Waktu tak pernah berhenti berputar. Terkadang terasa lambat bahkan cepat. Siang seolah panjang karena terik sangat menyengat. Malam terasa lebih padam dan dingin sebab kedua mata terpejam lebih lama. Ah, dunia memang tak selalu sama.
Pukul dua siang, seorang gadis berparas cantik, bergamis hitam dan jilbab Merah Muda, namanya Lia. Panggilan kecilnya adalah Ia. Gadis itu melengang dengan tenang di pinggir jalan. Tujuannya adalah menemui teman di tempat suci, atau lebih tepatnya menunut ilmu kepada maha guru.
“Yeay!!!” pekik gadis berjilbab Navy saat gadis jilbab Merah Muda baru saja tiba di kelas. Suaranya nyaris tak terdengar karena suasana kelas yang gaduh.
“Akhirnya kau tiba Iaaa, huuh aku hampir bosan karena tidak ada teman bicara,” keluh jilbab Navy. Jilbab Merah Muda hanya tersenyum anggun dan menggeleng.
“Apa yang ingin kau sampaikan bestiiii?,” tanya Ia tak kalah greget sambil terkekeh pelan.
“kau tahu???—-,” kalimatnya terpotong.
“Assalamualaikum” semua peserta didik menoleh ke sumber suara bass yang sudah tak asing. Mereka bergegas kembali ke tempat duduk masing-masing.
“Waalaikumsalam, yaa Ustadz” sontak semua menjawab salam dari guru mereka.
Kegaduhan mereda seketika. Pembelajaran berlangsung dengan khidmat. Sedangkan jilbab Navy, Dian namanya, gadis itu sudah tak sadarkan diri beberapa menit yang lalu. Posisinya begitu nyaman, duduk bersila, punggung membungkuk, dan pipi kiri menempel pada buku tugasnya. Sedangkan, tangan kananya masih sempurna memegang balpoin yang tadi menari di atas kertas putih.
Di samping itu, terik matahari berganti air hujan yang lebat. Seolah langit sedang menjerit seperti bayi meronta ingin dipangku orang tuanya.
*****
10 tahun kemudian
“Hai Iaaaa, apa kabar???” teriak Dian antusias saat bertemu Lia sahabatnya sepuluh tahun lalu. Gadis itu memeluk Lia erat. Jilbab cream syar’i nya berkibar oleh angin. Seperti biasa Lia tersenyum anggun membalas pelukan sahabatnya tersebut.
Kini usia mereka telah memasuki kepala dua, alangkah bahagianya mereka bertemu kembali setelah sekian lama mengembara. Lia berjilbab dusty dan tunik hitam pavoritnya melepas pelukannya. Lantas, kembali duduk di kursi sebuah Kafe pavorit mereka.
Di pertemuan yang bukan pertama kali ini, mereka berbincang banyak hal termasuk rencana masa depan. Entahlah, makin ke sini isi pikiran mereka semakin berbeda. Berisi dan berpikir dewasa. Ya, karena dunia memang tak selalu sama.
“Ngomong-ngomong bagaimana kuliahmu, Ia?,” tanya Dian penasaran setelah setahun tak berhadapan. Meski dunia teknologi sudah maju, Dian masih tak bisa memainkan gadget sembarangan. Hal ini disebabkan lembaga pendidikan yang Dian tempati tak mengizinkan membawa alat elektronik.
“Semua selalu baik Ian,” jawabi Lia tenang, lalu kembali menyeruput Coffe Brown Sugar dinginnya.
“kemarin ada sedikit kesibukkan di organisasi, jadi aku tak sempat membalas suratmu, Ian.” Jelasnya sambil tersenyum menatap Dian.
Yang ditatap membuang muka ke arah jendela yang menampakan pemandangan bukit hijau asri.
“Lantas, bagaimana dengan dia Ia?,” tanya Dian tanpa menoleh. Raut wajahnya datar dan dingin.
