
Aku sebatang kara yang lancang mencintaimu. Aku tak memiliki siapa pun selain ayahmu yang mempekerjakan aku sebagai tukang kebun. Dan kupikir, aku terlalu percaya diri untuk menjadikanmu dewiku.
Tapi kasih, cintamu menguatkan aku. Kau bilang aku bukan pria romantis meski setiap hari kutanami rumahmu dengan bunga-bunga yang cantik. Aku tidak tau apa itu romantis. Yang aku tau, aku berharga karena kau ada.
Kami terperangkap dalam cinta tanpa restu. Tentu saja. Aku yatim piatu yang menggantungkan hidup pada setangkai bunga. Parahnya aku bahkan tidak bisa membaca maupun menulis. Sangat jauh dari kriteria yang Ayahmu inginkan. Tapi aku merasa layak karena tak ada ujung perjuangan selama kau bersamaku.
Singkat cerita, Ayah memergoki kami yang menikmati malam hangat di bangku taman. Ayahmu menyebut aku melakukan kesalahan fatal karena menodai bibir manismu. Aku tak menduga bahwa benturan bibir itu akan menjadi petaka.
Aku diasingkan Ayahmu ke kota yang tak pernah kutau namanya. Di sana, aku benar-benar tak memiliki siapa pun selain menemukan diriku yang masih saja mencintaimu. Percayalah, Cantik. Rasa frustrasi ini membuat rinduku semakin syahdu.
Sepuluh tahun di pengasingan, tak ada satu hari pun aku tanpa memikirkanmu. Terkadang aku bertanya, apakah kau sudah menemukan seseorang yang mempersuntingmu? Apa kau sudah memiliki putri cantik seperti yang dulu pernah kita dambakan? Dan apa kau masih mencintaiku? Semua tanda tanya ini membuatku semakin penasaran–akan kabarmu yang tak tau bagaimana kutau.
Menginjaki tahun ke-20 aku mengganti caraku untuk mengingatmu. Aku mulai belajar bagaimana caranya menulis dan membaca. Dengan begitu, suatu hari aku bisa menulis surat cinta dan membacakannya untukmu. Romantis, bukan?
Hatiku berdenyut pada setiap kata yang kuutarakan pada kertas ini. Jemariku gemetar, seolah kau menyaksikan langsung bagaimana asiknya aku yang menceritakan kecantikanmu. Tapi entahlah, Kasih. Apakah surat ini masih mampu menciptakan desir di hatimu?
Tiga puluh tahun berlalu. Entah apakah ini kabar yang menyenangkan atau sebaliknya. Seseorang mencari keberadaanku. Ia bercerita bahwa 30 tahun terakhir kau tak hentinya menangisi kepergianku setiap malam. Hatiku tercabik, tapi di satu sisi–aku merasa hangat oleh cintamu. Yang tak kusangka, orang yang menemukanku adalah pria yang kini berhasil menikahimu.
Kuakui aku tak pernah menyesal karena menjadi bagian dari kisah ini. Mencumbu bibir manismu adalah kesalahan termanisku. Dan diasingkan berpuluh tahun lamanya adalah rinduku yang paling nikmat. Lalu sekarang, betapa melegakan ketika mengetahui bahwa kau menikahi pria yang pantas. Aku bisa melihat cinta di matanya. Meski aku bersumpah–tak ada yang melebihi cintaku untukmu, Kasih.
Tak sampai di sana, rupanya rinduku masih harus berlanjut. Suamimu mencoba menemukan cara agar bisa mempertemukan kami. Karena hingga saat itu pun, ayahmu masih tak menerima aku–baik sebagai tukang kebun atau seseorang yang memberikan seluruh cinta pada putrinya. Atau ayahmu tak mengenali perbedaan di antara keduanya.
Empat puluh tahun berlalu. Akhirnya kami ditakdirkan bertemu kembali. Aku terbang dengan pesawat yang suamimu siapkan. Aku kembali ke kampung halaman dengan sepucuk surat yang kusimpan di dalam saku. Aku tak sabar ingin menyombongkan keromantisanku untukmu.
Kulihat rumahmu yang tak lagi hijau dengan kebun maupun pesona bunga yang dulu pernah kutanam. Tapi sungguh melegakan melihat bangku taman yang masih bersemayam di sana meski sudah sangat usang dan berkarat. Seketika, kenangan puluhan tahun silam kembali datang.
“Kemari,” ajak suamimu yang membawaku padamu.
Akhirnya, aku kembali bersua dengan kekasih yang telah lama kurindu-rindukan. Air mata tak terbendung ketika jantung ini kembali berdebar setelah 40 tahun berada jauh dari empunya. Dengan bangga, kubuka surat ini dan kubacakan dengan seluruh hati yang kucantumkan di dalamnya. Lalu perlahan, kukecup batu nisan yang mengukir nama cantikmu. Aku masih dan terus mencintaimu, Sayang. Sungguh.
- Tugas Terakhir - 13 Mei 2022
- Negeri Bermental Korupsi - 12 April 2022
- Tuhan dan Sebungkus Rokok - 27 Maret 2022