
Aku diasingkan hanya karena menulis.
Sejak mengenal huruf-huruf yang saling menyambung di papan tulis dengan begitu sederhana, aku benar-benar menyukai proses sampai hasil terjadinya sebuah tulisan. Aku masih ingat betul bagaimana tangan paling terampil sejagat raya ini menulis di papan tulis kecil yang sudah lebih banyak debu dibanding bekas tulisan, sekaligus tangannya itu sesekali menyuapiku dengan sesuap nasi basah yang disiram sup ayam tanpa ayam, hanya kaldu. Aku tumbuh menjadi anak tanpa teman satu pun. Bukan hanya Karena letak geografis rumahku yang terpencil nyaris di tengah kawasan perkebunan, tapi juga karena bapak tak pernah benar-benar bertanggung jawab atas aku dan ibu. Kata ibu, bapak hanya seorang petani, yang kutahu dari sebuah buku kecil berisi dongeng-dongeng renyah untuk anak kecil di kamar ibu, petani adalah orang yang bekerja mengurusi rupa-rupa perkebunan. Katanya juga, gajih bapak memang tak seberapa, hanya cukup untuk membeli kaldu ayam setiap hari.
Kata ibu, perkembangan ku menuju remaja sangatlah aneh. Ibu tak mau menyebutnya keistimewaan, karena minder, sudah cukup dengan kemiskinan sebagai bukti tak ada satu pun keistimewaan yang diberikan pada keluarga ini. Ibu malu untuk terlalu percaya diri mengakui perkembangan aneh ku sebagai keistimewaan. Tentu bapak tak pernah peduli. Sudah yakin aku, kalau dia sangat menyesal perihal kondom bocor saat malam pertama dengan ibu dulu.
Perkembangan aneh itu adalah saat aku begitu menyukai tulisan-tulisan orang dewasa. Semua buku yang sempat ibu beli ketika sekolah SMP dulu semuanya tak ada yang tak ku baca. Semua tulisan itu berjalan menarik mataku seperti turis yang dibawa berlarian di sisi pantai saat senja oleh para anak-anak pantai. Karena kehabisan buku, aku terhitung sering mencari Koran-koran bekas untuk dibaca. Semua pemberitaan-pemberitaan dari wartawan peliput lara tak pernah absen kutemui. Beberapa majalah bekas yang ibu temukan di sekitaran rumah pengepul sampah selalu ada yang dibawanya, paling tidak, 3 majalah setiap harinya ku baca. Yang menjadi aneh, aku benar-benar seperti food vloger yang tak punya selera yang dibatas-batasi. Ku lahap semua buku dan tulisan, tak pernah satupun genre atau bentuk tulisan yang ku anggap sebagai tulisan yang tak menarik, semuanya menarik bagiku.
Akibat dari kelakuanku yang entah dinilai bagus atau tidak, ibu dan bapak jadi lebih sering bertengkar soal pengeluaran uang lebih yang harus dikeluarkan dari hasil kerja bapak. Parahnya, aku tak peduli itu. Aku hanya peduli pada ibu dan buku. Selebihnya hanya sampul.
Bahkan saat berusia 4 tahun aku sudah bisa membaca secepat orang dewasa. Disaat kebanyakan anak kecil menggunakan telunjuknya untuk menuntun matanya membaca. Mataku sudah lebih dulu berlari di sana. Semenjak itulah ibu mulai memperkenalkanku pada papan tulis dan semua cara untuk menulis semua huruf-huruf itu. Dari A sampai Z menyimpan perasaan yang luar biasa saat ku pelajari. Tak lebih dari 4 bulan, tanganku sudah sangat handal memimpin pertunjukan tari di atas kertas. Setiap hari, ibu memberiku PR yang harus ku selesaikan dengan waktu yang ditentukan ibu, yang katanya PR ini adalah tugas yang dibawa pulang ke rumah dan itu adalah tugas yang idealnya diberikan oleh sekolah pada siswa-siswanya.
Lagi-lagi bapak hanya bagian dari sampul. Beranjak dewasa saat usiaku menginjak 7 tahun semua orang mulai merasa terkejut dengan kehadiranku. Bagaimana tidak, di usia yang begitu kecilnya aku diduga sebagai pembunuh bapakku sendiri. Sampai-sampai aku benar-benar diadili oleh pihak pengadil. Aku dipenjarakan atas dugaan itu, namun tak lama, hanya tak lebih dari satu semester kurang pembelajaran anak-anak di sekolah.
