Hitam Putih Gentrifikasi

Ilustrasi: Nyarita.com

Ilustrasi: Nyarita.com

Pembangunan adalah salah satu hal penting yang mesti diperhatikan oleh sebuah negara. Perubahan ekonomi yang terus menerus kemudian dapat mengundang banyak pebisnis membangun perusahaan di suatu daerah. Hal itu memang menguntungkan untuk perekonomian, namun tidak pada segi letak geografis dan sumber daya manusia. Mega proyek serta pembangunan-pembangunan bangunan atau hunian mewah di suatu daerah baru sudah sangat tak terelakan di Indonesia hingga sekarang ini. Akibatnya menimbulkan sebuah tren istilah baru yang dikenal dengan Gentrifikasi. Fenomena ini mulai banyak dinamai oleh negara-negara maju di era modern ini. Kota-kota besar dari negara-negara tersebut mulai menyadari adanya hal negatif yang ditimbulkan dari fenomena tersebut.

Secara singkat, Gentrifikasi ini adalah suatu fenomena transformasi pesat yang terjadi di suatu daerah. Lazimnya, fenomena ini terjadi pada daerah dengan kondisi fisik yang buruk atau kumuh, hingga nantinya Gentrifikasi ini mentransformasi daerah tersebut menjadi daerah dengan kondisi fisik yang lebih layak, bahkan mewah. Dalam hal lain, fenomena ini bisa juga masuk pada lahan kosong di perkotaan.

Bangunan-bangunan yang dibangun dalam fenomena ini adalah bangunan mewah, seperti apartemen, condotel, hotel, real estate, atau properti lainnya seperti mall. Kemudian, hal yang paling banyak disoroti dalam fenomena ini adalah pada segi sumber daya manusia. Dimana biasanya daerah dengan hunian dan bangunan mewah yang sudah bertransformasi itu hanya dapat dihuni juga oleh masyarakat kelas menengah ke atas atau kata lain pekerja kerah putih.

Dikarenakan fenomena ini terbilang masih baru diberi istilah pada era modern ini oleh negara-negara maju, maka masyarakat negara berkembang seperti Indonesia masih banyak yang belum mengetahui tentang Gentrifikasi ini. Akibatnya, masyarakat Indonesia hanya menganggap transformasi yang dilakukan di daerahnya itu sebagai sebuah kemajuan zaman saja. Dimana akhirnya pusat perbelanjaan dan juga hunian mewah bisa berdiri tegak dengan bangga mereka klaim sebagai bagian dari yang dimiliki oleh daerahnya.
Meski begitu, masyarakat Indonesia yang berada pada kelas pekerja kerah biru akhirnya sudah tak tinggal diam. Mereka yang merasa terancam oleh adanya Gentrifikasi ini juga terpaksa harus melawan, walaupun belum banyak dilakukan. Sebab para kelas pekerja kerah biru di negara-negara maju sudah sangat sadar akan hal ini. Mereka tak hanya melawan dengan sebuah massa aksi, vandalisme, ataupun negoisasi, tetapi semua itu juga mereka lakukan dengan disertai pemahaman mereka terhadap fenomena Gentrifikasi ini.

Sebagai sebuah fenomena yang belum banyak diketahui, beberapa contoh dari fenomena ini bisa menjadi acuan bagi masyarakat Indonesia bahwa fenomena yang sudah dianggap sebagai isu penting bagi negara-negara maju kini sudah banyak terjadi di negeri ini. sebut saja mega proyek yang dicanangkan oleh raksasa kapitalis properti Indonesia: Grup Lippo. Proyek ini dikembangkan di atas tanah sekitar 500 hektare, dengan estimasi investasi mencapai Rp.278 triliun. Atau dalam contoh yang masih baru adalah rencana pembangunan mega proyek yang dicanangkan oleh pengusaha asal Spanyol yang hendak menginvestasikan banyak modal di Pulau Karimun Jawa. Daerah dengan letak geografis yang begitu indah itu sudah dipasangi pagar pembatas proyek untuk membangun beberapa bangunan baru guna menunjang kemajuan pariwisata di sana.

