Hujan Kemarin

Ilustrasi. Sumber gambar: internet.

Pada diksi-diksi yang berbaris, obrolan saat gerimis dan beragam kalimat penyemangat untuk menulis, aku ingin mengaku, bahwa saat bersamamu adalah hal yang manis.

”Apabila ada pertanyaan perihalmu yang sangat harus aku jawab. Aku ingin mengakui bahwa aku memang manginginkanmu, berharap bahwa suatu saat kaulah yang akan menjadi pelengkap agamaku adalah harapan. Akan tetapi, aku teramat sadar, sekuat apapun aku mencinta, sehebat apapun aku mendamba, seletih apapun aku berusaha, dan sekhusyu apapun aku berdo’a. Apabila Tuhan berkata ‘tidak’ aku bisa apa? Maka, satu hal yang kucari kini adalah sosok yang terbaik menurut-Nya. Terkadang cocok di mata manusia belum tentu cocok juga di mata manusia”

Kubaca dengan seksama tulisan yang baru saja ia posting. Aku terkejut. Ternyata dugaanku salah. Aku kira, hanya aku saja yang merindukannya, hanya aku saja yang setengah mati mencintainya. Bila tidak malu, ingin rasanya aku menangis di tengah keramaian ini.

Lama sekali, semenjak kepergiannya kita di putuskan jarak. Aku kira hanya soal jarak, namun juga komunikasi yang dulu selalu menjadi alasanku untuk terus bermain gawai. Anehnya, untuk hanya sekedar mengirim pesan “Hay apa kabar?” sangat sulit. Entahlah, aku telah begitu canggung padanya. Ia yang sekarang terlalu luar biasa untuk aku yang biasa saja.

Padahal sudah berbulan-bulan kita tidak pernah lagi saling mengirim pesan. Awalnya kerinduan selalu datang menyerang tiba-tiba, namun kini aku telah biasa saja. Hanya saja, tulisannya yang baru saja memaksaku untuk kembali mengingat. Aku tak pernah bisa menolak perasaan ini, bahkan aku tak merasa di lukai sama sekali.

Aku senang bisa kenal dan dipertemukan dengannya, meski hanya sampai bertemu bukan bersatu. Ia orang baik, sangat baik sekalipun ia belum pernah membuat hatiku tercabik, maka wajar saja apabila kini, saat kepergiannya aku merasa kehilangan. Kehilangan sosok, yang hingga kini tak pernah kutemui lagi duanya.

Kisah tentang aku dengannya bermula saat aku memutuskan untuk produktif menulis di media. Entah di hari keberapa, ia mengomentari tulisanku dan mengapresiasinya. Saat itu, ia adalah orang asing. Kukira percakapan kita hanya akan sampai pada kalimat “Sama-sama” ternyata lebih dari itu. Pada pesan-pesan yang awal mula mengalir saat itu, ia banyak bertanya, hingga pada akhirnya kita saling bertukar pikiran.

Kita sama-sama merasa bahwa obrolan via media itu dirasa kurang intens akhirnya kita saling memberikan nomor whatsapp, dan berlanjutlah obrolan kita melalui itu. Hanya bertukar pikiran, aku juga masih merasakan biasa saja, sebab dia bukan orang pertama yang banyak bertanya perihal kepenulisan padaku.

Namun, rasa ini mulai muncul saat ia memutuskan untuk menceritakan kisah hidupnya.

Ia adalah anak pertama dari dua saudara, ayahnya adalah seorang guru agama sedangkan ibunya adalah ibu rumah tangga. Sebagai seorang kakak yang paling tua, ia harus banyak membantu sang ayah dalam hal materi, terlebih impiannya yang sangat besar, ia merasa bahwa hal itu bisa memakan banyak biaya namun ia terus berusaha, tak luput menyertai doa dalam setiap langkahnya.

Ia rela merantau untuk belajar dan mengajar, dengan kemampuan yang ia bisa. Ia pun tertarik pada dunia tulis menulis. Bahkan, ia pernah bilang padaku bahwa sebelum ia, teman-temannya telah lebih dulu kenal padaku, tentunya melalui tulisan- tulisanku. Katanya, mereka menyukai setiap diksi yang kutulis disana, dari situlah ia mengetahuiku, namun ia lah yang paling berani untuk mempertanyakan padaku. Hingga terciptalah sebuah ruang perkenalan kita.