Waktu itu aku memang mendengar bahkan membuktikannya langsung dengan mataku sendiri, bahwa bapakku adalah seorang tukang judi sekaligus pemabuk yang cukup meresahkan di kampungku. Selama ini, yang dilakukan bapak hanyalah keluyuran, tak pernah benar-benar memegang cangkul. Yang ada malah memegang kartu gapleh dan lutut di tengah pos ronda. Puncaknya, adalah saat banyak sekali orang-orang di kampungku berdatangan nyaris setiap hari mengetuk pintu rumahku yang sudah rapuh untuk menagih hutang. Aku dan ibu dibuat kelabakan terpaksa mencari uang lebih untuk menutup semua hutang-hutang bapak. Dan yang paling membuatku kesal adalah ketika aku harus lebih banyak bekerja sebagai pengumpul sampah dibanding membaca. Hutang-hutang itu bukannya berkurang malah terus bertambah. Sampai bapak jatuh sakit waktu itu. Keuangan keluarga yang sangat kecil menjadi sangat kecil lagi sebesar atom mungkin bila dihitung-hitung.
Satu malam aku merasa ingin membuat tulisan sederhana di catatan ku. Nyaris di ujung buku catatan itu aku menulis sebuah dongeng sederhana tentang seorang bapak yang mati karena kelabakan oleh kesalahannya sendiri. Kuberikan satu karya kecilku itu pada ibu. Ibu malah menangis haru di depanku, dia memelukku dan dunia terasa sangat erat saat itu. Saat ibu memberikannya pada bapak karena bermaksud mengajak suaminya itu ikut berbangga hati. Bapak yang sudah mulai baikan dari sakitnya itu malah melotot kelopak matanya saat selesai membaca tulisanku. Tak lebih dari 5 menit, bapak mati di ranjangnya sendiri. Dan orang-orang menganggap itu sebagai pembunuhan. Dari situlah aku dicap sebagai anak menakutkan yang telah membunuh bapaknya sendiri.
Aku menjadi tahanan kecil yang menakutkan. Semua orang kampung sedikit menghindari ku saat aku mulai berkeliaran di kampung. Mereka menganggap ku penyihir kecil yang jahat. Aku hanya ditahan selama kurang dari 2 bulan saja. Bahkan mereka memulangkan ku karena katanya aku tak terbukti bersalah. Untunglah masih ada sipir atau aparat kepolisian yang datang secara tiba-tiba dan mengatakan pada semua orang bahwa yang mereka putuskan dan lakukan adalah salah.
Menginjak usia sepuluh tahun. Ibu benar-benar meninggalkanku dan seisi rumah kecil ini. Aku terpaksa harus hidup di rumah kecil ini sendiri. Setelah kematian bapak dulu, aku jadi semakin lebih bebas meminang banyak buku untuk ku koleksi di rumah sampai aku bisa membuat perpustakaan pribadi di kamar sendiri. Karena terlalu sempit, setelah kematian ibu, aku memutuskan untuk tidur dan menjadikan kamar ibu dan bapak sebagai kamarku. Dan kamarku menjadi perpustakaan pribadi yang lebih luas.
Berjalan menuju dewasa, beberapa karyaku dalam tulisan-tulisan fiksi melebarkan sayap. Aku terbilang sukses menjadi seorang penulis muda di usia yang terbilang muda saat itu. Dari semua buku yang ku buat, nyaris semuanya menjadi best seller. Namun, disaat tulisanku begitu melangit, disaat itu pula beberapa lirikan tajam dari orang-orang desa, bahkan pemerintah daerah dan aparat benar-benar memperhatikan gerak-gerik ku. Mereka menganggap beberapa tulisanku bahkan hampir semuanya hanyalah sampah dan tak benar untuk dibaca oleh masyarakat. Mereka menganggap ada faham yang menyeleweng dalam tulisanku, ada kritik yang tak membangun di dalamnya, dan yang paling parah mereka mengatakan bahwa tulisanku hanyalah gundukan sampah yang bau menyengat ke seluruh kota.
Setelah mendengar simpang siur tentang apa yang akan mereka lakukan terhadapku, aku pergi menuju gua besar di arah belakang rumah. Konon, dulu di sana ada seorang petapa hebat. Dia juga seorang penulis, namun bedanya dia adalah penulis mantra. Beberapa mantra yang digunakan untuk menyembuhkan beberapa penyakit di kampungku masih dipakai sampai saat ini. Katanya juga di dalam sana ada satu batu yang nyaris sempurna untuk dijadikan meja belajar. Karena memang aparat dan pemerintah yang merasa terancam oleh tulisanku itu akan segera mengunjungi rumahku dan menangkap ku, maka keputusan terakhir yang terbaik adalah berdiam diri di gua itu. Hingga, tepat pada tengah malam, ku kemas semua barang beserta buku ku yang sudah begitu banyak. Berjalan di tengah gelapnya malam menuju gua adalah hal yang cukup membuatku merinding, namun rasa takut itu seakan kalah oleh rasa takut yang lebih, karena takut mati dan tak menulis lagi. Khawatir di kuburan atau di surga nanti tak bisa menulis, apalagi neraka, bakal tak sempat. Karena buku ku yang begitu banyak, aku jadi harus melakukan perjalanan dua kali bulak-balik dari rumah ke gua itu.
