Bukan Negara Hukum, Tepatnya Indonesia Adalah Negara yang Meng-entertaint Hukum

Sumber Gambar: Pxhere.com
Sumber Gambar: Pxhere.com

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang disebut sebagai negara hukum. Sebagaimana yang diungkapkan F. R. Bothlingk, negara hukum adalah ketika sebuah kebebasan bagi para penegak hukum dan pemangku kewenangan dibatasi oleh suatu aturan yang disebut hukum.

Sedangkan sederhananya, hukum itu dapat berjalan sesuai dengan aturan-aturan yang memiliki asas normatif yang menjadi tumpuannya. Dalam hal ini, Indonesia tentu memiliki asas-asas normatif atau nilai-nilai luhur pedoman bagi seluruh rakyatnya. Hal itu kita kenal sebagai Pancasila.

Bahkan arti yang lebih spesifik dengan memberikan fungsi utama serta poisisi hukum itu sendiri di negara hukum adalah ketika hukum seharusnya berada di atas apapun. Hukum juga dinilai tak dapat terikat kewenangannya pada siapapun. Hal itu kemudian yang membuat hukum seharusnya dapat mengenai seluruh rakyat atau manusia di dalam suatu negara, tanpa terkecuali.

Di Indonesia sendiri perjalanan hukum dinilai mengalami kemajuan dan kemundurannya tersendiri. Dalam hal ini, sejak masa kolonialisme hukum di Indonesia dapat dikatakan masih mengejawantahkan produk hukum pribadi yang mandiri. Dalam artian, dari segi prosedural formal yang tertulis masih mengikuti dan terpengaruh oleh pemeritahan Belanda.

Lanjut pada era Demokrasi hingga orde baru, hukum dinilai mulai mengalami kemajuan. Diantaranya pada sifat keadilan yang coba diberikan oleh hukum itu sendiri. Hukum sebagai suatu hal yang memiliki salah satu fungsi sebagai pendorong lahirnya sebuah keadilan di tengah masyarakat, mulai dipupuk pada era ini. Meski begitu, di era ini hukum tak benar-benar berjalan dengan baik sesuai fungsinya. Pasalnya, hukum yang memang sudah lebih mengedepankan keadilan substantif daripada keadilan prosedural mulai banyak digunakan. Namun, karena didukung dengan lemahnya moralitas para penegak hukum justru keadilan substantif yang diusung terlihat lebih jelas bahwa sikap tersebut malah dilaksanakan secara sewenang-wenang.

Para penegak hukum kemudian menjadi seperti malah menghiraukan prosedural atau acuan yang ada. Dengan dalih pemeriksaan secara berlanjut dengan lebih melihat pada hal substansial, hakim serta para pengadil justru lebih mudah tersogok dan termakan suap dari pengaruh di luar prosuderal sebagai kepentingan.

Kemudian di era reformasi ini perjalanan perjuangan terhadap negara hukum di Indonesia terus diperjuangkan. Pembicaraan-pembicaraan terkait kepedulian terhadap hukum mulai marak diperbincangkan. Kepedulian berlebih tersebut justru mengundang bukti bahwa Indonesia hingga saat ini masih memiliki rakyat yang merasa tidak mendapatkan keadilan dari proses dan kegiatan hukum.

Tak hanya itu, upaya pembuatan prosedural secara formal pun terus menerus dilakukan secara masif. Dapat dilihat bahwa perombakan perundang-undangan, rancangan-rancangan baru terkait undang-undang yang berlaku terus menerus diperbaiki. Meski demikian, hal itu justru lebih banyak menimbulkan kontra di tengah masyarakat. Karena keterlibatan masyarakat dianggap tak diberikan dalam hal ini.

Padahal menurut Aristoteles produk hukum itu agar dapat menciptakan keadilan sebagai salah satu fungsinya seharusnya dilakukan sebagaimana yang dilakukan di Polis. Dimana sebuah daerah kecil dengan hukum yang baik. Karena daerahnya bukan sebuah daerah kekuasaan yang luas, Polis menjadi sedikit dari contoh yang ada untuk membuktikan keadilan hukum itu sendiri. Bahwa Polis dapat memberikan keadilan pada rakyatnya melalui produk hukum adalah ketika undang-undang atau aturan hukum yang dirancang pasti akan melalui musyawarah yang diikuti oleh seluruh rakyatnya.

Di sisi lain hukum akan terlihat berjalan dengan baik ketika reaksi yang dilahirkan dari penegakan hukum yang berlaku juga dilakukan secara sesuai. Bahkan tak hanya itu, menurut Bentham, hukum itu memiliki tujuan penting di dalamnya. Satu-satunya tujuan yang paling penting tersebut adalah ketika hukum dapat mencapai kebahagiaan kuantitatif. Artinya, hukum harus memberikan serta melahirkan kebahagiaan secara menyeluruh pada semua rakyat. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa kebermanfaatan hukum tak hanya dapat dirasakan serta diklaim manfaat oleh hanya pihak-pihak tertentu atau segelintir orang saja.

Jika melihat pada kacamata sejarah hukum di Indonesia. Justru lebih banyak sejarah yang menyatakan bahwa hukum di negeri ini masih belum menemui titik baik dan kemajuan. Pasalnya, ada puluhan artikel yang tersebar di internet secara gamblang yang menyatakan bahwa ada beberapa kasus hukum yang tak kunjung selesai dan memberikan dampak kepuasan pada masyarakat.

Hal itu berarti menunjukan bahwa begitu banyaknya penegakan hukum yang tidak benar-benar selesai baik dari segi prosedural maupun substansial. Tak hanya itu, hal ini tak ada bedanya baik dalam segi hukum perdata atau pidana. Keduanya sama-sama masih dapat dikalahkan oleh dominasi kepentingan yang ada.

