
Pagi ini udara sejuk menghidupi lingkungan pesantren, ditambahi suara ramai masalah munculnya film DILAN & MILEA yang membuat banyak kalangan muda tergila-gila untuk menggali makna dari film tersebut atau hanya sekedar menonton di bioskop saja. Tak heran film itu banyak digemari – baik kaum adam maupun kaum hawa – khususnya kaum hawa yang baru gede. Mungkin bagi kaum adam sampai menggemari film tersebut karena mereka bisa belajar meniru gaya Dilan bagaimana bersikap menjadi lelaki yang humoris, harmonis, juga humanis.
Bagi kaum hawa mungkin banyak yang suka dengan aktornya dalam film tersebut karena ke-keren-an dan ke-wibawa-an Iqbal Ramadan yang memainkan peran Dilan. Dengan suaranya yang lirih membuat siapapun menjadi terbawa perasaan. Apalagi gombalan Dilan yang logis juga tak logis, meramal akan bertemu namun melamur menjadi tamu. Aku yang sedari tadi duduk di kursi DPR – Dibawah Pohon Rindang – hanya memandang juga mendengarkan saja mereka bergosip. Tentang kekeliruan Dilan yang memukul Pak Suripto, Dilan yang terlibat peperangan antarsekolah, sampai-sampai mereka menyebutkan plat nomornya motor Dilan. Aneh memang, tapi beginilah kehidupan di pesantren, apapun kami obrolkan demi menghibur diri dari rasa bosan.
Oh iya, aku sedari tadi duduk sambil memerhatikan seseorang yang bagiku unik. Ia hanya sibuk memegang sejenis buku kecil berwarna kuning, dia memisahkan diri dari kelompoknya entah karena mengapa. Aku kira, mungkin ia sedang memiliki tujuan khusus. Biasanya memang seperti itu, katanya kalau santri yang memiliki tujuan khusus pasti ia akan berkhalwat demi terfokusnya tujuan tersebut. Aku belum begitu dalam mendalami dunia santri, lagipula aku mengetahui itu dari cerita teman se-asrama. Aku baru masuk pesantren ini sekitar satu bulan lebih. Bukan karena aku nakal, tetapi orang tuaku berharap aku belajar hidup mandiri. Meskipun sekarang sudah jaman canggih, kalau rindu tinggal video call. Tetap saja jarak masih berkuasa atas hukum rindu. Entah bagaimana rindu bekerja kadang aku tidak membutuhkannya namun ia datang secara tiba-tiba tanpa aba-aba. Aku yang sudah lupa akan luka oleh masa lalu dipaksa merindu sejenak. Memikirkan dan menelaah setiap lika-liku kelakuan yang kulakukan, mengomentari ucapan yang sempat aku lontarkan – yang akhirnya membuat kepalaku menggeleng geleng dengan kencang —berusaha untuk menghilangkan pikiran itu didalam kepalaku.
Ada yang bilang Rindu itu sulit jinak walau sejenak. Itu bisa dibenarkan. Karena mungkin setiap orang pasti memiliki kerinduan akan masa lalu, atau orang yang berharga namun telah tiada, kejadian yang seharusnya seperti ini atau seperti itu.
Terkadang kita tak mampu menerima kenyataan yang ada bukan karena kita tidak siap, hanya saja kita terlanjur menyimpulkan juga menyempilkan bagaimana kejadian yang akan menimpa kita nanti. Tapi kalau kata Bondan Prakoso “Ya sudahlah” mau bagaimanapun juga kehidupan ini harus tetap dijalani bukan karena kita terpaksa menjalaninya tapi karena kita ditakdirkan seperti ini, pasti Tuhan memiliki tujuan dan maksud yang khusus demi kemaslahatan hidup kita. Kita sebagai manusia hanya mampu berikhtiar dengan semaksimal kemampuan yang ada, dan dibantu dengan berdo’a semoga saja keinginan yang dikeluarkan oleh lisan dan keinginan yang masih tersimpan didalam hati dikabul oleh-NYA.
Kata Azizah lelaki itu memang sangat digemari oleh kaum hawa, kecerdasan dan kepintarannya membuat kaum hawa berlomba lomba untuk mendapat perhatian lelaki itu. Meskipun sekadar sapaan. Ada yang berusaha berjalan dengan membungkukkan badan sembari lengan dilonjorkan kebawah seperti gaya santri kalau melewati orang yang lebih tua atau melewati sang Kyai. Oh iya, Azizah itu teman se-asramaku, kami baru saja berkenalan semenjak aku masuk ke pesantren ini. Aku dititipkan oleh orang tuaku di pesantren yang ada di daerah Karawang, lebih tepat nama pesantrennya yaitu Hidayatul Mubtadi’in. Kata Azizah, nama pesantren ini diambil oleh Kyainya karena dahulu Kyainya alumni Pondok Pesantren Lirboyo. Yang didalamnya terkenal madrasah Hidayatul Mubtadi’in. Nama Lirboyo sendiri diambil konon karena atas nama desa tersebut kalau bahasa santri “Ngalap Berkah” dari tempat yang ditinggali. Nah Kyai pesantrenku mengambil Hidayatul Mubtadi’in karena konon pernah diwasiati oleh Kyainya agar mengibarkan bendera pesantren lirboyo di manapun kalian berada. Inisiatif Kyaiku mengambil nama Hidayatul Mubtadi’in untuk dijadikan nama pesantrennya demi menyiarkan dan mengamalkan ilmu yang telah dipelajari di pesantren Lirboyo.