Jujur, perasaan kagum mulai muncul sejak saat itu.

“Menurut kamu, mungkin gak. Orang yang punya latar belakang keluarga seperti aku bisa pergi belajar ke Negeri seribu menara?” tanya ia saat itu.

“Apanya yang nggak mungkin?”

“Kan katanya kesana itu butuh biaya banyak, belum lagi ongkos disana. Banyak juga tetangga-tetangga yang ngomong kalo itu semua cuman mimpi doang”

“Kamu percaya sama omongan-omongan mereka”

Ia masih belum membacanya, akhirnya aku kembali mengirimnya pesan.

”Aku ngeliat kamu itu orang yang ambisius, visioner, dan gak kenal lelah. Aku percaya, Allah akan memberikan jalannya. Aku kira, untuk tipe orang seperti itu, gak pantes buat masih ngedenger omongan tetangga”

“Doain ya”

“Aamiiin”

Kita sama-sama mengaminkan.
***
Beberapa bulan setelah perkenalan itu. Pesan-pesan kita terus saja mengalir. Hingga pada suatu masa, ketika aku sedang menemui teman lamaku di Kota yang kini sedang ia singgahi disana, kita bertemu. Ini adalah awal pertemuan kita.

Kita merencanakan pertemuan di kampus tempat kakak kelasnya belajar. Tidak begitu lama, sebentar namun berkesan. Saat itu, ia mengajak aku ke tempat-tempat yang menurutnya bersejarah, ia membawa sebuah kamera kecil. Maka ia selalu saja memotret setiap kali ada objek yang bagus dan menarik dan terkadang ia memintaku untuk memotretnya, bahkan sesekali secara diam-diam ia memotretku, aku tahu hal ini saat kita telah pulang, ia tiba-tiba banyak sekali mengirim hasil jepretannya yang ada aku di dalamnya.

Di kota itu ada sebuah pantai yang selalu di padati pengunjung setiap sorenya. Disana juga ada sebuah jembatan kayu yang panjang dan lebar, di atasnya juga ada banyak tukang jajanan. Setelah berjalan-jalan di bibir pantai, akhirnya kita pun berjalan di atas jembatan kayu itu. Senja semakin menjingga, keindahannya semakin bertambah saat aku sedang bersamanya.

“Kamu juga suka photography?” tanyaku.

Ia mengangguk, “Aku hanya ingin mengabadikan setiap momen yang baru saja aku
lewati. Apalagi kalo itu hal yang mungkin saja gak akan aku rasain lagi”

“Hm, menarik”

“Beli jajanan dulu yuk. Abis itu baru pulang” ajaknya

Aku menurut saja. Kita membeli makanan ringan dan minuman dingin. Tidak lama setelah itu, kita sama-sama pulang, dan itu adalah pertemuan pertama dan terakhir aku dengannya. Ia sempat berkata bahwa setelah ini ia akan fokus belajar untuk mengikuti test seleksi beasiswa kesana. Lagi-lagi kita sama-sama mengaminkan.

Dua hari setelah itu, ia pamit bahwa kita tidak akan lagi bisa untuk saling berkomunikasi. Aku memahaminya, dan aku kembali dengan kesibukanku. Mungkin bisa di bilang bahwa duniaku sedikitnya bisa berubah karenanya.

Di sela-sela kesibukanku, tidak jarang aku mendapati banyak sekali pesan dari orang lain. Namun hanya kusikapi biasa saja, sebab yang aku tunggu kini hanyalah kabar darinya.

Jujur saja, kini aku mulai menyukainya. Pada sikap, pada pesan, dan pada semua hal tentangnya membuat aku tidak bisa menampik perasaan yang tak pernah kusadari kapan datangnya, ia hadir dalam hidupku begitu saja, begitupun persoalan rasa.

Ketika kurasa semuanya kesibukanku telah rampung, dan kabar darinya belum juga kutemukan. Aku membaca kembali sebuah puisi yang pernah kita buat sama- sama, kolaborasi katanya, namun aku rasa ini lebih ke sebuah balasan pernyataan yang di puitisasi.

