Gus Dur dan Ikhwanul Muslimin

Gambar: Gus Dur

Gus Dur merupakan sosok yang cerdas, enerjik, dan humoris, serta memiliki pengaruh besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai sosok yang memiliki hubungan keturunan “darah biru” putra sekaligus cucu ulama besar pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Gus Dur sejak kecil sudah hidup di lingungan Pondok Pesantren, hingga ia besar banyak menempuh pendidikan di berbagai pondok pesantren seperti di Ponpes Krapyak Yogyakarta asuhan KH. Maksum Krapyak. Setelah di Krapyak, Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pondok Pesantren Tegalrejo Magelang asuhan KH. Chudlori, setelah dua tahun menempuh pendidikan di Tegalrejo, Gus Dur kembali ke Jombang. Namun tidak kembali ke Tebuireng, melainkan ia menetap di Pondok Pesantren Tambak Beras asuhan pamannya yaitu KH. Abdul Fatah. Di Tambak Beras, Gus Dur menjadi seorang ustadz (pengajar) sekaligus ketua keamanan di pesantren tersebut.

Saat dari Tambak Beras, Gus Dur yang saat itu berusia 22 tahun berangkat menunaikan ibadah haji sekaligus melanjutkan belajar di Universitas Al-Azhar di Mesir. Meskipun Gus Dur merasa kecewa karena saat itu tidak bisa langsung menempuh belajar di salah satu Universitas terkemuka di Mesir, karena harus masuk Madrasah Aliyah terlebih dahulu sebagai persyaratan. Meski demikian, tidak menyurutkan semangat Gus Dur dalam mencari ilmu. Gus Dur tetap banyak mengeksplor pengetahuan dan pengalaman baru dengan banyak melakukan kegiatan di luar kampus, seperti berziarah ke makam para wali. Salah satunya makam Syeikh Abdul Qadir Jaelani, pendiri Jamaah Tarekat Qadiriyah dan Gus Dur pun banyak mendalami ajaran Imam Junaid Al-Baghdadi yang merupakan pendiri aliran tassawuf yang banyak diikuti oleh jamaah NU.

Sebenarnya Gus Dur sering mengeksplor pengetahuan dan pengalaman diluar kegiatan formalnya, seperti banyak mengkonsumsi buku-buku berbahasa asing. Sejak kecil Gus Dur sangat gemar membaca hingga usia belasan sampai 20-an tahun. Minat baca Gus Dur meluas dan meningkat ke berbagai jenis bacaan seperti ideologi, sastra, agama, teori sosial, dan filsafat. Sehingga menurut salah satu sumber mengatakan bahwa hasil konsumsi bacaan Gus Dur saat ia duduk di bangku kelas 3 SMP itu sudah setara dengan seorang magister (S2). Dari kegemarannya mempelajari dan mengeksplor pengetahuan serta pengalaman baru, sejak kecil hingga ia menempuh pembelajaran di Universitas terdapat satu hal yang cukup “mengejutkan”. Saya berikan tanda petik pada kata “mengejutkan” karena hal ini mungkin tidak banyak diketahui para GUSDURian, para pengagum Gus Dur, termasuk penulis. Bahwa Gus Dur muda saat menempuh pendidikan di Mesir ia pernah jatuh hati dan menjadi simpatisan Ikhwanul Muslimin (IM).

Gus Dur yang saat itu berusia muda sedang mengalami fase krisis identitas ketika ingin merumuskan peran dan posisinya. Dimana Gus Dur muda mencari sekaligus mempertanyakan banyak hal. Saat itu ia terpesona dengan Marxisme, namun ia terganggu dengan peran antagonisme ideology itu terhadap agama dan penerapannya yang cenderung dogmatis di berbagai tempat. Meski ia menyadari bahwa marxisme melalui variannya (yaitu sosialisme), saat itu banyak digemari kalangan muslim yang aktif dalam gelanggang politik. Meski memang dalam penerapannya terdapat penyederhanaan dalam analisis sosialnya.

Ditengah fase inilah Gus Dur mencoba kembali melihat Islam dan berharap bisa menemukan jawaban atas keresahannya terkait kemiskinan, ketidakadilan, dan ketertindasan. Akhirnya, ia menyelami karya-karya intelektual muslim setelah perang dunia ke II, diantaranya Sayyid Qutub, Said Ramadhan, dan Hassan Al Banna. Ia juga menyelami gagasan Ikhwanul Muslimin, organisasi Islam terkemuka di dunia, tempat para pemikir itu bertengger. Kemudian atas anjuran pamannya, Aziz Bisri yang juga mengagumi IM, akhirnya Gus Dur berniat mendirikan IM cabang Indonesia pada tahun 1962.

Sebenarnya tidak ada yang aneh dari perjalanan Gus Dur ini. Sebab, memang selalu ada momen di mana seorang santri muda terpukau bahkan antusias pada gagasan-gagasan islamisme.  Menurut Hairus Salim dalam salah satu bukunya; “Retorika mereka (IM) yang sederhana, lugas, provokatif, dan langsung menunjuk siapa musuh dan siapa teman, apa masalah dan bagaimana penyelesaiannya, hitam putih, bisa menyelinap dengan mulus ke dalam hati anak muda muslim.” Seorang cendikiawan muda seperti Gus Dur yang sudah lama banyak mengkonsumsi bacaan-bacaan ilmu sosial dan filsafat sekali pun tak lepas dari pengaruh tersebut.

Penulis sebenarnya masih bertanya-tanya bagaimana gagasan IM bisa sampai pada Gus Dur. Greg Barton, seorang yang juga menuliskan hal ini, tidak menjelaskan bagaimana gagasan IM bisa sampai ke pikiran Gus Dur muda. Menurut Hairus Salim, apakah Gusdur membaca karya-karya Sayyid Qutub dalam bahasa Arab atau terjemahan bahasa Indonesia, sampai saat ini penulis juga belum menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Yang pasti, kehadiran mahasiswa Indonesia yang menempuh studi di Mesir membuat pemikiran-pemikiran dari Mesir (termasuk Ikhwanul Muslimin) sampai ke Indonesia.

Saat Gus Dur berusia 23 tahun, tepatnya November 1963. Gus Dur kembali terbang ke Mesir untuk melanjutkan studinya. Akhirnya niat mendirikan IM cabang Indonesia mau tidak mau harus ditunda. Di sisi lain ini menjadi momen yang bagus, karena menjadi jeda untuk Gus Dur dapat mematangkan idenya. Di mana kekakugaman Gus Dur terhadap IM akan dapat tersalurkan sepenuhnya di Mesir, tempat di mana IM berdiri dan tumbuh. Calon pemimpin IM cabang Indonesia akan langsung digodok dan digembleng di negeri pusat organisasi ini. Dan pendirian IM cabang Indonesia benar-benar tinggal menunggu waktu.

Namun momen inilah yang cukup menarik. Ternyata Ikhwanul Muslimin hanya sebuah “pelabuhan” bagi Gus Dur. Sebuah tempat persinggahan singkat sebelum Gus Dur melakukan pengembaraan lebih lanjut. Nyatanya, Gus Dur tetap merasa belum puas dan belum menemukan apapun di “pelabuhan” itu. Ia tetap haus dan terus mengeksplor pengetahuan dan pengalaman serta selalu siap meninjau ide-ide lamanya.

Umar Ma'ruf