Lia terlonjak kaget. “Hilal, maksudmu?,” tanya Lia dengan hati-hati, keningnya berkerut, tangan kananya masih memegang kopi. Lantas Lia terkekeh menggeleng tak percaya sahabatnya akan bertanya soal masa lalunya.
“Entahlah, Ian. Kurasa aku sudah lupa. Barusan kau mengingatkannya,” jawabnya lagi. Dian menoleh dan tersenyum samar seolah tak percaya.
“Baiklah. Ini sungguh tak mudah, Ian. Anyway, Hilal di mataku tak lebih dari seorang teman. Sejak saat itu, semuanya menjadi berubah. Aku? Bingung harus berbuat apa,” terang Lia. Matanya hampir berkaca-kaca mencoba menjelaskan agar sahabatnya percaya. Dian hanya menatap datar Lia yang sedang susah payah meyakinkannya.
“Kau tahu Hilal pergi kemana?” Dian menyeringai tanpa ekspresi. Lia menatap Dian dengan nanar.
“Kau menuduhku karena dia hilang?,” tanya Lia tak percaya. Raut mukanya kini hampir merah. Ia berdecak, lantas memukul meja kafe cukup kuat.
Melihat adegan di depannya. Dian tertawa terbahak-bahak sambil menutup mulut dengan kedua tangannya. Lia menoleh heran, keningnya berkerut.
“Kau lucu sekali, Ia,” ucapnya lalu kembali tertawa.
“Kau tahu? Sejak Hilal pergi entah kemana. Aku sungguh merasa senang karena dia tak mengganggu kita lagi saat belajar di Surau.” jelasnya masih diiringi tawa.
“Dasar kau! Aku merasa tertuduh. Karena sebelum pulang dari rantau dia menghubungiku. Namun, aku mengindahkannya—” keluh Lia. Raut wajahnya berubah sayu.
“Sudah kuduga, aku yakin Hilal menyukaimu Lia.” terang Dian tanpa ragu. Ia masih terkekeh melihat kejadian tadi.
“Ah ya, by the way. Sampai kapan kau akan di rumah, Lia?,” tanya Dian mengalihkan pembahasan. Mereka pulang dari rantau sebulan sebelum bulan Ramadhan tiba. Biasanya akan kembali ketika sudah sepuluh Ramadhan. Bahkan Dian bisa lebih cepat, karena pondoknya mengejar kegiatan diklat.
“Masih belum tahu, inginnya lebih lama. Namun, jadwal kuliah tidak libur, jadi aku akan berangkat lebih awal, mungkin,” jawabnya sambil meminum kopinya yang sisa setengah.
“Bagaimana denganmu, Ian?,” tanya Lia kepada Dian yang terlihat gusar dan bingung.
“Harusnya sepuluh Ramadhan harus sudah di pondok.” jelasnya tak setuju
“Memangnya kau tahu kapan satu Ramadhan tiba?,” kening Dian mengekerut dan menatap Lia.
Lia hanya terkekeh mengedikan kedua bahunya, lalu meraih ponsel gusar yang tergeletak di meja kirinya.
“Sebentar, siapa tahu masih ada nomornya. Akan ku coba hubungi dia lagi,” ucapnya sambil memencet layar handphone dengan cepat.
“Siapa yang kau hubungi Lia?,” tanya Dian tak percaya. Padahal sudah tahu
“Hilal—“ jawab Lia polos menoleh pada sahabatnya. Dian terbahak sambil memukul meja kafe.
“Aku rasa ini akan berhasil, karena dia Hilal. Mungkin dia akan tahu.” jelasnya kemudian melanjutkan aktivitas mengetiknya. Sementara Dian, tambah terpingkal-pingkal akibat perbuatan sahabatnya.
*****
- Saat Hujan Turun di Sore hari - 10 Juni 2023
- Menemukan Rumah - 13 Mei 2023
- Hilal Samar-Samar - 21 Maret 2023