
Belakangan ini sebuah kota sedang dibuat gempar oleh kejadian aneh yang terjadi begitu sering dalam satu bulan terkahir. Dalam satu malam, dua sampai tiga gadis bisa tiba-tiba hilang begitu saja. Belum ada penjelasan terkait semua ini. Namun, pemerintah menduga itu ulah penculik anak yang kerap dijual organ dalamnya.
Kepanikan melebar ke penjuru kota dengan cepat, bagai angin yang bertiup di celah-celah kegelapan malam. Orang tua menjadi was-was tiap kali anak-anak mereka berangkat sekolah. Bahkan, setelah sebulan kejadian itu, sekolah mendadak ditutup demi keamanan semuanya.
Berdasar kabar dari orang-orang yang selamat—mereka yang lari sebelum tertangkap, mengatakan jika sebelum gadis-gadis itu hilang, mereka sempat didatangi oleh seorang lelaki tua berwajah aneh. Sayangnya yang selamat pun tetap tertangkap pada waktunya.
Malam ini, Hana gadis berambut cokelat sepunggung dengan mata bulat besar merencanakan sesuatu bersama kedua temannya. Gadis itu tidak khawatir pada isu-isu yang merebak, tapi malah ingin memergokinya penculikan itu dengan matanya sendiri.
“Sesuai rencana,” kata Hana kepada Alin dan Nico. “Aku dan Alin akan berjalan lebih dulu menuju gang di belakang sekolah. Sementara Nico menunggu seseorang yang kita curiga muncul.”
Alin tampak resah dengan rencana Hana. Gadis kepang dua itu menggosok ujung sikutnya beberapa kali. “Begini, Hana,” katanya nyaring. “Aku setuju saja jika kita memergoki orang aneh itu. Selanjutnya apa? Itu berbahaya sekali.”
“Setelah kita tahu pelakunya, kita bisa melaporkan itu kepada pihak berwajib.”
Nico, gadis berambut sebahu bermata teduh hanya mendengarkan sambil menaruh kedua tangannya di dada. Gadis dingin pendiam itu biasanya setuju saja kepada Hana.
Seperti wabah yang sudah menggerogoti kota, area belakang sekolah benar-benar sepi menjelang sore. Ketiga gadis itu berdiri di dekat pohon ketapang kencana di samping sungai sambil masih membahas rencananya.
Setelah Hana meyakinkan Alin bahwa semuanya akan baik-baik saja, akhirnya mereka menjalankan rencana itu secepatnya. Sesuai kesepakatan, Alin berjalan bersama Hana.
Hari semakin gelap ketika mereka mencapai mulut gang. Kegelapan menyeruak dari pilar-pilar lampu jalan yang ada di antara dua bangunan tinggi. Alin tiba-tiba saja merasa ada sesuatu yang sedang menunggu mereka di ujung gang.
Langkah kaki mereka bergema di lorong yang gelap. Setiap detik, Alin merasa ada ribuan mata sedang berkedip menatapnya.
Kesunyian kota menambah kesan mengerikan yang semenjak tadi menggerogoti bulu kuduk. Di belakang Hana, Alin mengepal sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Namun, tidak ada apa pun selama mereka memasuki gang gelap itu.
Sementara kedua temannya melancarkan rencana, Nico justru berdiri mengamati dari belakang. Akan tetapi, siapa yang menyangka jika lelaki tua berwajah aneh itu malah datang ke arahnya secara tiba-tiba. Nico tidak sempat menjerit kaget saat secara mendadak dibekap dari belakang dan dibawa ke kegalapan.
Sekembalinya Hana dan Alin, mereka mendapati tempat itu kosong. Awalnya Hana berpikir jika Nico bersembunyi karena takut ketahuan. Akan tetapi, ketika dia memanggil-manggil namanya tanpa ada seorang pun menyahut, mendadak darahnya berdesir panas. Nico diculik!
Dua hari semenjak hilangnya Nico, Hana tidak keluar kamar sama sekali. Dia begitu merasa bersalah atas kejadian itu. Gadis itu menangis terus-menerus di kamarnya. Alin sampai tidak tahu lagi harus bagaimana membujuk Hana agar mau keluar kamar.
