BLT; Antara Dicaci dan Dinanti

Sumber Gambar: Pexels.com/Ahsanjaya

Give a man a fish, feed him for a day. Teach a man fish, feed him for a lifetime”

dengan bahasa Inggris yang tingkat kefasihannya di bawah rata-rata dan gaya intelek yang sangat dipaksakan, Pak Mansyur, teman satu group ronda saya pada saat jadwal ronda mengucapkan itu dengan sangat penuh semangat.

“Jika kita memberikan seseorang ikan, maka kita sudah memberikan ikan untuk dimakan pada hari itu saja. Tetapi, jika kita memberikan seseorang pelajaran bagaimana cara menangkap ikan, maka kita sudah memberikan orang tersebut ikan untuk dimakan seumur hidupnya”.

Dia menjelaskan terjemahan perumpamaan dari luar negeri sana kepada saya. Saya yang jauh lebih muda dari beliau hanya manggut-manggut meski saya sudah tahu apa arti dari perumpamaan tersebut. Beliau sedang mengungkapkan ketidak setujuan-nya terhadap pemerintahan saat ini yang dianggap terlalu memanjakan rakyat miskin dengan program-program BLT yang, menurutnya, sangat tidak mendidik.

Bantuan Langsung Tunai, atau biasa akrab di telinga maupun di lisan kita dengan sebutan BLT masih menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat kita. Kehadirannya memang dianggap banyak membantu untuk sebagian masyarakat, tetapi juga dianggap membuat pola kehidupan pada masyarakat yang mendapatkan program ini malah berubah. Mereka jadi tidak lagi punya keinginan untuk bekerja, karena selalu mendapatkan uang pada periode tertentu secara teratur.

Sejak program ini dibuat di masa SBY dan JK, banjir kritikan banyak berhamburan ditujukan kepada mereka, terutama dari lawan politik yang kalah saing dalam kontestasi perpolitikan kala itu.

Tetapi, apa pun yang terjadi, bagaimana pun mereka menanggapi, pada kenyataannya program ini selalu menjadi program yang sukses untuk menjaring kembali suara-suara masyarakat agar tetap mendukung “juara bertahan” yang mencoba untuk maju kembali selama batas periode belum habis ketika hajatan besar lima tahunan pilpres diadakan.

Hal itu juga terlihat pada masa sekarang. Pemerintahan sekarang, yang dahulu menjadi opsisi pada masa SBY dan JK, adalah yang paling getol dan keras dalam mengkritik program BLT ini. Tetapi, kini ketika mereka menduduki pemerintahan karena hadir sebagai pemenang dalam perebutan kursi kepresidenan, mereka malah menggaungkan program yang dahulu sangat mereka tolak habis-habisan.

Dan itu seolah menjadi hukum karma bagi pemerintahan sekarang. Program BLT yang kini mereka jalankan pun, menjadi sasaran kritik habis-habisan yang dilemparkan oleh kaum oposisi dan juga pengikutnya. Seperti yang sekarang saya dengarkan dari Pak Mansyur ini, jika dilihat dari cara beliau menentang keberadaan program BLT ini, sepertinya beliau adalah pendukung fanatiknya kaum opsisi.

“Lihat itu sekarang-sekarang Pak ‘Anu’”, beliau kembali melanjutkan curhatannya tentang masalah BLT ini dengan menyebutkan nama tetangga saya yang lain yang kebagian program ini. “Sekarang kerjaannya setiap hari hanya mancing ikan di sungai bersama teman-temannya yang lain yang juga jadi penerima manfaat program pemerintah ini”. Saya yang tadinya mengantuk menjadi sedikit terhibur dengan ucapan-ucapan beliau ini.

Mendadak saja saya merasa kami berdua memiliki jalinan emosional yang sangat kuat. Karena memang saya sendiri adalah warga yang tidak pernah mendapatkan program bantuan apa pun dari pemerintah. Mungkin disebabkan karena saya tidak punya pertalian saudara dengan para pejabat desa yang punya wewenang untuk memasukkan data saya sebagai penerima manfaat BLT. Kebanyakan dari mereka yang mendapatkan, jika saya perhatikan, adalah orang-orang yang dekat dengan pejabat desa. Dengan mendengar ucapan-ucapan Pak Mansyur ini, saya jadi  merasa memiliki  teman senasib sepenanggungan.

“Saya lebih setuju dengan program pemberdayaan, bukan program pemanjaan”. Saya mendukung ucapan beliau ini. “Seharusnya pemerintah memberikan bantuan yang sifatnya produktif, bukan yang konsumtif seperti ini”. Lagi-lagi saya mengangguk setuju. Tanpa saya sadari, saya jadi banyak mengangguk malam ronda kali ini. “Bantuan modal usaha, misalnya. Agar pemerintah cukup memberikan sekali saja, ke depannya mereka akan mandiri dan tidak lagi tergantung pada bantuan yang memanjakan seperti itu dan roda ekonomi akan tersikluskan dengan baik”. Bahasa beliau memang selalu menggunakan istilah-istilah tinggi.

Dan saya teringat, besok adalah jadwal pengambilan BLT di balai desa. Pagi-pagi, balai desa pasti akan dipenuhi oleh mereka, para pendukung pemerintah yang setuju dengan program ini. Karena saya rasa, jika mereka adalah pendukung oposisi, pasti tidak akan sudi untuk menerima program yang dianggap tidak mendidik ini.

Shubuh hampir tiba, artinya waktu ronda sudah berakhir. Saya memutuskan untuk tidur antara satu atau dua jam setelah sholat shubuh dan melakukan rutinitas libur pekanan dengan mengantar istri berbelanja ke pasar pada pagi hari. Dan benar saja. Pagi hari ketika saya berboncengan dengan istri melewati balai desa, kerumunan warga yang akan dan sedang mengambil dana BLT benar-benar padat. Bahkan saya harus berhenti dan membunyikan klakson berkali-kali untuk membuka jalan.

Tetapi, coba tebak! Di sebuah tiang listrik yang menjulang, Pak Mansyur tengah bersandar menahan sisa kantuk bekas ronda semalam. Dan tak lama istrinya menghampiri beliau sambil memasukkan beberapa lembar uang berwarna merah ke dalam dompetnya.

Saya baru ingat, istrinya adalah kerabat dari RT setempat dan besar kemungkinan nama sang istri pendukung opsisi ini dimasukkan ke dalam daftar penerima manfaat program ‘pemanjaan’ ini. Dan beliau sepertinya diminta oleh sang istri untuk mengantarkan ke balai desa untuk mengambil uang bantuan tersebut.

Latatu Nandemar