
“Mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”
(Pembukaan UUD 1945)
Kalimat yang termaktub di atas senantiasa riuh di kepala saya, kalimat tersebut seolah tidak saya temukan dan tidak ada relevansinya dengan apa yang saya peroleh di bangku sekolah. Apa yang saya pelajari di sekolah selama ini, dengan sistem pendidikan yang berpola pada kurikulum yang silih berganti dan tumpang tindih. Maka, saya mencoba memberanikan diri menuliskan sedikit catatan, dari sudut pandang saya sebagai pelajar SLTA.
Sejak tahun 2020, saya membaca salah satu buku yang berjudul Sistem Pendidikan Finlandia. Buku tersebut berisi catatan dan pengalaman seorang Ibu yang menyekolahkan anaknya di Finlandia. Di dalamnya banyak hal seputar sistem pendidikan di Finlandia yang banyak mengundang tanya bagi saya, di antaranya;
“Bagaimana negara kecil ini bisa sukses dalam tes Programme for International Student Assesment?”
“Apa benar di negara ini setiap sekolah tidak ada pekerjaan rumah?”
“Apa benar tidak ada nilai raport dan penilaian ujian?”
“Bagaimana mengukur kemampuan siswa? Mengapa pendidikan didapat secara mudah, tanpa perlu orang tua mengeluarkan uang sepeserpun?”
“Mengapa kehidupan tenaga pengajar begitu merdeka tanpa berkekurangan? Padahal tidak ada pungutan biaya SPP dari setiap siswa?”
“Apa komitmen dan motto pemerintah Finlandia? sehingga menjadi negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia?” dan seterusnya.
Buku yang ditulis oleh seorang ibu sekaligus pengajar bernama Ibu Ratih D. Adiputri ini, memang memiliki minat besar terhadap pendidikan. Dan ia tinggal bersama kedua anaknya di Finlandia selama sepuluh tahun. Dalam buku yang ditulisnya itu, saya sedikit menemukan jawaban atas beberapa pertanyaan dalam benak saya.
Berbeda dengan Indonesia, di mana sekolah anak di dominasi oleh latar belakang ekonomi keluarga, bukan berdasar pada perkembangan anak. Fenomena itu membuat saya kembali berpikir “Apakah hanya orang “mampu” yang bisa mendapatkan pendidikan terbaik?” “Bagaimana nasib pendidikan anak, ketika orang tuanya tidak mampu membayar biaya pendidikan anaknya?” tidakkah anak-anak memiliki HAK yang sama untuk memperoleh pendidikan yang baik, apapun latar belakang ekonomi keluarganya?
Sesuai dengan motto pendidikan di Finlandia yaitu “Belajar Sepanjang Hayat” (Elinikainen oppiminen) yang mana dengan motto ini seseorang akan terus belajar hal baru di sepanjang hidupnya, baik secara formal maupun informal. Pembelajaran seumur hidup ini menjadi penting, dalam kehidupan dunia yang terus berkembang dan selalu berubah cepat sepanjang waktu. Sehingga dalam hal ini, baik dari segi perubahan hidup, pergeseran situasi, minat pekerjaan dan keadaan ekonomi menuntut adaptif, dan pendidikan Finlandia memberikan kesempatan belajar dan berkembang bagi setiap orang tanpa pilih-pilih umur atau bahkan latar belakang keluarga.
Hal menarik yang saya tarik pula dalam buku ini adalah, semua profesi di negara Finlandia harus memiliki pendidikan dan kemampuan yang sesuai dengan pekerjaan yang diminatinya. Bahkan untuk menjadi sopir bus sekalipun, walaupun seseorang bisa menyetir mobil, ia tetap harus mengikuti pendidikan atau kursus untuk menjadi supir bus sekitar dua tahunan. Bahkan aspek yang diajarkan tidak hanya cara menyetir bus yang aman dan tertib, namun juga berhitung dan ilmu akutansi dasar, ilmu tentang mesin bus, dan alat-alat elektronik yang tersedia dalam bus. Supir bus diajarkan bagaimana caranya bersikap ramah terhadap penumpang, menguasai bahasa Inggris dasar, dan sebagainya.
