
Maskur kasihan melihat kehidupan putrinya, Fatia, yang berbalut kesunyian. Di rumah, anak semata wayangnya yang berusia tujuh tahun itu, hanya berkawan dan berbagi cerita dengannya. Tak ada yang lain, sebab istrinya telah lama meninggal.
Peliknya, Maskur tak mampu menghadirkan orang tuanya atau mertuanya untuk Fatia. Ayah-ibunya tinggal jauh di provinsi lain, sedangkan ayah-ibu almarhum istrinya tidak lagi menjalin komunikasi dengannya karena hubungan mereka yang tidak harmonis.
Upaya terbaik yang dilakukan Maskur adalah menemani Fatia di setiap waktu luangnya. Ia senantiasa menjadi sosok ayah, ibu, saudara, sekaligus teman bagi sang anak. Ia berharap, dengan begitu, sang anak tidak merasa terasing dan terkucilkan.
Namun Maskur sedikit tenang, sebab Fatia tampak senang-senang saja, seolah tak didera kesepian. Sang putri tetap ceria menjalani hari-harinya dengan mengawani orang-orang di sekitarnya, terutama teman sekolah dan teman sepermainannya.
Meski demikian, Maskur tetap khawatir. Bagaimanapun, ketiadaan orang-orang terdekat, bisa memengaruhi tumbuh kembang Fatia. Karena itu, ia berharap bisa kembali membaur dengan keluarganya dan keluarga almarhum istrinya demi sang anak, meski rasa-rasanya sulit.
Kekacauan hubungan antara Maskur dengan kedua keluarga besarnya tersebut, terjadi karena pernikahannya dengan almarhum istrinya. Dahulu, mereka ngotot menikah, meski orang tua mereka masing-masing tidak setuju, bahkan menentang.
Persoalan restu memang perkara yang pelik bagi pernikahan mereka. Orang tua Maskur tidak merestui karena istrinya berasal dari etnis yang berbeda, sedangkan orang tua istrinya tidak merestui karena sang istri telah dijodohkan dengan anak rekan bisnis mereka.
Tetapi demi cinta, Maskur dan sang pujaan hatinya memberanikan diri untuk melawan keadaan. Mereka berkeras menikah, meski tanpa persetujuan orang tua mereka. Dan untuk itu, mereka memutuskan menjauh dari keberadaan keluarga mereka masing-masing.
Akibatnya, kini, Maskur terpisah dari keluarganya dan keluarga istrinya. Ia hanya sesekali mengunjungi orang tuanya, sembari membawa Fatia. Di sisi lain, ia tak pernah lagi menemui mertuanya sepeninggal istrinya, sehingga sang anak tak mengenal mereka.
Maskur memang tak memiliki kekuatan batin untuk bertemu dengan mertuanya. Ia sadar bahwa mertuanya masih membencinya. Apalagi, sampai saat ini, mertuanya memang tak pernah memberi maaf atas tindakannya menikahi anak mereka.
Hingga akhirnya, kebencian mertuanya terhadap Maskur memuncak setelah istrinya meninggal. Mertuanya memvonis bahwa istrinya meninggal karena perkawinan mereka. Karena itu pula, mertuanya mencap Fatia sebagai anak pembawa petaka.
Tetapi Maskur tak pernah menceritakan soal itu kepada Fatia. Ia bahkan bertekad merahasiakannya selama-lamanya. Ia tak ingin sang anak dirundung kekalutan kalau mengetahui penyebab di balik kekacauan hubungan mereka dengan keluarga besar mereka.
Di tengah situasi itu, Maskur tak bisa apa-apa selain bersabar. Ia hanya berharap semoga waktu membuat kebencian mertuanya terhadap dirinya dan Fatia, jadi sirna. Ia hanya terus berupaya menjadi pengayom dan penghibur yang baik bagi sang anak.
Sampai akhirnya, hari ini, hari Minggu, tepat di hari ulang tahun Fatia yang ketujuh, Maskur mencoba memberikan penghiburan. Ia membawa sang anak ke keramaian, ke taman margasatwa. Ia ingin membuat sang anak bergembira ria di momen spesialnya.