“Dalam goresan tinta ku uraikan segenap rasa dalam kata” ia memulainya.

“Menyampaikan kekagumanku melalui cara yang sederhana” sambungku.

“Sebuah kutipan cinta tanpa suara, tersurat dalam hati yang tak berbahana”

“Di penghujung malam, kutaburkan harap yang tertabur dalam senyap”

“Tak luput kusebut namamu, seseorang yang kucintai dalam bisu”

“Entah sampai kapan akan berakhir, atau mungkin hanya akan berakhir getir”

“Satu hal yang aku tahu adalah, bahwa Tuhan telah mempersiapkan seseorang yang terbaik untukmu dan untukku”

Dan hanya sampai kalimat itu. Setelahnya, aku hanya mengapresiasi deretan diksi yang buat dengan begitu rapi. Aku menyukai, tulisannya dan juga orangnya. Sekejap saja setelah membaca itu, aku tertidur.

Pagi sekali kudapati pesan darinya. Ia mengabariku bahwa ia telah di nyatakan di terima, aku senang mendengarnya. Namun ada sedikit ketidakrelaan, sebab setelah ini mungkin dia akan pergi, ternyata benar apa yang dia katakana saat itu. Terkadang kita harus mengabadikan momen yang baru saja di lewati, sebab mungkin saja hal itu tidak akan terjadi lagi. Kini aku benar-benar merasakannya.

Ia diminta oleh seorang pembimbingnya untuk membuat sebuah karya terlebih dahulu. Ia meminta bantuanku, dengan senang hati aku akan membantunya. Dalam waktu beberapa bulan sebelum waktu keberangkatannya, bukunya harus terbit.

Ia juga memintaku untuk menyumbangkan satu buah tulisan di dalam bukunya, aku pun menulis satu buah senandika.

Akhirnya, setiap pesan-pesan yang biasa kita isi dengan saling berbagi kini kita isi dengan saling memberi motivasi dan diskusi-diskusi perihal apa saja yang akan dituangkan di dalamnya. Dalam waktu satu bulan lebih, naskahnya teah rampung dan siap di terbitkan. Tidak lama setelah itu, buku perdananya telah di nyatakan terbit. Aku sangat bangga padanya, perlahan-lahan mimpinya bisa terwujud. Sungguh luar biasa.

Kini, ia disibukan dengan berbagai acara literasi. Waktu keberangkatannya di undur, katanya ia sedikit sakit hati karena hal itu. Allah Maha Adil, ia dihibur dengan kesibukan-kesibukannya mengisi kegiatan literasi dan beberapa seminar motivasi. Wajar saja, untuk seorang yang mampu mewujudkan impian dengan perjalanan yang tidak bisa dikatakan mudah, ia pantas menerimanya. Ia pantas dengan segala pencapaiannya.

Pada akhirnya, kita berdua sama-sama disibukan oleh setiap kegiatan. Komunikasi kita tidak lagi sebaik dulu, namun kita sama-sama mengerti bahwa masih ada beberapa hal yang harus kita prioritaskan.

Setelah itu, waktu keberangkatannya tiba. Malam itu ia mengabariku. Aku mengusahakan agar bisa menemuinya besok, karena kebetulan saat itu aku sedang ada kegiatan di dekat bandara. Sayang sekali, aku tidak sempat menemuinya di bandara. Sebab waktu keberangkatan dan kegiatanku sama.

Kembali pada masing-masing prinsip kita bahwa, masing-masing dari kita harus memprioritaskan apa yang harus diprioritaskan. Berat sekali rasanya, antara sedih dan bahagia. Antara rela dan tidak. Namun aku tidak ingin memberatkan langkahnya, semuanya tidak ia dapatkan dengan mudah.

Ketika ia disana, masing-masing sulit sekali rasanya meski hanya untuk menerima kabar, ketika aku mencoba untuk menghubunginya, nomornya tidak lagi aktif. Kesehariannya hanya bisa aku ketahui di media. Ada rasa canggung dalam benakku untuk kembali menyapa. Tak apa, kita yang semula asing kini kembali asing. Pernah mengenalnya, dekat dengannya, dan bisa menjadi seseorang yang pernah mengisi hari-harinya, adalah sesuatu yang bisa membuatku hidupku berwarna. Hingga kini sosoknya adalah pemanis dalam setiap tulisan yang kubuat, mengingatnya alasanku agar terus bersemangat.