Saat semuanya selesai, aku berdiam dan menatap takut dari luar depan gua itu. Betapa mataku sangat tak bisa melihat apapun ke dalam sana. tanpa berlama-lama lagi, kucoba nyalakan lilin dan membawa beberapa barang-barang ku, kemudian bergegas ke dalam. Seperti gua pada umumnya, gua itu punya lahan yang cukup luas di dalamnya, juga lembab dan cukup panas kurasakan, dan beberapa kelelawar yang jadi lebih berisik dan terusik karena terganggu oleh suara jalanku. Aku terus berjalan mengikuti jalan satu-satunya di gua itu, menuju tempat paling ujung. Karena katanya, bekas pertapaan penulis yang diceritakan itu ada di ujung gua. Sekitar lima menit, aku sampai di ujung gua itu. Aku bisa tahu karena tak ada jalan lagi yang harus ku susuri. Di sana lebih luas. Bahkan batu yang menjadi atapnya pun lebih tinggi dibanding tempat lain dalam gua ini. Ku simpan semua barang dan bergegas mengambil barang yang lain yang tertinggal di luar. Saat semua barang telah selesai ku angkut, ku bereskan semuanya dan memutuskan untuk mencoba tidur dengan matras kecil yang kubawa. Paling tidak, aku tak mau macam-macam dulu di malam pertamaku untuk tinggal di gua ini.
Nyaris satu bulan aku tinggal di gua itu. Dua karya besar yang ku tulis di dalam sana benar-benar sudah siap melumat pikiran para pembaca juga ketakutan para penguasa. Satu karyaku adalah sebuah kumpulan esai dan satu lagi adalah sebuah lanjutan dari seri sekuel salah satu buku ku yang dulu.
Setelah semuanya itu rampung, dan satu bulan kurasa adalah waktu yang cukup untuk meredakan kepengingan di pikiran mereka. Pasalnya, sebelum aku memutuskan untuk pergi dari rumah untuk melarikan diri, dulu setiap hari tulisanku pasti dimuat oleh beberapa perusahaan media cetak. Tulisan-tulisan itu dianggap berhasil membuat minat membaca berita dan mencari informasi dalam kehidupan masyarakat jadi lebih meningkat. Beberapa data dan tulisan yang ku tulis di sana membuat kurang lebih sepuluh pejabat daerah dan desa terbukti menyalahgunakan tugasnya. Tulisanku benar-benar satu-satunya pedang yang bisa menghunus perut buncit mereka yang digunakan oleh semua rakyat yang membaca dan mempopulerkannya.
Tepat di hari ke tiga puluh, aku telah membulatkan tekad untuk minggat dari gua menyeramkan itu. Karena bukan tak pernah, nyaris setiap hari aku tak bisa tidur malam. Maka pada akhirnya lebih sering aku menulis malam dibanding siang hari di dalam sana. Saat tinggal di sana pun, hubunganku dengan dunia luar seakan mati. Tak ada satupun orang yang tahu aku di mana saat itu, bahkan aku tak pernah memberitahu di mana aku pada teman terdekatku. Justru akan lebih mengkhawatirkan, jika berita-berita besar tentang rahasiaku dibicarakan pada teman terdekat. Jadi, selama di sana, aku benar-benar terpaksa menjadi vegetarian. Beras yang kubawa dari sisa di rumah dulu pun tak cukup untuk mengobati lapar ku satu bulan di dalam sana. Akibatnya, aku menjadi lebih mandiri dan peka terhadap alam.
Aku bergegas menuju rumah, dan kembali tinggal di sana. Saat sudah kembali tinggal di rumah, beberapa hari ku lewati dan tak ada kabar menakutkan lagi dari para warga di kampungku. Malah mereka ada yang berkata, “polisi-polisi gendut itu sudah tak lagi datang ke sini sejak selesai membakar semua buku mu. Mereka lebih fokus pada pekerjaan itu dari pada mengayomi kami. Sudah, kau tinggal duduk tenang di rumah sekarang. Tapi kami mohon, buat mereka kelabakan lagi.” Mendengar itu aku merasa marah sekaligus senang. Marah karena semua anakku mati, senang karena aku masih hidup dan tak dipedulikan lagi.
Setelah semua pertimbangan untuk meluncurkan kembali tulisan, aku pun pergi menuju percetakan yang biasa ku jadikan tempat anak-anakku dilahirkan.
“bagaimana percetakan mu? Tak ada yang mau membakar tempat percetakan buku kan?” kataku pada tukang percetakan langganan itu.
“tak ada, hanya saja percetakan ku kini jadi lebih sering mencetak teori-teori politik dan pemerintahan.”
