Setop Ekspor Minerba Mentah-Mentah, Kesiapannya Masih Mentah?

Sumber Gambar: Pexels.com/Pixabay.com
Sumber Gambar: Pexels.com/Pixabay.com

Awal tahun 2023 menjadi awal tahun yang memiliki cukup banyak hal-hal yang ditunggu. Dalam hal ini, terutama pada segi kebijakan pemerintah di tahun terakhirnya, sebelum nanti habis masa jabatan. Pemerintahan yang dipimpin oleh Jokowi Dodo, kembali menarik perhatian. Kali ini, terkait soal kegiatan ekspor.
Tepat pada satu bulan sebelumnya, yakni di akhir tahun 2022, tepatnya pada 3 Desember 2022. Presiden Jokowi Dodo mengungkapkan bahwa usaha pemerintah untuk melakukan pemberhentian ekspor masih akan terus dilakukan. Dalam hal ini, Jokowi mengungkapkan bahwa elemen-elemen yang dilarang untuk diekspor tersebut diantaranya adalah nikel, tembaga, hingga bauksit.
Elemen-elemen tadi merupakan bahan mentah yang perlu diolah menjadi sesuatu yang menjanjikan di pasaran, bahkan di perdagangan iternasional. Hal itu yang kemudian mengundang banyak negara, terutama para anggota Uni Eropa untuk juga bisa mendapatkan bahan-bahan tersebut secara mentah dari Indonesia. Kegiatan ekspor bahan-bahan mentah tersebut dilaporkan beberapa sumber telah terjadi berpuluh tahun di Indonesia.
Dalam hal ini, beberapa bahan yang hendak diberhentikan kegiatan ekspornya termasuk pada bahan-bahan galian golongan A. Sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1980, bahwa Indonesia membagi bahan galian tambang pada 3 macam. Salah satu diantaranya yakni bahan galian golongan A, yang mana di dalamnya disebut sebagai bahan galian yang strategis. Bahan-bahan tersebut seperti minyak bumi, gas alam, bitumen cair, bitumen padat, lilin beku, batu bara, aspal, antrasit, uranium radium, nikel, kobalt, timah, atau thorium bahan galian radioaktif lainnya.
Kemudian pemerintah Indonesia melarang kegiatan ekspor bahan-bahan mentah tersebut bukan tanpa alasan. Seperti yang diungkapkan Jokowi baru-baru ini, tepatnya pada bulan lalu mengatakan pernyataannya terkait hal ini yang dipostingnya dalam postingan akun resmi instagram miliknya. Jokowi Dodo mengungkapkan, “Kita memiliki nikel, memiliki tembaga, memiliki bauksit, memiliki timah, dan potensi kita ini gede sekali. Mau kita lanjutkan, ekspor bahan mentah?”
Pernyataan tadi menunjukan bahwa Jokowi memberikan pengertian serta menjadikan alasan mengapa Indonesia perlu melakukan pelarangan ekspor bahan-bahan yang masih mentah. Sebab dalam hal ini, Jokowi mengungkapkan bahwa dengan bahan-bahan yang diperlukan oleh dunia saat ini dan dimiliki oleh Indonesia merupakan sebuah potensi besar bagi kemajuan ekonomi di Indonesia.
Tak cukup sampai di sana, Jokowi Dodo juga menambahkan bahwa, “Hati-hati, dulu zaman VOC, zaman kompeni, itu ada yang namanya kerja paksa, ada yang namanya tanam paksa. Zaman modern ini muncul lagi, ekspor paksa. Ekspor paksa, kita dipaksa untuk ekspor. Loh, ini barang kita, kok. Memang, saya sampaikan kemarin bahwa kita kalah. Tapi apakah kita langsung mau berhenti saja, enggak. Saya sampaikan pada Menteri, banding. Karena ini ceritanya belum rampung kalau kita berhenti. Ya, ekosistem besar yang kita impikan ini gak akan muncul, seperti chip dan komponen digital.”
Dari pernyataan di atas, Jokowi memberikan isyarat serta pengertian pada masyarakat bahwa hal ini merupakan upaya untuk peningkatan ekosistem besar yang diimpikan oleh Indonesia sejak lama. Dalam hal ini, Jokowi juga menambahkan secara berani bahwa Indonesia tak boleh kembali mau dijajah paksa begitu saja dalam hal ekspor. Meski pada kenyataannya, pada awal tahun 2021 lalu, negara-negara Uni Eropa sebagai importir dari bahan-bahan mentah tersebut akhirnya menggugat Indonesia pada World Trade Organization (WTO).