Alin sama sedihnya dengan Hana, tapi dia tidak seterpuruk itu karena rencana memergoki orang tua aneh itu adalah ide Hana.
Hari-hari berlalu dan Nico masih belum ditemukan. Orang tua Nico menyalahkan Hana karena terakhir kali Nico keluar rumah untuk pamit ke rumahnya. Depresi sudah pasti dan Hana berniat untuk menemui lelaki aneh itu lagi.
Suatu hari, Hana dan Alin mendapat surat dari seseorang misterius. Hana disuruh datang ke sebuah tempat jika ingin Nico kembali tanpa kehilangan satu organ tubuh pun. Berdasarkan rasa bersalah, Hana menyetujui isi surat itu dan datang ke tempat terakhir Nico hilang.
Hana sampai harus melarikan diri dari rumah karena penjagaan yang ketat orang tuanya.
Di gang belakang sekolah dia bertemu seorang kakek berwajah aneh. Dari dekat, lelaki itu tampak jauh mengerikan dengan mata heterocromia. Mata kanannya berwarna kuning dan mata kirinya biru cerah. Juling pula.
Lelaki tua itu menggigil seperti orang kedinginan. “Gadis-gadis cantik,” katanya dengan mulut penuh air liur. Jemarinya bergoyang-goyang di depan mulut.
“Apa yang kamu lakukan pada gadis-gadis di kota!” teriak Hana penuh emosi. Hanya dengan melihat wajahnya saja sudah membuat Hana marah.
Lelaki tua itu terkekeh-kekeh.
“Hana, ayo kembali. Aku merasa dia … gila,” bisik Alin.
“Katakan! Apa alasanmu menculik semua gadis di kota?”
Seolah-olah tidak bisa berbicara dengan benar, lelaki itu hanya mengulang tiga kata yang diucapkan sebelumnya.
Ketika lelaki tua itu berkedip, Hana dan Alin tidak ingat apa yang terjadi selanjutnya karena secara mendadak mereka pingsan begitu saja.
Hana terbangun hanya untuk mendapati dirinya diikat di sebuah kursi. Kaki dan tangannya dibungkus kain kelabu dekil. Ketika dia menoleh ke kiri, Alin dan Nico diikat dalam posisi yang sama dengannya. Alin tampak menangis sambil menghadap ke depan.
Di mana aku? kata Hana dalam hati.
Hana langsung mual ketika bau busuk menyeruak ke penciuamannya. Semua isi dalam perutnya keluar begitu saja saat dia melihat seorang gadis digantung terbalik sedang dikuliti oleh lelaki tua berwajah aneh itu.
Jerit demi jerit terdengar memilukan ketika ujung pisau menyayat kulit mereka dari pusar menuju tenggorokan. Darah mengalir deras melewati mulut dan mata. Hana ikut berteriak tertahan di balik mulutnya yang disumpal kain.
Seketika saja darahnya terasa panas. Ketakutan menyebar ke sekujur tubuh. Dia menangis, menjerit minta tolong.
Ternyata lelaki tua berwajah aneh itu tidak sendirian. Dia dibantu kedua asistennya yang juga berumur tua dan berwajah jelek.
“Lepaskan ikatannya,” ucap Si Heterocromia.
Ikatan pada kaki dan tangan gadis malang di dekat Nico dilepaskan, dibiarkan melarikan diri. Di papan, di hadapan mereka tertulis kalimat, “Carilah jalan keluar sebelum ajal mencari kalian.”
Gadis-gadis itu disuruh bermain kucing-kucingan. Beberapa yang mati dikuliti adalah mereka yang gagal dan tertangkap. Tampaknya, urutan melepaskan ikatan berdasarkan kapan mereka diculik. Semakin lama, gadis-gadis semakin banyak yang dilepaskan. Mereka berlarian ke lorong gelap dari bambu yang berdecit.
Ruangan penuh alat penyiksaan itu bau darah, membuat perut mual.
Seperginya gadis-gadis, dua asisten buruk rupa itu mengejar mereka di belakang dengan golok panjang yang diseret dengan suara memilukan. Jerit demi jerit terdengar ketika satu demi satu dari mereka tertangkap dan ditarik keluar dari kegelapan.