“baguslah, percetakan mu kini jadi lebih pro pada mereka. Kau masih mau mencetak tulisanku?”
“biar mati pun aku mau, sini mana?”
“ah kau masih menjadi teman terbaikku. Baiklah,” sambil menyodorkan naskah yang telah rampung ku buat, aku kembali berkata, “ini anak besar yang ku buat di dalam gua tempat si kakek pembuat mantra itu bertapa. Ku namakan ini ‘mantra-mantra rakyat’. Silahkan!”
Sepulang dari percetakan, aku kembali membaca perkembangan kehidupan manusia yang bisa membuatku resah. Betapa anehnya saat aku tahu banyak hal yang menggelikan di luar sini dibanding kehidupan kelelawar yang hidup jauh dari berabad-abad dulu sampai sekarang di dalam gua sana. Pantas saja kakek pembuat mantra itu lebih betah di sana.
Tak kurang dari seminggu, dua buku baruku disebar di pasaran. Semua orang kembali ramai membicarakan dua buku itu. Betapa aku sangat terkesan saat itu. Banyak orang yang menjuluki ku dengan julukan baru yakni ‘si penulis mantra kutukan’. Mereka menganggap tulisanku sebagai tombak yang sangat kuat yang bisa membunuh ribuan kebohongan yang tumbuh di negeriku saat itu.
Namun, semua itu ternyata tak berhasil membuat banyak kematian yang terjadi di gedung pemerintahan dan pada tubuh-tubuh manusia yang menjijikan di tengah masyarakat. Mereka sudah lebih pintar saat itu, dua anak besar ku itu lenyap dibakar dan dilarang untuk dibaca. Malah, ada usaha penahanan bagi siapa saja yang mau menjual buku ku secara bebas di pasaran. Semua orang yang mengikuti tulisanku menjadi seperti kecoa yang dibalikkan tubuhnya, melihat namun diam dan tak berdaya.
Mendengar semua itu, aku tak pergi ke kota untuk memberontak. Karena aku tak punya cukup kehebatan untuk membabad habis musuhku di luar sana. Malam itu juga, aku kembali pergi menuju gua berniat untuk kembali sembunyi di sana.
Esoknya, tepat saat kelelawar sedang tidur karena kelelahan semalaman mencari makan. Aku dibangunkan paksa oleh suara tembakan dari teriakan orang dan suara peluru dari sebuah senapan. Satu pasukan yang dikirim oleh aparat saat itu merusak waktu tidurku dan juga kelelawar di dalam sana. Aku pasrah saat ada sorotan lampu tepat di kedua kelopak mataku. Mereka memborgol ku dan membawaku menuju satu pulau kecil tanpa ada persidangan terlebih dahulu. Dan yang lebih parah, tak ada satu pun orang yang tahu soal penangkapan ku. Mereka memaksaku untuk hidup di pengasingan sampai aku mati di sana. Sebuah pemberitaan datang padaku melewati satu sipir baik hati yang rutin datang menemui ku, dengan alasan melihat keadaanku pada atasannya. Dia banyak mengabarkan berita-berita di luar sana, tak jarang dirinya juga membawakan ku satu rantang nasi lengkap dengan lauk pauknya. Semua pemberitaan tak henti-henti membuatku merinding dan sakit. Satu hal yang paling membuatku sakit adalah saat tahu, kalau orang yang memberitahu persembunyian ku kemarin adalah si tukang percetakan itu. Betapa aku sangat lupa untuk menutup rahasia itu pada teman terdekatku sendiri.
Di bulan kedua, aku dikunjungi lagi oleh sipir baik itu. Katanya juga dia datang dengan atasannya. Seperti biasa, dia kembali menceritakan semua hal di luar sana saat atasannya itu sedang berkeliling pulau. Saat hanya kami berdua dia bilang kalau ternyata dulu yang menolongku saat kecil untuk dikeluarkan lebih dulu dari sel adalah dia orangnya. Dia juga mengatakan kalau semua rahasia ini sampai saat ini masih sangat aman. Dia juga membawakan ku stok tinta untukku menulis di sini. Karena, kebetulan dari awal dia sengaja ikut dalam penangkapan ku. Kukatakan padanya untuk membantuku membawakan alat-alat untuk menulis disini dan untungnya dia meng-iyakan.
Saat sedang asik makan dan mengobrol bersama sipir baik itu, dua peluru menancap di dada kami. peluru itu datang dari tembakan yang dilesatkan oleh atasan sipir itu. “kuharap, dia bukan teman terdekatmu.” Kataku sebelum mati pada sipir baik hati itu.
NB: Tulisan ini hampir rampung
Hanya jika tak rampung, berarti aku mati.
Baca saja, paling tidak kau akan suka pada sebuah kisah pendek.
Kekurangannya, hanya tak ada bagian yang paling kalian suka: kebejatan mereka.
***