Kurangkai kembali sebuah kalimat. Jelmaan perasaan yang tak sempat di sampaikan, aku harap, ia membacanya.

Nyatanya, hingga kini aku masih menginginkanmu. Padamu rinduku masih tertuju. Nama dan bayanganmu masih terpatri dalam ingatanku. Hingga dalam gelisah mimpiku pun kau hadir menepisnya. Entahlah, aku masih belum bisa mematikan rasa yang terlanjur membabi buta. Akupun tak sadar jika rasa ini terus menjalar secara sendirinya.

Padahal sudah puluhan purnama kita lalui tanpa saling berkomunikasi. Hari-hari yang dulu selalu kita lalui dengan ucapan selamat pagi, kini tak kudapati lagi. Malam yang selalu kita isi dengan saling bertukar cerita, kini suaramu pun tak kudengar kembali. Dulu, saat ujian akan sama-sama kita hadapi, ucapan selamat selalu terungkapkan, tak luput segenggam do’a yang sama-sama kita aminkan.

Kedekatan kita memang tidak di barengi ikatan. Obrolan kita hanya di isi oleh cerita tentang pengalaman dan mimpi yang masing-masing sedang kita perjuangkan. Tak terpikirkan, jika perasaan akan ikut terlibatkan. Sebab yang ku tahu saat itu hanyalah tentang kamu, aku dan obrolan-obrolan yang memunculkan benih kenyamanan.

Kau tahu, bahwa yang kurasa saat itu adalah euphoria bahagia yang kukira tak akan pernah bertemu jeda, apalagi sampai berakhir. Akan tetapi itu hanya perasaanku saja, sebab kini kau telah pergi dan tak lagi menjadi pelangi yang selalu hadir mewarnai.

Kau tak perlu mempertanyakan perihal aku yang mengapa bisa mencintaimu dengan sejadi-jadinya. Sebab saat pertama kali kita saling menyapa, bertukar nama, berbagi cerita dan cita-cita. Ada perasaan berbeda, yang aku pun tak tahu datang dari mana. Saat itu aku mengerti, bahwa jatuh cinta adalah suatu hal yang benar-benar ada di luar kendali kita. Bukankah saat itu, bahkan hingga kini, kita belum pernah bersua sama sekali. Namun, cinta telah mendahului semuanya.

Apakah aku harus menganggap bahwa kisah kita telah usai ? namun kapan kita memulai ?
Perihal kita. Aku sadar bahwa pertemuan adalah gerbang menuju perpisahan. Saat kita memutuskan untuk bertemu, maka seharusnya aku sudah harus siap dan sepakat untuk berpisah denganmu, baik itu soal jarak ataupun kematian. Akan tetapi, perpisahan kita adalah suatu pengorbanan untuk mewujudkan tujuan.

Buktinya, kini kau sudah berada di suatu negara yang dulu kau jadikan cita-cita. Satu persatu impianmu sudah kau genggam. Aku turut berbahagia, dan nampaknya kau lebih berbahagia sekarang. Kau tak perlu memikirkan bagaimana aku disini, namun nikmatilah dunia barumu tanpaku di sisi.
Pada akhirnya, sebuah kejujuran ingin aku ungkapkan di akhir tulisan ini.

Kau adalah yang terbaik, dari sekian banyak orang baik yang pernah aku temui. Aku tidak tahu bagaiman cara menghapusmu dalam ingatanku. Barangkali akan kubiarkan saja semuanya membatu, menjadi prasasti hingga suatu saat nanti. Saat Tuhan menaqdirkan kita untuk berjumpa kembali.

Bagaimanapun nanti, aku hanya berharap kita bisa saling di persatukan. Sebab kau adalah seseorang yang aku inginkan, meskipun aku bukan seseorang yang kau idamkan.

Terima kasih pernah menjadi setitik warna yang berhasil memulas jagatku yang abu- abu. Kemanapun masa depan akan membawa kita, bersama denganmu adalah do’a.

T.E Musta'in
Latest posts by T.E Musta'in (see all)