Gugatan mereka menyusul adanya pemberhentian ekspor bahan mentah dari Indonesia yang telah resmi diberlakukan oleh pemerintah sejak Januari tahun 2020 lalu. Kemudian, pada Januari 2022 ini kita semua tahu berkat informasi yang dikabarkan oleh Jokowi Dodo, bahwa Indonesia akhirnya kalah dalam gugatan tersebut. Meski demikian, pemerintah tak mau berhenti sampai di situ saja. Sesuai dengan apa yang diungkapkan Jokowi di atas menunjukan bahwa upaya pemerintah untuk pemberhentian ekspor bahan mentah itu akan terus dilakukan. Salah satunya adalah mengajukan kembali banding pada WTO agar Indonesia secara resmi dapat melarang seluruh kegiatan ekspor bahan-bahan mentah.
Apabila ditinjau dari segi keuntungan, apakah kegiatan ekspor bahan mentah yang diberhentikan pemerintah ini dapat memberikan sebuah keuntungan bagi Indonesia? Menurut penuturan Jokowi dalam sebuah kesempatan yang lain menyatakan bahwa, “7 tahun lalu kita ekspor nikel bahan mentah kira-kira Rp. 15 – Rp. 20 Triliun. Karena telah kita setop dan muncul industrial down streaming, hilirisasi, industrialisasi, 2021 kemarin ekspor kita karena sudah setengah jadi dan jadi, menjadi 20,8 miliar US dollar. Artinya, dari Rp. 15 Triliun kita melompat kurang lebih Rp. 300 Triuliun.”
Tak hanya itu, sesuai laporan m.kbr.id, Jokowi juga mengungkapkan keuntungan lain yang akan didapat Indonesia bila melakukan pelarangan ekspor bahan mentah. Keuntungan tersebut diantaranya seperti terbukanya lapangan pekerjaan, pemungutan pajak ekspor, hingga dapat mempengaruhi masuknya investasi dari para investor ke Indonesia.
Dari pernyataan Jokowi di atas menunjukan bahwa tujuan pemerintah melarang ekspor bahan mentah adalah untuk meraup banyak keuntungan dari sumber daya alam yang dimiliki. Karena sesuai dengan catatan data statistik yang menghitung bahwa Indonesia adalah negara nomor satu sebagai negara yang memiliki cadangan bijih nikel paling banyak di dunia. Tak hanya itu, bahan lain seperti timah juga berada di urutan ke dua di dunia. Begitupun dengan tembaga yang menempati urutan ke tujuh di dunia.
Sedangkan bila melihat pada sumber lain, sesuai dengan Undang-Undang No 3 Tahun 2020 yang merubah Undang-Undang No 4 Tahun 2009. Pada bidang Pertambangan Mineral dan Batubara mengatakan bahwa Indonesia perlu melarang ekspor bahan mentah. Sebagaimana juga disampaikan dalam tujuan undang-undang tersebut mengatakan hal itu dilakukan untuk mendorong hilirisasi. Proses hilirisasi ini yang kemudian dapat menjadi kunci upaya pengoptimalan dari produk-produk pertambangan.
Tak hanya itu, nantinya hilirisasi ini juga dapat menjadi lubang pendapatan baru bagi Indonesia selain dari pendapatan pajak dan batubara. Ditambah lagi, secara jangka panjangnya hilirisasi ini diharapkan dapat melahirkan produksi secara turunan dari bahan mentah seperti nikel. Contohnya seperti nikel yang dapat memproduksi baja, panci, hingga sendok. Setelah itu, berkat peralihan teknologi dan lahirnya usaha kecil menengah di tengah masyarakat, maka akan dapat menciptakan kesejahteraan bagi rakyat.
Bahkan, hal ini juga termaktub dalam pasal 33 UUD 1945, yang menyatakan bahwa sumber daya alam harus digunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Dengan dihentikannya ekspor bijih nikel, nantinya akan dibangun industri-industri pengolahan bijih nikel yang dapat menjadi komoditas bernilai tinggi seperti feronikel yang nilai tambahnya 14 kali dari bijih nikel atau billet stainless steel yang nilai tambahnya 19 kali.