Hana menangis. Air matanya membanjiri pipi, membasahi sumpal di mulutnya yang dekil. Ketakutan merasuki kepalanya. Seluruh tubuhnya bergetar hebat ketika gadis-gadis malang itu diseret dan digantung untuk dikuliti.
Giliran Nico yang dilepaskan. Alin dan Hana menggeleng sambil menangis ketika melihat gadis berwajah dingin itu berdiri, lalu disuruh berlari ke balik lorong tanpa harapan. Ingin rasanya Hana melompat untuk menghentikannya. Namun, dia tidak bisa melakukan apa pun.
Nico berdiam diri sambil menunduk. Di belakangnya, Hana terus meronta sambil menjerit-jerit. Alin yang tidak kuasa melihat hal itu hanya bisa menangis sambil memejam. Ketakutan akan kematian membuatnya menyerah begitu saja.
“Gadis nakal,” kata Si Lelaki Tua bermata heterokromia. “Lepaskan dia! Biarkan dia mati lebih dulu!”
Hana dan Alin dilepaskan, lalu bergabung dengan gadis-gadis malang lainnya. Ketika si asisten berwajah tembem dengan luka bakar di pipinya berteriak, mereka semua melarikan diri ke dalam lorong.
Hana dan kedua temannya berlari sambil bergandengan tangan erat-erat. Mereka menemukan pertigaan. Dari dua arah, jalan yang akan mereka tuju penuh dengan darah dan berbau busuk.
“Hana,” kata Nico sambil menarik gadis itu untuk berhenti. “Tidak ada jalan keluar.”
Alin terus menangis. Sementara Hana hanya terdiam menahan rasa takut agar bisa berpikir dengan rasional.
Dari belakang, terdengar keriut kencang ketika lantai bambu itu diinjak oleh dua orang gendut yang semakin dekat. Darah mereka berdesir seketika.
Nico menggeleng. Dari dua arah pertigaan, gadis-gadis yang frustasi berlarian ke sana kemari. Apa yang dikatakan Nico benar, tempat itu tanpa jalan keluar. Mereka semua terjebak di sana. Dirancang untuk mati.
Hana tidak mau menyerah. Dia mengajak kedua temannya berlari ke arah kanan pertigaan, berusaha menjauh sejauh yang bisa mereka capai. Dada mereka berdegub kencang. Jantung seolah-olah dipompa ribuan kali lipat.
Ketika mencapai jalan buntu, saat itulah harapan mereka hilang. Dari kegelapan di belakang, tepat di lorong-lorong mengerikan, terdengar jerit demi jerit saat gadis-gadis malang itu tertangkap dan diseret.
Alin menangis, sementara Nico hanya berdiri dengan wajah tegang.
“Maafkan aku karena membuat kalian semua tertangkap,” kata Hana. Gadis itu meraih pundak kedua temannya, lalu memeluk mereka erat.
Harapan itu sudah hilang. Tidak mungkin lagi mereka bisa melarikan diri.
Lantai bambu berkeriut semakin kencang ketika jeritan-jeritan tidak terdengar lagi. Lelaki dalam gelap itu terkekeh-kekeh, seolah-olah merasa permainannya berada di atas angin. Tepat ketika dua lelaki itu mencapai jarak pandang Hana, salah satu dari mereka menyeringai dengan gigi kuning kehitaman.
“Kejutan!” kata si lelaki gendut berwajah luka bakar.
“Gadis-gadis cantik ini pasti memiliki lengkingan kesakitan yang menggairahkan,” ucap yang satunya sambil menjilat golok panjangnya.
Hana menggeleng, mencoba untuk tidak menangis lagi.
Satu-satunya hal yang bisa dilakukannya sekarang hanyalah menutup mata agar dia tidak perlu lagi membuka mata untuk melihat sesuatu yang mengerikan di hadapannya.
*
Jika sudi mengenalku lebih jauh, kalian bisa temukanku di Goodnovel, Innovel, wattpad dengan nama yang sama. Tidak perlu kuberitahu lagi, kan? YA, CASTORTWELVY.
Maaf, keceplosan. Semangat soalnya. He!
- Heterochromia - 31 Desember 2022