Belajar dari sekolah atau kursus-kursus yang disediakan pemerintah ini diadakan dengan harga terjangkau atau bahkan gratis bagi warga setempat. Tersedia pula kuliah umum yang terbuka untuk semua, yang memberikan kesempatan bagi setiap orang yang mau memanfaátkan waktunya untuk memperkaya ilmu pengetahuanya. Sehingga dalam hal ini, bisa dikatakan tingkat kekerasan di Finlandia terbilang 0%. Berbeda dengan Indonesia, tingkat kekerasan umumnya di jalan raya; dari mulai pengendara ojeg, hingga supir bus seringkali terjadi. Kekerasan dalam angkutan umum, seolah menjadi fenomena gunung es yang setiap tahunya mengalami peningkatan yang signifikan.
Selain itu, berkaitan pula dengan motto pendidikan Finlandia “Belajar Sepanjang Hayat” ini begitu mendalam di masyarakat Finlandia.
Sehingga, fasilitas belajar juga didukung dengan sarana perpustakaan yang dirancang secara modern yang memiliki koleksi buku yang lengkap. Selain sekolah dan universitas, pemerintah juga memiliki perpustakaan daerah yang terbuka untuk umum. Buku perpustakaan bisa dibaca dan dipinjam kapan saja dan dapat dikembalikan melalui pos.
Kehadiran perpustakaan di tengah lingkungan masyarakat yang menjadi jantung kemajuan peradaban, benar-benar sudah menjadi bagian dari kehidupan di Finlandia. Sehingga, penduduk tidak perlu harus pergi ke pusat perbelanjaan untuk melakukan aktivitas sosial. Keberadaan perpustakaan daerah ini, memiliki koleksi buku yang luar biasa, juga minat baca yang tinggi. Tidak heran lagi, apabila angka literasi masyarakat Finlandia 100%, bahkan orang tua berusia lanjut pun masih gemar membaca buku.
Berkaca pada pengalaman saya yang kurang lebih selama 6 tahun aktif berpartisipasi terhadap nasib minat baca, ditambah 1 tahun lalu menjabat sebagai ketua salah satu ekstrakulikuler yang berfokus pada kegiatan literasi, saya justru terkadang mendapati fenomena bahwasannya orang-orang yang gemar membaca buku kerap kali menerima bullying, berupa perkataan bahwasanya pembaca buku itu hidupnya tidak gaul. Selain itu, sering dikata bahwa membaca buku pelajaran lebih penting dibanding membaca buku non pelajaran. Kebiasaan ini telah mendarah daging, dengan anggapan untuk apa membaca buku yang tidak akan diujiankan di sekolah?
Tidak hanya itu, berkaca pada keberadaaan perpustakaan sekolah di Indonesia, buku-buku diperpustakaan di dominasi buku paket pelajaran, jarang sekali saya menemukan perpustakaan yang menyediakan buku-buku non pelajaran yang up-to-date di kalangan remaja. Maka tidak salah jika perpustakaan sekolah kerap kali dijuluki “ruangan sepi”. Maka tidak salah lagi, jika Indonesia menduduki posisi dua terbawah negara dengan tingkat literasi yang rendah.
Tidak hanya itu, keberadaan teknologi yang pesat membuat masyarakat khususnya kalangan remaja dan dewasa di Indonesia, cenderung lebih menghabiskan waktunya bermain media sosial. Maka tidak heran, jika Indonesia menduduki posisi pertama kategori warganet yang kurang attitude. Lebih tepatnya lagi, negara Finlandia dalam UU Pendidikan telah jelas menjamin pendidikan yang didapatkan anak, harus membuat anak tersebut nyaman, aman dan berada sedekat mungkin dengan lingkungan rumah. Apabila jaraknya cukup jauh, pemerintah akan menyediakan transportasi gratis untuk anak-anak tersebut. Sebab merupakan hak seorang anak untuk mendapatkan pendidikan sesuai kurikulum yang berlaku, juga bimbingan dan dukungan yang sesuai kebutuhan yang diperlukan anak.