Demi menyenangkan Fatia, Maskur pun berusaha tampil biasa. Ia berupaya terlihat antusias, meski hari ini bertepatan juga dengan hari dukacitanya yang menyesakkan perasaannya. Itu karena tepat pada tanggal dan bulan di hari ini pula, istrinya meninggal.
Dan akhirnya, setelah perjalanan sekian lama, Maskur dan Fatia tiba di tempat wisata. Dengan begitu saja, sang anak jadi senang menyaksikan tingkah hewan-hewan. Sang anak lantas bercengkerama riang dengan beberapa hewan dengan bahasa mereka masing-masing.
Setelah beberapa lama berlalu lalang mengunjungi hewan satu per satu, Maskur pun melihat anaknya tampak kelelahan. Sang anak hanya duduk dan menatap lesu pada gerombolan rusa di balik pagar kawat, seolah kehabisan daya untuk bermain-main dengan mereka.
“Kamu capai, Nak?” tanya Maskur kemudian.
Fatia melenguh. “Aku haus, Ayah.”
Maskur lantas mengusap-usap kepala sang anak. “Kalau begitu, tunggu di sini sebentar. Aku akan belikan sesuatu yang spesial untukmu.
Fatia pun mengangguk.
Dengan cepat, Maskur melangkah menuju ke sebuah kios. Ia ingin membeli sebotol air putih dan dua bungkus es krim tongkat rasa cokelat kesukaan Fatia. Ia berharap, dengan kado sederhana itu, sang anak makin bahagia di hari istimewanya.
Sesaat kemudian, setelah target belian berada di tangannya, Maskur lekas kembali. Namun seketika, ia terheran setelah ia tak melihat Fatia di posisi duduknya. Ia bahkan tak menjumpai sang anak setelah melayangkan pandangannya ke sana-sini.
Perlahan-lahan, ia jadi khawatir. Maskur takut kalau-kalau Fatia telah diperdaya orang jahat yang hendak mencelakainya. Karena itu, ia bergegas melangkah ke segala arah, sembari berharap kalau sang anak hanya berjalan-jalan ke sisi yang lain.
Sampai akhirnya, Maskur menjumpai Fatia tengah menyendiri di sebuah bangku, di depan toilet. Sang anak tampak tertunduk dan menangis. Maka dengan perasaan yang lega sekaligus heran, ia pun menghampiri sang anak dan lekas merangkulnya.
“Kamu kenapa, Nak?” tanya Maskur.
Fatia makin terisak.
“Kanapa, Nak? Apa yang terjadi?” selidik Maskur.
Dengan sikap yang lemah, Fatia lantas mengangkat wajahnya yang basah. “Tadi, ada ibu-ibu yang marah-marah kepadaku, Ayah.”
Seketika, Maskur terkejut dan penasaran. “Siapa, Nak? Kanapa dia memarahimu?”
Fatia lantas menggeleng. “Aku tidak mengenalnya, Ayah. Ia lalu menyeka air matanya, kemudian menguraikan, Tiba-tiba saja, ia menghampiriku dan mengatakan kalau Ayah memanggilku ke sini. Tetapi ternyata, ia malah menarikku ke dalam toilet dan memarah-marahiku. Katanya, aku ini anak haram. Katanya lagi, aku telah membunuh ibuku.”
Sontak, Maskur terperanjat. Perlahan-lahan, ia mulai membaca sosok penghardik itu. “Ciri-ciri perempuan itu seperti apa, Nak?” selisik Maskur, mencari jawaban untuk membenarkan terkaannya.
“Tubuhnya kurus dan tinggi, rambutnya keriting, dan ada tompel pipi kanannya, Ayah,” terang Fatia.
Akhirnya, Maskur meyakini bahwa perempuan itu adalah ibu mertuanya. Seseorang yang tidak merestui pernikahannya dan terus-menerus menyalahkannya atas kematian istrinya setelah melahirkan Fatia.
Maskur kemudian memeluk sang anak. “Tenanglah, Nak. Yang penting, sekarang kau baik-baik saja.”
Perlahan-lahan, tangis Fatia mereda.
Sesaat berselang, Maskur lantas menggandeng tangan Fatia untuk beranjak pulang, tanpa mengatakan apa-apa perihal sosok ibu mertuanya, juga perihal kebenaran yang telah sang ibu mertua ungkapkan kepada sang anak.
***
- Hari Peringatan - 7 Februari 2022