
“Hanya ketika terang, kamu boleh merindukanku.”
Di Timur, terdapat dua insan yang menunggu semrawut lanskap oranye di penghujung cakrawala yang merayap dari lautan, terkoyak gelombang yang sudah tak berusaha hingga perlahan naik menyusunkan diri menjadi bola kuning panas yang bangkit dari tidur nyenyaknya.
Di timur, ombak bersahutan menarik kapal-kapal pelaut yang tak berhenti terombang-ambing tak berdaya.
Di timur, tak pernah ada cerita tentang anak arunika yang terduduk meminum kopi sambil melamun dan berucap puitis menulis lirik magis ala-ala Fourtwnty. Membawa gitar, mengalunkan kunci, melepas jiwa dari lelahnya hidup.
Tapi kali ini, di timur akan terbentuk cerita tentang sepasang kekasih yang duduk menjuntai di papan dok pinggir pantai. Menantikan kebangkitan mentari membuka tirai gelapnya malam.
“Ah, aku tak ingin kamu seperti bintang-bintang ini kelak.” Ucap seorang wanita sambil merebahkan badan di papan kayu tua yang didudukinya.
“Bukan aku tak ingin kehilanganmu, tapi karena aku tak ingin membenci mentari yang telah menghilangkanmu.” Lanjutnya tanpa memberi lelaki itu kesempatan untuk menjawab.
Lelaki itu pun ikut merebahkan badan, memandangi barisan jutaan bintang yang hanya tampak puluhan di matanya.
“Aku justru ingin kamu bisa lebih menghargai bintang-bintang yang tersisa puluhan ini.” Kali ini lelaki itu ikut menyahut mengutarakan keinginan, “Suatu hari akan ku tunjukan jutaan bintang yang bersembunyi di balik tirai malam hari. Di timur, di barat, di mana saja bintang bersemayam, suatu hari akan terbuka wujudnya.”
“Aku bersyukur, kamu adalah bintang dan aku arunika, meski tetap tak mungkin bersama, namun kamu bukanlah senja yang sama sekali tak bisa kulihat.”
“Tapi ingatlah, hanya ketika terang kamu boleh merindu.”
Di timur, papan-papan yang mengambang dilepas ikatannya dari bongkahan kayu yang menancap di pesisir. Oleh pria-pria yang tak lagi muda sambil meminum kopi menyusun semangat.
“Apakah benar sebuah bahtera akan lewat tepat saat arunika?”
“Ya, kamu akan menyaksikannya.”
“Apa nama bahteranya?”
“Bahtera rindu.”
Di timur, rindu bukanlah kata klise yang diucap sebatas godaan pada sang pujaan hati yang padahal senantiasa ada di hadapannya. Tapi di timur, rindu adalah sebagai rindu.
Di timur, para lelaki mulai menaikkan jaring lebar alat penangkap uang yang akan dilempar ke tengah lautan. Memanggil pula seorang lelaki yang tadi terduduk di dok pinggir pantai untuk melaut menjadi bagian dari indahnya arunika.
“Lihatlah arunika telah muncul!”
Sebuah bola panas mulai bangkit dari tidurnya, menyebarkan cahaya oranye di penghujung cakrawala. Membuka tirai gulita malam, terang menghapus satu per satu bintang yang berjejer puluhan.
Sebuah bahtera rindu, menjauh dari pesisir, lewat menjadi siluet di tengah gelombang oranye yang semrawut di lautan. Sebuah tangan melambai, seakan memberi senyum dan kabar bahwa ia telah jadi bagian dari arunika.
“Ah benar, aku memang benci mentari!”
Sosial Humaniora.
Entitas fana berwujud manusia.
Ya.
- Sulitnya Pita Menggapai Tampuk Perdana Menteri - 20 Juni 2023
- Maluku 1999: Obet Versus Acong - 1 Juni 2023
- Di Timur - 11 Januari 2023