Hal ini membuktikan bahwa pemerintah Finlandia sangat menghargai dan menjunjung tinggi mereka yang menimba dan memberi ilmu, pemerintah Finlandia sangat bertanggung jawab dan apik terhadap para penerus bangsanya, tidak melihat latar belakang ekonomi atau ras, sebab bagi mereka semua anak terlahir sama, memiliki HAK untuk menimba ilmu.
Coba kita bandingkan dengan negara Indonesia, jelas sekali perbedaan ini sangat mencolok. Anak-anak yang tidak bisa mengenyam pendidikan di sekolah favorit kerap kali menerima bullying. Mereka yang memiliki latar belakang ekonomi yang rendah harus terpaksa pulang pergi ke sekolah dengan berjalan kaki, berbeda dengan anak yang terlahir dari keluarga mampu. Hanya sekolah dengan biaya bulanan tinggi, yang memiliki sarana bus antar jemput bagi siswa. Lantas bagaimana nasib mereka yang terlahir dari keluarga yang kekurangan? Kesenjangan cukup besar ini kerap kali menjadi pemandangan miris yang tanpa sadar mengikis hati saya.
Selain itu, jadwal kegiatan sekolah di Finlandia amat bervariasi. Kegiatan disekolah didominasi dengan kegiatan bermain dan mendalami skill bagi masing-masing siswa. Kegiatan ekstrakulikuler dilakukan setiap hari, sesuai dengan kegiatan pembelajaran. Sehingga secara tidak langsung, anak-anak telah menguasai potensinya tanpa meninggalkan pelajaran wajib sesuai kurikulum yang berlaku.
Tidak hanya itu, Pemerintah Finlandia pun bertanggungjawab terhadap fasilitas buku-buku pelajaran, materi pembelajaran, dan alat sekolah diberikan kepada murid tanpa biaya sepeserpun. Buku-buku pelajaran menjadi hak milik yang bisa diisi langsung selayaknya buku latihan. Di Indonesia kegiatan pembelajaran dilakukan terlalu lama, dan memakan banyak waktu, dimulai sejak pukul 07:00 sampai pukul 16:00. Dan kegiatan ekstrakulikuler dilakukan seminggu sekali yang telah dijadwalkan sekolah. Hal inilah yang membuat saya berpikir, bahwasanya kegiatan mendalami potensi kurang merata, sebab bisa jadi siswa cukup stress menghadapi jam pelajaran dan tugas rumah yang menumpuk.
Sisanya berkaca pada pengalaman pribadi setiap kali menghadapi semester baru, saya sebagai siswa merasakan sekali bagaimana orangtua banting tulang lebih keras untuk anaknya mampu membayar buku paket, dan LKS yang diperjual-belikan. Membeli peralatan sekolah baru dan alat tulis lainya. Lantas bagaimana mereka yang memiliki latar belakang ekonomi yang rendah? Pemandangan miris pula, seringkali saya melihat mereka yang tidak mampu membeli LKS harus bersusah payah menulisnya di buku catatan hingga memakan banyak waktu bermainya. Kerapkali mereka yang kurang dalam segi ekonomi, mendapat perlakuan yang tidak seharusnya mereka terima, mereka yang belum mampu biaya bulanan sekolah kerap kali mendapat ancaman tidak bisa mengikuti ujian sekolah, hingga bahkan ancaman ijazah ditahan.
Barangkali benar adanya, kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa” hanya sebatas kalimat penenang yang hanya menjadi cover sistem pendidikan Indonesia. Sebab bagaimanapun, ini adalah pekerjaan bersama agar hakikat pendidikan untuk semua benar-benar terwujud rata. Sebab masih banyak kesenjangan dalam sistem pendidikan kita, sebab yang tertulis belum berarti menyeluruh menyuarakan apa yang riuh di benak, sudah semestinya ini menjadi tolak ukur untuk bangun dan berkembang. Sebab, bagaimanapun pendikan memiliki hubungan vertikal terhadap nasib suatu bangsa.
- Ironi Sistem Pendidikan Indonesia - 20 Agustus 2021