Amplop Jurnalis: Perusak Independensi Pers Indonesia

Sumber Gambar: Unsplash/Ashni Ahlawat

Jelas terpampang dalam kode etik jurnalistik bahwa wartawan indonesia harus Independen. Artinya, pemberitaan wartawan, tidak boleh disertai kepentingan pihak manapun.

Hal demikian menjadi penting karena menurut Thomas Carlye yang dikutip oleh Mahi M. Hikmat dalam Buku literacy journalism, pers merupakan salah satu penyangga demokrasi.

Artinya, pers menempati kedudukan yang penting dalam sebuah negara demokrasi. Jika pers dalam sebuah negara telah rusak independensinya, maka kesehatan demokrasi negara tersebut menjadi terancam dengan sendirinya.

Menyoal Independensi Pers

Jayanto Arus Adi dalam sebuah tulisan berjudul Menakar Independensi Media di Tahun Politik yang diterbitkan oleh Dewan Pers. Menyatakan bahwa independensi memiliki arti ketidakberpihakan pers.

Sejalan dengan itu, David Celibreti dan kedua temannya menyatakan bahwa Independensi pers merupakan jantung dari etika Jurnalistik. Pernyataan itu dilontarkan ketiganya dalam jurnal ilmiah berjudul Five Principle of Ethical Journalism.

Melihat urgensitas Independensi pers tersebut, Haryanto dan Nasution menyatakan bahwa Ruang Redaksi Pers seharusnya menjadi tempat yang “suci”. Sehingga, di dalamnya tidak ada tarik menarik kepentingan apapun.

Jika melihat pendapat-pendapat para pakar di atas, menjadi gamblanglah bahwa independensi merupakan hal yang tidak boleh hilang dalam tubuh pers di Indonesia. Terlebih, Indonesia merupakan negara demokrasi.

Wajah Independensi Pers di Indonesia

Mengacu pada data yang dikeluarkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Kepercayaan publik terhadap pers kian menurun dari tahun ke tahun.

Kuat dugaan, penurunan kepercayaan ini disebabkan oleh kecacatan Independensi dalam tubuh pers. Dugaan ini tidak lahir dari ruang kosong. Agnes Retno Larasati beserta dua kawannya melakukan penelitian mengenai ini.

Penelitian tersebut membuahkan kesimpulan yang cukup mencengangkan. Berdasar data yang telah mereka telusuri, tingkat independensi dalam pers di Indonesia ada pada tahap “sangat mengkhawatirkan”.

Temuan tersebut merupakan pukulan keras bagi insan pers di negeri ini. Lebih luas lagi, temuan tersebut merupakan kenyataan pahit yang harus ditelan oleh masyarakat Indonesia.

Perusak Independensi

Sudah lumrah diketahui bahwa kapitalisasi pers di Indonesia nyata adanya. Terlebih, hal demikian didukung oleh undang-undang no.40 tahun 1999 tentang pers.

Undang-undang tersebut menyatakan bahwa selain mengemban fungsi sebagai lembaga sosial, pers juga berperan sebagai perusahan. Memang, hal demikian tidak buruk adanya.

Apalagi, mengingat bahwa di dalam pers terdapat banyak manusia yang memikul tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga. Kita tidak menampik kenyataan bahwa ada perut yang harus diberi makan di media dan pers mana pun.

Namun, sialnya, terkadang celah dalam pers ini malah dimanfaatkan oleh para pemilik pers. Terkadang mereka memasukan kepentingan mereka dalam setiap pemberitaan pers yang mereka kuasai.

Kepentingan tersebut dapat berbentuk kepentingan politik, kepentingan bisnis atau kepentingan-kepentingan lainnya yang berpotensi merugikan khalayak ramai.

Akhirnya, hal demikian berefek pada wartawan atau jurnalis yang ada dalam pers tersebut. Mereka yang tidak ingin mengikuti keinginan tersebut terkadang akan dikucilkan dan tidak akan disejahterakan secara materi.

Implikasi selanjutnya, wartawan yang dikucilkan tadi akan memilih jalan lain untuk memperoleh rupiah. Mereka tidak akan segan-segan untuk menerima “amplop” dari berbagai pihak untuk sebuah pemberitaan.

Pada akhirnya, semuanya sama, berita yang tidak berimbang yang dihasilkan. Menjadi terluka lagi independensi pers di negeri ini. Menjadi cedera lagi wajah media di bangsa ini.

Nurul Hidayah