Gas LPG 3 Kilogram Tidak Jadi Diganti, Masyarakat Patut Bersenang Hati

Ilustrasi: Nyarita.com
Ilustrasi: Nyarita.com

Saya, selaku warga miskin yang masih mengandalkan subsidi untuk bertahan hidup, sangat bersyukur setelah dipastikan rencana pemerintah akan mengkonversi gas LPG 3 kg menjadi kompor listrik akhirnya dibatalkan.

Sebelumnya, gas LPG 3 kg rencananya akan dikonversi menjadi kompor listrik. Artinya, penggunaan gas untuk kaum miskin ini akan dihapuskan, dirubah menjadi kompor listrik yang kapasitasnya adalah 1000 watt.

Sama halnya dengan BBM, sembako dan benda-benda sejenisnya yang menjadi konsumsi masyarakat, listrik merupakan salah satu kebutuhan masyarakat yang seringkali tarifnya mudah naik tetapi sulit untuk turun. Jika semua kompor gas masyarakat miskin sudah diganti menjadi kompor listrik, adakah jaminan untuk tarif listrik tidak akan mengalami kenaikan?

Wacana yang sudah sempat dilakukan percobaannya untuk beberapa wilayah di Indonesia ini menuai banyak protes karena dianggap terlalu memaksakan. Hal ini disebabkan banyak warga miskin di Indonesia masih menggunakan daya listrik 450 VA, tentu saja untuk perangkat elektronik yang berkapasitas 1000 watt pasti akan terhambat karena memakan daya yang sangat besar.

Dengan daya yang saat ini di konsumsi oleh masyarakat miskin, nantinya ketika memasak menggunakan kompor listrik, ibu-ibu (dan mungkin bapak-bapak juga), hanya akan bisa menyalakan kompor saja, tidak bisa sambil nyetrika dan nonton siaran drama penuh air mata “KU MENANGIS” yang tayang di stasiun TV swasta Indosiar hampir setiap saat itu. Hal itu disebabkan karena daya listrik hanya terserap atau terpusat pada satu perangkat listrik saja, yaitu kompor listrik tadi itu. Jika dipaksakan maka resikonya adalah akan konslet karena over kapasitas.

Salah satu alasannya kenapa pemerintah ngebet banget ingin kompor listrik bisa nongkrong di setiap dapur para warga Indonesia, (menurut mereka) adalah karena memasak dengan kompor listrik bisa menghemat urusan biaya dapur, karena cara memasaknya lebih efisien dan tidak butuh waktu lama. Sementara dengan menggunakan bahan bakar gas masih dianggap boros. Mungkin durasi memasak bisa dipersingkat dengan kompor listrik ini, tetapi bukankah biaya akan membengkak dari segi tagihan listrik, karena seperti yang sudah disebutkan tadi, kapasitas kompor yang akan dibagikan gratis ini adalah 1000 watt.

Salah dua alasan kenapa pemerintah ingin mengganti kompor gas menjadi kompor listrik adalah karena PLN sedang mengalami kelebihan daya listrik. Hal itu disebabkan kontrak jual-beli PLN dengan produsen swasta (Independent Power Producer/IPP), menggunakan sistem dipakai atau tidak dipakai, listrik yang diproduksi IPP harus tetap dibayar full alias penuh. Jadi, dengan kata lain, PLN memindahkan beban pembayaran pembelian listrik yang tidak digunakan ini kepada kita selaku rakyat kecil.

Seharusnya pemerintah memikirkan dampak para pedagang kecil yang berkeliling menggunakan kompor gas, pedagang bakso, misalnya. Apakah mereka harus bersusah payah membawa genset setiap kali berkeliling menjajakan jualannya?

Maaf pemerintah yang terhormat. Kami sudah lelah dengan perubahan-perubahan yang tidak memihak kepada kami. Bagaimana jadinya jika setelah kompor listrik disebarkan ke seluruh rakyat Indonesia dan ternyata kemudian PLN banyak melakukan pemadaman secara bergiliran seperti yang selama ini biasa dilakukan, dan biasanya durasinya bisa mencapai berjam-jam? Apakah kami harus menahan lapar sampai aliran listrik kembali lancar?

Semoga wacana-wacana seperti ini tidak pernah lagi dicetuskan oleh para pejabat pemerintah di sana dan ke depannya nanti mereka dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang lebih berpihak kepada rakyat, tidak hanya melulu memikirkan pribadi maupun kepentingan golongannya sendiri. Atau jangan sampai pemerintah melihat rakyat sebagai ladang subur yang sangat menggiurkan untuk kepentingan bisnis yang berkedok kebijakan-kebijakan tertentu.

Latatu Nandemar