Di balik uraian pintu rumah guruku, mataku melihat; wajah spanduk kikuk meminta do’a, tangan guruku santai memintal do’a. Diselipkannya kertas bergambar Soekarno-Hatta dihiasi senyum menjijikan.
Di balik uraian pintu rumah guruku, kecucukanku begitu hebat; orang setua itu takut hantu? Dilipatnya ayat kursi dari guruku? Diselipkannya janji berbentuk infrastruktur untuk kawananku.
Di balik itu semua; Si Bapak so lugu itu berhasil mendapat kursi berkat ayat, kursinya didapat dan ayatnya dilupakan bersama rakyat.
Tasikmalaya, 2019.
Distopia

Aku hidup di tubuh seorang wanita, dengan cuaca yang sering berganti-ganti setiap harinya.
Tumpah darah antar penguasa; tapi di sini penguasanya totaliter. Iya benar! Tubuh ini sukses menjelma kota yang paling kejam.
Tak ada tenang yang dicipta cinta
Tak ada kasih yang dicipta sayang
Pada akhirnya, aku memutuskan untuk menulis dan pergi bersama kata-kata menuju kota tetangga yang bernama kesepian.
Tasikmalaya, 2019.
Perkenalan dari Si Pembaca Buku

Saya lahir dari selangkangan Ibu, terjepit lalu muncul dari tengah-tengah berbarengan dengan ribuan kata yang tumpah ruah.
Saya menjadi pemikir, lalu mengasingkan diri dari kemalasan sejak dalam kesepian.
Tasikmalaya, 2019.
Jalan menuju anusmu

Rasa-rasanya jalan masuk menuju tubuhmu adalah mulut
Menyamar menjadi satu santap nasi adalah yang terbaik
Aku berada tepat di suapan terakhir yang kan kau makan
Masuk lewat mulut, tubuhku kau bolak-balik dengan lidah kecut
Gigi gerahammu tak berhenti mengunyah
Rupanya kau tak kuat ingin berak
Segera, ribuan nasi itu kau dorong dengan air
Sayangnya, aku hanya sampai pada antara gigi gerahammu – menikmati hari-hari menjadi busuk
Di kamar mandi saat berak. Kau bercerita bahwa engkau sudah terlalu kenyang oleh semacam aku yang menyamar menjadi nasi; ada yang tertahan di tenggorokan, melingkar-lingkar di jalan usus, bahkan ada yang berakhir di lubang anus.
Laporannya, tak ada yang sampai hati.
Semuanya berakhir di lubang anus.
Tasikmalaya, 2019.
Wartawan peliput lara

Wartawan itu selalu bersedih hati. Maka tak aneh bila segala yang diliputnya hanya berisikan kesedihan, kesakitan, ratapan. Bukan karena dirinya yang bersedih. Tapi air matanya menjelma menjadi kata-kata yang bercukulan keluar di TV-TV dan koran-koran.
Lalu kutanyakan hal itu pada Ayah, saat Ayah tengah asik-asiknya membolak-balik halaman koran.
Kata Ayah, “Yang diberitakan Wartawan itu seputar Ibu Pertiwi, Nak. Kau tahu? Ibu Pertiwi itu perempuan!”
Tak mengerti betul aku pada perkataan Ayah. Hanya yang jelas, sering mataku menemukan Ibu menangis di pojok ranjang seperti sedang kesakitan.
Tasikmalaya, 2019.