Tentu hal ini dapat dipastikan karena adanya sebuah kegiatan terlarang yang seharusnya tidak dilakukan oleh siapapun yang tengah menjadi penegak hukum. Dimana seorang penegak hukum dalam sebuah negara hukum harus memiliki moralitas yang sesuai dengan aturan hukum yang ada. Jika tidak, maka kegiatan seperti judicial corruption justru lahir dan marak terjadi.

Sebuah kegiatan yang tak hanya merugikan hukum di suatu negara itu saja, namun justru merugikan pada sektor lain seperti ekonomi. Berarti hal ini terjadi karena ekonomi di Indonesia yang juga tak kunjung selesai permasalahannya. Berkat kebutuhan yang tak kunjung tercukupi baik oleh rakyat serta para penegak hukum atau pemangku kewenangan untuk menunjang kehidupan, akhirnya mendorong upaya pelanggaran yang dilakukan dalam sektor penegakan hukum, yang tentu akan selalu dibayar dengan cost tinggi sebab memiliki resiko serta tanggung jawab yang tak kalah tingginya.

Hal lain yang perlu menjadi sorotan dalam penegakan hukum di Indonesia adalah ketika dapat disadari pada akhirnya hukum serta upaya penegakannya yang tak kunjung selesai justru hanya akan menjadi produk entertain, bukan malah menjadi produk hukum. Sebab tak jarang, para pelaku yang tak kunjung diberikan hukum sepadan atau tak kunjung ditemukan siapa pelakunya, hanya menjadi bahan utama bagi sebuah kanal berita.

Pembicaraan terkait keadilan dari hukum itu sendiri semakin hari terus semakin dicari dan dipupuk sedemikian rupa. Namun nihil, Indonesia nampaknya tak akan bisa lepas dari budaya buruknya tersebut. Pasalnya, perlakuan licik dan menyimpang dalam penegakan hukum bahkan sudah terjadi sejak era demokrasi terpimpin. Hal itu tak kunjung selesai, malah justru menjadikan sebuah tradisi turun temurun yang tak dapat dibanggakan namun terus digunakan.

Sebab bagaimanapun karena budaya tersebut, meski tak ada satupun orang yang setuju bahwa hal di atas bukan sebuah produk hukum yang baik, tapi karena telah membudaya, pada akhirnya seluruh rakyat yang berkoar-koar terkait buruknya hukum itu sendiri pun akan menggunakan penyimpangan yang sudah menjadi budaya tersebut. Sebab itu adalah pilihan paling popular dan paling efektif di Indonesia untuk menutup sebuah permasalahan atau kasus hukum.

Bukti lain yang menunjukan bahwa hukum justru hanya melahirkan sektor entertain di masyarakat adalah banyaknya para pelaku penyimpangan hukum, baik dari rakyat, aparat, atau bahkan para penegak hukum itu sediri yang malah mengalami fase “naik daun” karena kasus bejatnya. Hal yang lebih menyedihkan lagi justru timbul setelah itu. Dimana ketika disadari ada beberapa reaksi yang justru merasa terhibur atau terentertain secara publis untuk mengikuti hal tersebut. Pada akhirnya produk hukum hanya akan menjadi sebuah tutup pentil yang tak kunjung selesai memutari velg karena mengikuti putaran roda yang dikayuh atau dijalankan manusia.

Satu hal lagi yang menjadi bukti bahwa penegak hukum di Indonesia yang tak kompeten adalah ketika pada kesempatan beberapa bulan yang lalu, Presiden Jokowi Dodo secara terang-terangan melakukan pidato yang berisi nasihat serta perintah secara verbal di depan awak media dan khalayak luas untuk “memarahi” para polisi sebagai aparat atau penegak hukum. Sebab menurutnya, polisi kini mulai dianggap sebagai aparat yang tak dapat dipercaya untuk menegakkan hukum. Kekerasan yang dilakukan tanpa pengetahuan terkait hukum menjadi salah satu hal yang paling dibenci. Ditambah lagi hal itu menyusul karena tak kunjung selesainya kasus-kasus besar yang dapat mejadi sorotan khalayak luas.

Kasus-kasus tersebut dianggap tak kunjung selesai dan rakyat merasa terus dibohongi. Meski dipaksa untuk menutup telinga dan tak peduli, kembali lagi karena kegiatan penegakan hukum yang sudah menjadi entertain lah yang kemudian mendorong masyarakat untuk bereaksi. Hal itu juga yang kemudian dapat dianggap sebagai faktor pendorong masyarakat yang terlanjur kesal pada penegak hukum untuk mencari celah keburukan dan kesalahan yang terkandung dalam diri mereka pada konteks kegiatan penegakan hukum.

Itu sebabnya kemudian, Jokowi Dodo menitahkan pada seluruh polisi untuk kembali mengembalikan kepercayaan masyarakat. Bahka hal-hal personal seperti sikap bergaya di depan publik sampai dibatasi oleh presiden ketujuh Indonesia tersebut.

Tulisan ini merupakan bagian dari bahan renungan bagi kita semua bahwa penegakan hukum serta realisasi Indonesia sebagai negara hukum tak akan kunjung selesai jika budaya taat hukum dari masing-masing kita pun masih belum dapat kita selesaikan sendiri. Ditambah lagi, keadaan para penegak hukum serta keadaan masalah kompleks yang dimiliki negara juga menjadi salah satu hal yang perlu disadari. Disadari untuk mulai menyimpan rapih mimpi serta ambisi ingin melihat Indonesia sesegera mungkin menjadi sebenar-benarnya negara hukum yang menegakan hukum secara baik dan benar. Serta dapat memberikan keadilan, kesejahteraan, serta kebahagiaan secara menyeluruh bagi masyarakat.