Berangkat dari upaya pemerintah sejak dua tahun lalu yang kini menyita perhatian dunia tersebut, dapat kita ambil kembali sebuah pertanyaan terkait peluang Indonesia pada banding di WTO nanti. Sebab dalam hal ini, sering sekali Indonesia kalah dalam banding yang dilakukan untuk pelarangan ekspor atau impor dalam forum WTO.
Seperti juga diungkapkan oleh Jokowi Dodo pada kesempatan yang sama di bulan lalu, dirinya menyatakan bahwa Indonesia sering kalah dan tak boleh menyerah dalam hal ini. Usaha pemerintah untuk setop ekspor bahan mentah harus terus diupayakan agar sesegera mungkin dapat menjadi negara maju. Ungkapan tersebut justru memberikan sebuah kenyataan bahwa perlu adanya penelitian serta evaluasi lebih lanjut terkait aturan yang perlu dipenuhi oleh Indonesia agar banding mendapat kemenangan serta gugatan yang dilayangkan dapat dikalahkan.
Meski demikian, upaya pemerintah dalam hal ini bukanlah sebuah upaya sia-sia. Karena pada kenyataannya, memang dari segi pendapatan nantinya Indonesia dapat meraup keuntungan yang besar. Ditambah lagi, pelarangan ekspor bahan mentah ini juga untuk menghindari dampak dari dinamika perekonomian dunia yang diakibatkan oleh perang dagang antara dua negara adidaya, yakni China dan Amerika.
Terbukti, pada tahun 2019 lalu Lembaga Internasional World Bank, International Monetary Fund (IMF), dan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) telah melakukan penurunan proyeksi ekonomi dunia. Yang mana bila dirincikan, World Bank menurunkan proyeksi dari 3% menjadi 2,9%, sementara IMF menurunkan dari 3,7% menjadi 3,5%, dan OECD menurunkan dari 3,6% menjadi 3,3%.
Hal itulah yang kemudian juga mendorong pemerintah untuk melakukan pelarangan ekspor bahan mentah agar dapat memberikan stabilitas perekonomian dalam negeri. Sebab berkat perang dagang tersebut pula, suku bunga negara-negara maju jadi meningkat, menyebabkan proyeksi pertumbuhan ekonomi turun, yang kemudian menurunkan permintaan agregrat dan harga-harga global.

Selanjutnya, hambatan-hambatan yang diterima Indonesia dalam upaya pemberhentian ekspor bahan mentah yang didapatkan berkat gugatan-gugatan yang dilayangkan pada WTO merupakan salah satu hambatan yang paling menjengkelkan. Namun, memang itu buktinya bahwa sebagai negara berkembang, Indonesia akan banyak menelan kekalahan dalam forum-forum organisasi internasional seperti WTO ini.

Meski demikian, kita tak bisa menampikan sebuah kenyataan bahwa WTO memiliki pengaruh besar atas penolakannya tersebut bagi Indonesia. Sebagai sebuah organisasi Internasional yang mengawasi, mengoperasikan, serta membantu jalannya sebuah perdagangan internasional,WTO memiliki kewenangan besar bagi seluruh keputusan serta kesepakatan yang akan diterima oleh setiap negara guna menyikapi setiap polemik terkait perdagangan internasional.

