyusul adanya ketimpangan gender di masa tersebut. Dimana seorang wanita diyakini merupakan manusia lemah yang tak berguna. Tak hanya itu, di era tersebut juga wanita hanya dianggap sebagai pemuas nafsu belaka.

Di Indonesia sendiri, pentas komedi atau biasa disebut pentas lawak telah berlangsung sejak tahun 1900-an. Dimana di era tersebut lawak hanya baru disajikan dalam bentuk teater, dialog, atau monolog. Sejak awal masuknya dunia komedi atau lawak di Indonesia adalah adanya beberapa grup lawak yang mulai mencuat. Ambil contoh saja seperti srimulat di tahun 1950-an, Trio Los Gilos di tahun 1953. Dari sanalah baru kemudian dunia lawak yang dipopulerkan oleh dua grup legendaris yang dijuluki ‘jago kandang’ tersebut akhirnya merambah ke televisi.

Alhasil dunia lawak di Indonesia semakin berkembang sebagai salah satu pilihan tontonan bagi masyarakat di televisi. Kemudian tak hanya Srimulat yang muncul ke permukaan, grup-grup lawak baru bermunculan di rentang tahun 1970-1985-an. Sebut saja seperti Surya Group, Kwartet S, Kwartet Jaya, Trio Warkop, Bagyo CS, hingga De kabayan. Setelah dari sana, hampir setiap tahunnya grup lawak baru silih berganti menjadi idola tontonan masyarakat Indonesia.

Terlepas dari kebermuculannya yang cukup cepat tersebut, nyatanya grup lawak pada mulanya nyaris semuanya hanya berisikan kumpulan pelawak lelaki. Meski demikian, bukan berarti peran wanita hanya menjadi penonton saja, mereka juga ikut dilibatkan dalam pentas-pentas komedi. Namun, sejak awal memang wanita tak banyak diberi tempat dalam sebuah pentas komedi. Artinya, mereka hanya menjadi bagian atau peran pembantu untuk sekedar mensukseskan sebuah pementasan. Entah itu menjadi penari, sinden atau penyanyi, atau bisa saja bermain sebagai pelawak namun hanya menjadi pemain tambahan.

Maka tak aneh, sejak era Srimulat tak banyak komedian wanita yang namanya menjadi besar lewat komedi. Banyak hal yang membatasi yang membuat lelaki begitu digdaya di dunia tersebut. Berangkat dari kejadian itu, terdapat beberapa faktor yang membuat wanita tak banyak dilibatkan. Alasannya nyaris sama dengan era teater di Yunani. Stigmatisasi masyarakat terhadap wanita lah yang kemudian mengurung dan membatasi. Di era tersebut wanita masih dianggap hanya dapat menjadi seorang ibu rumah tangga yang hanya harus menunggu lelakinya di rumah untuk mengurus rumah dan anak. Tak hanya itu, di Indonesia wanita juga sangat masih dianggap sebagai makhluk lemah yang tak diberi banyak ruang.

Setelah itu semua, industri pertunjukan tanah air yang melibatkan tontonan di televisi terus berkembang. Dari perkembangan yang terjadi tersebut membawa kenyataan bahwa memang sejak awal wanita juga dibutuhkan dalam sebuah pertunjukan untuk jadi bahan tontonan. Namun, dalam hal ini terdapat sebuah perbedaan. Wanita yang awalnya dianggap lemah dan tak bisa bermitra dengan baik bersama lelaki akhirnya bermunculan lewat komedian-komedian wanita.

Meski demikian, wanita-wanita yang mengambil pilihan untuk juga menjadi pemain pentas komedi harus mengambil resiko lebih. Sebab yang awalnya hanya menjadi penari, penyanyi atau hanya sebatas pengumpan dalam pentas komedi membuat mereka harus bekerja lebih ekstra untuk tak hanya menjadi sebuah tontonan publik atau hiburan, tapi juga menjadi perubah bagi kesetaraan gender yang sebenarnya.

Dalam hal ini, menurut Liesbet van Zoonen menyatakan bahwa kita semua memang dihadapkan pada kenyataan bahwa sebenarnya wanita itu merupakan bagian penting dalam dunia pertunjukan yang dapat dipertontonkan. Sebab masuk ke era 2000-an, menurutnya wanita justru mendominasi tayangan-tayangan di televisi, entah itu dalam sebuah iklan, program-program talkshow atau bahkan sebuah sinetron.