Dibalik kesenjangan sosial yang ditimbulkan oleh Gentrifikasi ini, baru-baru ini justru banyak orang mulai memberikan pembelaan terhadap fenomena ini. Sebagai fenomena yang tumpang tindih dalam segi positif dan negatifnya, Gentrifikasi justru dimaknai sebagai sebuah upaya untuk membangun kota. Beberapa anggapan yang lain juga mengungkapkan bahwa Gentrifikasi ini sebenarnya hanya mengundang konflik pada bagian reprentif saja (selera konsumsi). Karena bagaimanapun juga, masyarakat dengan kelas pekerja kerah putih memiliki selera hunian sesuai dengan apa yang telah mereka hasilkan. Jadi, dalam hal ini perdebatan tentang Gentrifikasi masih belum menemui titik temu untuk mengatasi kesenjangan sosial yang ditimbulkannya.

Gentrifikasi ini juga merupakan bagian dari kejamnya kapitalisasi yang terjadi di tengah masyarakat. Pihak pemerintah kota di negara-negara maju memang meyakini bahwa kawasan sebuah kota itu memang harus terhindar dari daerah-daerah yang kumuh serta kondisi fisik yang buruk. Sebab dengan begitu, sebuah kota dengan label ‘kota yang maju’ adalah kota dengan pembangunan infrastruktur yang baik sekaligus megah. Dalam hal itu, memang pada akhirnya bangunan-bangunan yang dibangun dari fenomena ini juga diperuntukkan bagi masyarakat kota. Hanya saja, dengan pemahaman seperti itu, akhirnya kesenjangan sosial yang ditimbulkan oleh fenomena ini semakin tak terelakan.

Tak hanya sampai situ, Gentrifikasi ini dianggap dapat menjadi solusi mengentaskan kemiskinan. Dengan adanya Gentrifikasi, pemerintah dan juga masyarakat yang tak paham dengan fenomena ini menganggap bahwa fenomena ini dapat memberikan banyak lapangan pekerjaan. Padahal justru, para pekerja kerah biru akan tetap saja menjadi pekerja kerah biru, bedanya justru hanya akan menambah jumlah mereka dari masyarakat yang tidak mendapatkan pekerjaan sebelumnya.
Padahal istilah “menjadi tamu di rumah sendiri” telah begitu lama mengakar di pikiran kita. Bagaimana mulai banyak kota-kota kecil yang menjadi metropol dengan bangunan mewah nan megah serta perusahaan-perusahaan besar baru yang dianggap dapat menunjang lapangan pekerjaan. Kesadaran akan hal itu sebenarnya telah ada jauh sejak era reformasi, namun solusi dari kesenjangan sosial yang ditimbulkan oleh hal ini rasanya tak bisa terelakan sampai kapanpun. Karena sekelas negara maju sekalipun akhirnya menerima fenomena ini. Mereka juga menganggap bahwa Gentrifikasi ini adalah upaya pencampuran kelas pekerja yang akhirnya bisa menghapus kesenjangan sosial di masyarakat.

Dengan adanya transformasi serta urbanisasi dari para pekerja kerah putih yang akhirnya tinggal di kawasan para pekerja kerah biru ini dinilai sebagai solusi yang dapat menghentikan isu kesenjangan sosial di masyarakat.
Baik ataupun buruknya fenomena ini, yang jelas masyarakat harus terus diberikan pengertian tentang hal ini. Upaya pemerintah untuk membangun kota serta mengentaskan kemiskinan dapat dilakukan dengan cara ini. Namun, kesenjangan sosial yang justru dinilai belum selesai dalam fenomena ini masih menjadi pekerjaan rumah yang baru namun begitu lama tak terselesaikan. Serta kita semua juga harus ingat bahwa Indonesia ini masih berada pada level negara berkembang. Maka Gentrifikasi ini harus terus diperhatikan, sebab jika tidak, justru akan lebih banyak menimbulkan masalah – tak hanya pada bidang pembangunan dan ekonomi, tapi juga pada bidang sosial budaya. Contoh besar dan menggelikannya adalah mega proyek Meikarta yang malah sempat mangkrak karena masalah yang ditimbulkan pemerintahnya sendiri yang malah terjangkit kasus korupsi.

Akibatnya, Gentrifikasi yang maknanya seharusnya sudah berubah pada dominasi konotasi positif bagi negara-negara maju itu malah terus semakin ternilai negatif bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia sebagai negara berkembang.