Dalam hal ini, sebuah kesepakatan yang dicapai dalam forum WTO yang di dalamnya berisikan kurang lebih 164 negara yang bergabung menjadi sebuah acuan untuk pengambilan keputusan. Hal itu berarti, sebuah keputusan akan sangat dipengaruhi oleh persetujuan serta penolakan dari negara-negara yang tergabung di sana.

Bila melihat pada status tersebut, bisa jadi peluang Indonesia untuk memenangkan banding juga cukup kecil. Sebab pada akhirnya, negara-negara maju yang berisikan negara-negara Uni Eropa terus menerus mengajukan gugatan bila Indonesia sebagai salah satu negara berkembang di forum tersebut melakukan sebuah kebijakan yang dapat merugikan mereka. Karena tentu, dalam pelarangan ekspor bahan mentah tersebut para negara dari Uni Eropa merasa dirugikan. Pasalnya, nantinya mereka hanya akan mendapatkan barang yang harus kembali diolah di negaranya dengan harga yang sama, serta ditambah harus mengeluarkan biaya pengolahan lagi nantinya. Hal itulah yang kemudian, menjadi sebuah kenyataan bahwa sebuah upaya besar ini perlu memiliki banyak pertimbangan serta evaluasi besar dan aksi yang nyata agar dapat mendorong peluang yang lebih besar untuk mencapai kemenangan.

Tak hanya itu, bergabungnya Indonesia dalam forum perdagangan Internasional tak selalu menguntungkan. Justru dalam hal ini, Indonesia yang masih berstatus sebagai negara berkembang. Yang mana dalam sebuah organisasi yang membahas akan kesepakatan-kesepakatan yang ada pada dunia dagang internasional membuat banyak hal terkait peningkatan perdagangan global tak begitu berpengaruh bagi kesejahteraan rakyat negara-negara berkembang. Justru sebaliknya, sering kali ketika grafik perdagangan tengah naik ataupun turun, negara-negara berkembang hanya akan jadi negara yang paling tersiksa.

Kemudian, hingga kini telah terbukti sebuah fakta baru bahwa kemerosotan semakin terjadi menimpa negara-negara berkembang, karena banyaknya aturan serta sanksi yang dikenakan melalui forum tersebut. Belum lagi masalah kegiatan penjualannya. Negara berkembang hanya akan menjadi badut dalam forum tersebut. Sebab penjualan dari negara-negara berkembang justru sulit menembus pasar dunia. Sebaliknya, negara-negara maju juga memberikan kesan yang semakin menyulitkan seperti praktik hambatan non-tarif, standarisasi produk yang begitu sulit untuk ditembus, hingga penyeleksian kualitas barang dari segi kesehatan, kebersihan, dan lain sebagainya yang begitu menyulitkan.

Tetapi semua itu akan terbantahkan kembali ketika menyadari bahwa Indonesia memang memiliki kepentingan untuk tergabung dalam forum perdagangan internasional ini. Paling tidak, bergabungnya Indonesia dalam forum perdagangan internasional ini bertujuan untuk mendorong perekonomian skala nasional, serta diharapkan dapat menjadi solusi pengentasan kemiskinan.
Dalam kaitan ini, untuk memperkuat posisi runding, Indonesia bergabung dengan beberapa koalisi. Koalisi-koalisi tersebut antara lain G-33, G-20, NAMA-11, yang kurang lebih memiliki kepentingan yang sama. Indonesia terlibat aktif dalam kelompok-kelompok tersebut dalam merumuskan posisi bersama yang mengedepankan pencapaian development objectives dari Doha Development Agenda (DDA). Indonesia juga senantiasa terlibat aktif di isu-isu yang menjadi kepentingan utama Indonesia, seperti pembangunan, kekayaan intelektual, lingkungan hidup, dan perdagangan multilateral.
Kembali beralih untuk sesekali melihat peluang terkait banding dari gugatan-gugatan yang diajukan, ada salah satu hal yang paling fundamental yang ternyata perlu dibenahi dan dicukupi agar Indonesia memenangkan banding. Hal itu adalah adanya smelter yang cukup bagi pengolahan bahan-bahan mentah tadi, serta dengan smelter dapat juga dijalankan hilirisasi sesuai yang diharapkan.
Menurut penuturan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves), Luhut Pandjaitan terkait keberadaan smelter di Indonesia, dirinya menyatakan bahwa terdapat kurang lebih 21 smelter di Indonesia hingga saat ini. Dengan rincian 15 smelter nikel, 2 smelter bauksit, 2 smelter tembaga, 1 smelter mineral besi, dan 1 smelter mineral mangan.