Melihat hal tersebut pula memang wanita merupakan obyek yang dinilai memiliki nilai estetika yang lebih baik daripada lelaki. Bahkan nyatanya estetika yang dibawa oleh gestur alamiahnya tak hanya mengundang ketertarikan penonton lelaki, tapi juga penonton wanita.

Namun lagi-lagi, kesesuaian usaha serta kerja keras yang dibutuhkan wanita juga cukup timpang dalam hal ini. Seperti yang dikatakan dalam sebuah jurnal yang berjudul, “Representasi Sensualitas Perempuan dalam Video Game” yang ditulis oleh Maria menjelaskan bahwa memang tontonan yang hanya melibatkan nafsu bagi lelaki merupakan hasil dari patriarki barat. Hal itu juga yang kemudian membuat wanita begitu sulit untuk dijadikan sebagai mitra bagi lelaki.

Oleh karena itu dapat kita lihat begitu banyak sebuah realitas yang ada dalam sebuah pentas komedi yang di dalamnya melibatkan komedian wanita. Dimana para komedian wanita tersebut harus bekerja lebih keras dibanding komedian lelaki. Hal itu nampak jelas dalam banyak aspek. Pertama, sifat-sifat alamiah gender perempuan yang seharusnya merawat feminitasnya justru harus dihilangkan dalam lingkup pentas komedi. Kedua, masalah-masalah pribadi yang terkait dengan urusan kewanitaan baik dalam tradisi masyarakat maupun habbit pribadi menjadi sebuah masalah yang akan dihadapi. Ketiga, pekerjaan yang begitu keras membuat beberapa stigmatisasi di masyarakat menjadi sedikit melenceng terkait feminitas yang seharusnya dimiliki.

Bila harus diambil contoh, banyak terdapat komedian wanita yang harus tak hanya menjadi umpan komedi saja. Lebih dari itu mereka juga perlu masuk pada macam-macam usaha komedi yang lain yang biasanya dilakukan komedian lelaki. Seperti gimik yang berlebihan yang membuat sifat kewanitaannya hilang, hingga pancaran sebuah kecantikan nampaknya nyaris tak lagi menempel dalam tubuh wanita tersebut. Sebut saja seperti yang terjadi pada Ayu Tingting, Rina Nose, atau komedian wanita legenda seperti Nunung. Akibatnya, tak hanya kehilangan beberapa citra feminitas untuk menjadi pandangan wanita pada umumnya, mereka juga terlihat cukup kesusahan untuk mendapatkan sosok lelaki sebagai pasangan terbaiknya.

Hal itu juga kemudian berdampak pada pemanfaatan secara sepihak dari pihak lelaki yang hanya mau mengambil uang kekayaannya saja. Embel-embel sebuah cinta yang tulus akhirnya juga akan terbawa sirna bila sudah terjun menjadi peran utama sebagai komedian wanita dalam pentas komedi publik.

Meski demikian, hal ini tak membuat banyak orang akan melahirkan sisi negatif. Justru akibat dari kerja keras yang ditorehkan setelah dianggap berhasil menghibur publik sebagi komedian wanita, banyak masyarakat juga yang kemudian mengalihkan perhatiannya pada sisi komedi serta pekerjaannya saja.

Secara otomatis, nilai-nilai feminitas serta hal-hal kodrati perempuan memang perlu dihilangkan demi tercapainya kesuksesan menjadi seorang komedian wanita yang sebenarnya. Sebab bila terus mempertahankan feminitas biasanya hanya akan mudah tersinggung dan hanya akan menjadi bintang tamu sekaligus menjadi obyek penglihatan semata, serta skema komedi seksualitas belaka. Maka secara otomatis sebenarnya, komedian wanita yang sukses berkarir dan sukses bermitra dengan komedian lelaki dalam pentas komedi juga telah berhasil terlepas sebagai obyek pandangan nafsu publik semata dalam sebuah pertunjukan. Hal ini nyaris seperti paradox, namun semua orang tentu punya pilihan.