Waktu istirahat pun telah usai, aku dan Azizah kembali melakukan aktifitas mengaji seperti biasanya setelah beristirahat mencari makanan ke kantin pesantren. Kami bertemu kaum adam tatkala istirahat, itupun istirahatnya sebentar sekedar mencari makanan atau buang air. Makanya tidak ada banyak waktu untuk mengobrol bersama kaum adam. Paling hanya sekedar lewat saja. Itu juga kalau mereka ada di luar asramanya ketika kami menuju kantin. Lagipula sang Kyai pasti memiliki sumber dibolehkannya kami melewati kaum adam. Asal jangan berlebihan saja. Aku dan Azizah lebih banyak menggunakan waktu untuk pergi ke tempat mengaji, asrama, masjid, sekolah dan perpustakaan sekolah. Selebihnya mungkin mengunjungi kantin untuk memenuhi rasa lapar kalau belum ada makanan dari pengurus.
Keesokan harinya dering alarm pun berbunyi pagi hari, membuat kami segera bersiap menuju sekolah. Menyiapkan segala perbekalan, dari buku hingga pulpen. Merapikan pakaian, juga memakai wewangian. Bukan karena ingin dilihat agar dilirik, tetapi menjalankan sunnah nabi untuk berpenampilan selalu bersih. Lagipula Kyai kami mengajarkan agar tetap berpenampilan bersih, jangan mentang mentang santri itu harus segala keterbatasan. Tetapi harus memanfaatkan keterbatasan agar terlihat megah. Minimal kepada diri sendiri.
Aku sedari tadi sambil berjalan menuju ruang kelas sekolah, sembari memikirkan tentang lelaki yang kutemui itu. Sambil memindah-mindahkan kertas buku yang kubaca untuk persiapan pembelajaran hari ini, jejak kaki yang berirama bergantian kanan kiri. Namun isi kepala membuat rasa tanda tanya. Kalau ada yang mampu melihat, mungkin di atas kepalaku ada bayangan lelaki itu yang sedang memegang buku kecil berwarna kuning. Sesaat itu pun aku usahakan geleng geleng kepala dengan kencang berharap lelaki itu hilang dari bayanganku.
Aku pun bergumam dalam hati “ aku sedang kenapa, apa yang terjadi. Kenapa tubuhku berdesir di saat lelaki itu muncul, apakah ini berdasar dari hati atau hanya bisikan nafsu belaka?”. Tiba-tiba Azizah menepuk pundakku berharap aku agar memerhatikan dia bicara. Padahal sedari tadi dia sedang menanyakan isi dari halaman buku tersebut. Aku malah asik memikirkan pikiranku.
“ Kamu kenapa hey?”
“ Eh, engga kenapa kenapa” sembari memberikan senyuman kecil.
“ Aku kira kenapa, aku dari tadi menanyakan ini. Kamu kok malah bengong dan bingung kaya gitu. Lagi mikirin apa hayoo. Jangan jangan, jangan jangan. Ekhem ekhem” suara azizah meledekku sembari senyum.
“ Ish kamu nih, aku enggak kenapa-kenapa. Serius asli. Kamu aja mungkin suaranya kecil jadi enggak terdengar olehku. Lagipula aku pun sedang membaca-baca buku”, jawabku dengan penuh percaya diri.
“ Oh yaudah, ini apa maksud kata dari palung ?”
“ Palung itu sinonim dari kata lubang. Banyak sastrawan yang menggunakan kata palung didalam karyanya. Padahal palung kalau di dunia geografi adalah suatu tempat kedalaman laut. Salah satunya Palung Mariana yang memiliki kedalaman hingga mencapai 10.911 meter.”
“ Aku bertanya tentang maksud kata tersebut bukan penjelasannya”
“ Eh, biasa anak IPS harus menjelaskan sesuai bidangnya. Tapi kalo dilihat dari maksud kalimat tersebut, Kita akan pulang kedalam palung. Mungkin kita akan mendiami tempat terdalam, atau lubang.”
“ Kuburan, ?”
“ Nah, bisa jadi”
“ Ishh, ngeri juga ya. Dalem banget kata katanya.”
“ Biasanya gitu, sastrawan kalo udah dalam pasti kata-katanya sulit untuk dimengerti”
“ Ada rahasia tertentu gitu ya”
“ Iya, sudah tak asing juga”
Kelas yang tak ubah diamnya, yang khas baunya, yang misteri di dalamnya. Sudah kami masuki dengan penuh rasa gembira, berharap rasa ini tak segera punah dimakan zaman. Suara senandung bait ‘Imrity menghiasi ruangan. Menunggu sang Ustadz datang mengajar.
Sesaat pelajaran dimulai, aku berusaha menghilangkan pria itu di dalam kepalaku menggunakan akal ku. Namun tetap saja, suaranya yang lirih membuat isi kepala seolah dikelonin untuk tetap mengingatnya. Aku sudah berusaha melupakannya dengan akalku, namun hati masih saja mengisyaratkan untuk tetap mengingatnya.
- Kelamin dan Peradaban - 25 Agustus 2022
- Buku dan Ke-Baku-annya - 8 Maret 2022
- Untuk Menangkap Serigala, Tidak Ada Salahnya Meminta Tolong Kepada Singa - 10 Februari 2022