Namun, melalui penuturannya pula Luhut mengatakan bahwa 7 dari jumlah smelter tersebut masih dalam perencanaan. Itu artinya, meski terdapat cukup banyak smelter di bidang nikel, faktanya kita kekurangan begitu banyak smelter bahan-bahan lainnya. Padahal smelter ini dianggap begitu penting jika suatu negara ingin membatasi kegiatan ekspor bahan mentahnya. Sebab smelter merupakan alat yang bisa membuat kegiatan smelting dapat dilakukan dengan baik. Dimana kegiatan smelting tersebut adalah kegiatan yang penting dalam proses pengolahan bahan-bahan mentah dalam dunia pertambangan.
Melalui proses smelting inilah nantinya sebuah logam murni dapat dipisahkan dari biji yang mengandungnya. Untuk melakukan hal ini diperlukan smelter agar pemisahan dapat dilakukan dengan baik. Tak hanya itu, pemisahan tersebut juga dilakukan melalui suhu yang melebihi titik lelehnya agar dapat benar-benar terpisah.
Kemudian, adanya smelter bagi negara penghasil bahan-bahan mentah mineral seperti nikel, tembaga, dan bauksit merupakan keharusan. Sebab dengan adanya smelter dan proses smeltingnya, maka hasil pertambangan pun jadi lebih memiliki nilai jual yang tinggi daripada sebelumnya. Tak hanya itu, dengan adanya proses ini dapat juga melahirkan lapangan pekerjaan yang baru bagi masyarakat. Bahkan dikatakan pula bila memiliki banyak smelter, maka perusahaan telah ikut secara faktual membantu perkembangan ekonomi daerah. Ditambah lagi, smelter juga dapat menarik banyak minat investor untuk melakukan investasi, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Hal tersebut bukan tanpa dasar bahwa kita perlu memiliki banyak smelter. Bahkan jikapun pemerintah tak melarang kegiatan ekspor bahan mentah sekalipun, smelter memang menjadi sebuah hal yang diamanatkan melalui undang-undang. Hal itu sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam ketentuannya, pemerintah bahkan mewajibkan adanya pembangunan smelter sebagai fasilitas pengolahan biji mineral.
Dikatakan pula bahwa minimnya jumlah smelter bagi negara yang hendak melarang kegiatan ekspor bahan mentah justru hanya akan menjadi sebuah blunder saja. Setidaknya terdapat beberapa implikasi kerugian yang justru akan didapatkan oleh Indonesia jika smelter masih saja dalam jumlah minim.
Pertama, seperti diketahui bahwa pendapatan negara dari kegiatan pertambangan melalui tiga hal, yakni dari penerimaan pajak (PPH), penerimaan bukan pajak (royalty pertambangan), dan deadrent (sewa lahan). Sedangkan jika produksi pertambangan minerba menurun akibat pelarangan ekspor bahan mentah tadi, maka potensi besar akan anjloknya penerimaan tiga hal tadi juga akan didapatkan. Kedua, karena adanya pelarangan ekpor bahan mentah serta minimya smelter di dalamnya, justru akan semakin mengurangi lapangan pekerjaan. Justru sebaliknya, banyak pekerja yang nantinya akan kehilangan pekerjaannya. Ketiga, terkait dari pelarangan ekspor bahan mentah juga akhirnya memberikan dampak pada defisit neraca perdagangan. Hal inilah yang nantinya akan sangat berdampak bagi penurunan nilai mata uang rupiah dalam kegiatan impor. Berkat tingginya biaya dari kegiatan impor akan sangat berpengaruh bagi barang-barang yang masih membutuhkan komponen-komponennya.
Keempat, berkat minimnya smelter juga justru akan melahirkan hambatan bagi tujuan hilirisasi. Kegiatan hilirisasi yang katanya akan menguntungkan bagi masyarakat justru selama ini seperti jalan di tempat. Bahkan hal itu masih saja tak ada perubahan sejak ditetapkannya aturan tentang smelter pada undang-undang di atas.
Dalam hal ini, hingga sekarang pemerintah dianggap masih belum bisa mencari jalan keluar untuk membuat Indonesia menjadi komoditas yang tak hanya besar tapi juga menjanjikan bagi perdagangan tambang minerba di mata dunia. Sebab sebagai komoditas terbesar dalam penghasil tambang minerba, justru Indonesia tak memiliki hal yang menjanjikan. Hal itu menyusul adanya fakta bahwa telah sejak lama kita hanya menjual raw material atau bahan mentahnya saja pada negara-negara maju. Sedangkan di waktu yang sama, negara-negara maju tersebut telah mengikat kontrak yang lebih menjanjikan dengan negara-negara maju yang lain yang juga merupakan penghasil tambang minerba.

Menarik sebuah pembahasan lain dari masalah di atas adalah perlu mengetahui sebuah dampak yang akan didapatkan Indonesia dari kekalahan yang terus menerus didapatkan. Sebab jika pada banding kali ini kembali kalah, tentu Indonesia tak hanya akan dirugikan dalam segi pendapatan yang tak bertambah.
Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan bahwa apabila Indonesia nanti kalah dalam banding yang diajukan, maka terdapat dua konsekuensi yang akan didapatkan oleh Indonesia. Pertama, Indonesia harus membayar kompensasi kepada pihak yang menang dalam gugatan tersebut dengan nilai yang tak terhitung kecil. Kedua, keran ekspor bijih nikel akan kembali terbuka bagi beberapa negara penghasil bijih nikel yang lainnya yang berada di Eropa.
Tak hanya itu, menurut Bima, Indonesia yang tengah memiliki angan-angan sebagai produsen baterai terbesar di dunia justru akan terhapus dan pupus jika nanti kalah dalam banding yang diajukan. Kemudian, salah satu tokoh praktisi pertambangan juga mengatakan hal yang sama bahwa Indonesia akan mendapat kerugian bahkan keran investor yang diharapkan akan banyak masuk ke Indoesia malah akan berpindah ke negara tetangga, seperti Malaysia.
Namun, dirinya juga menambahkan bahwa hal ini hanya berdampak pada investor yang memang belum melakukan investasi akan pembangunan smelter di Indonesia. Sedangkan para investor yang telah berinvestasi sejak lama akan terus melakukan investasinya. Artinya, paling tidak kita tak kehilangan investor yang sudah ada, meski di waktu yang sama jika kalah dalam banding kita harus menerima bahwa keran investor telah tertutup dalam kemungkinan investasi yang lebih kecil.
Kemudian, dari semua permasalahan di atas dapat kita simpulkan bahwa perlu banyak sekali pertimbangan bagi pemerintah untuk mengevaluasi setiap peluang yang ada. Sebab, sumber daya dari pembangunan smelter serta aturan-aturan yang ada masih sering kali dihiraukan. Hal itulah yang membuat kita masih sering kali menerima kekalahan telak dalam beberapa banding yang telah diajukan sebelumnya.
Begitupun dengan banding pelarangan ekspor bahan mentah minerba kali ini. Indonesia kini tengah menunggu hasil dari WTO, dan jika kalah tentu hanya kerugian yang akan didapatkan Indonesia. Maka ke depan perlu juga memiliki pengacara-pengacara yang kompeten yang tak hanya mengerti soal jalur hukum dan banding saja. Lebih dari itu, perlu mengetahui aturan-aturan yang memang sesuai dengan yang disarankan oleh forum internasioal tersebut.