
Melihat tentang sifat seperti apa yang sebenarnya dibawa agama pada kehidupan manusia, bisa dikatakan sangat relatif. Agama bisa bersifat sangat bermanfaat saat memberikan banyak pertolongan pada ruang-ruang keagamaan, agama juga bisa sangat terlihat sia-sia tatkala manusia sebagai pemeluknya merasa tak mendapatkan pengaruh sedikitpun dari agama.
Namun, kini perbincangan tentang agama terletak pada bagaimana agama mengajarkan tentang menjalani kehidupan sesuai yang diajarkannya dengan sifat keras atau lemah lembut.
Pembahasan tentang hal tersebut memang tak banyak bermunculan. Meski begitu, stigmatisasi tentang agama itu keras atau lembut, yang kemudian dua hal tadi dijadikan patokan untuk menilai kebaikan atau bahkan kebenaran agama terkait. Karena islam menjadi agama mayoritas di Indonesia, maka memang sudah sewajarnya ketika mata serta telinga semua orang lebih mengarah pada islam, baik pembicaraan tentang hal-hal sosial kebudayaan, hingga hukum yang coba ditegakkan.
Sebagai agama mayoritas, bantahan demi bantahan yang merupakan penjelasan atau lebih terkesan klarifikasi dalam pandangan kaum minoritas, Islam terus menjawab pertanyaan tentang hal itu dengan satu ajaran yang terus dibumikan, hingga sudah layak disebut sebagai sebuah moto, ajaran itu berupa kalimat kecil yang sederhana, yakni “Islam Rahmatan Lil ‘Alamin”. Dengan kalimat yang terus menerus digalakkan oleh banyak pemuka agama Islam, artinya secara gamblang dan berani, Islam telah memberikan pengakuan bahwa Islam agama yang dapat memberikan atau membawa kasih sayang pada seluruh makhluk hidup yang ada di seluruh alam.
Karena hal itu terus menerus santer terdengar dan terus dibumikan, maka stigmatisasi sebab akibat dari keluarnya penjelasan dari kalimat masyhur tersebut merupakan pemahaman bahwa islam sebagai agama yang keras. Hal itu menyusul banyaknya kasus intoleransi yang menyangkut umat muslim, atau karena adanya pemuka agama atau penceramah islam yang dianggap menebar kebencian pada antar sesama umat beragama. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu pendorong stigmatisasi masyarakat minoritas mengklaim Islam sebagai salah satu agama yang begitu keras.
Dalam perspektif keagamaan, Islam sebenarnya sudah mengajarkan ajaran moderatisme beragama pada setiap pemeluknya. Meskipun, dalam Al-Qur’an tak ada kalimat spesifik yang secara jelas menjelaskan perintah untuk selalu menjadi orang yang moderat. Namun, dalam beberapa ayat yang dapat ditemukan, bahwa dalam Al-Qur’an dikatakan manusia dengan sikap yang paling ideal itu adalah manusia yang bersedia senantiasa berada di tengah-tengah, atau dalam redaksinya ‘bersikap adil’, ‘di pertengahan’.
Berangkat dari hal-hal di atas, bisa disimpulkan bahwa pada dasarnya Islam tidak pernah memaksakan kehendak setiap orang untuk memeluk agama. Sebuah ayat Al-Qur’an yang paling masyhur dengan redaksi “Laa Ikroha Fiddin” merupakan bukti dari hal tersebut. Bahwa bagaimana allah swt yang hanya bisa memberikan hidayah serta taufiq pada setiap orang untuk melakukan ketaatan terhadap agama Islam dan mempercayainya dengan sepenuh hati.
Pada hal ini, yang justru menjadi sebuah fakta adalah memang sifat dari sebuah agama itu keras dan memaksa. Ini adalah sisi lain dari pembahasan di atas. Agama memberikan pedoman hidup yang tertulis dalam sebuah kitab khusus, agama juga memberikan bagaimana hukum ditegakkan secara adil dan bersifat keras. Dalam Islam sendiri, bisa kita lihat dalam segi etimologis, bahwa akar kata Islam berarti pasrah atau tunduk. Dalam beberapa pendapat mengatakan bahwa islam berarti berpasrah diri, suatu proses penghambaan, atau juga cara untuk menundukkan diri sebagai manusia terhadap sang pencipta. Dari kajian kebahasaan yang singkat itu saja, seharusnya kita sudah bisa memahami bahwa pada dasarnya agama memang mengharuskan pemeluknya untuk tunduk dan senantiasa patuh terhadap semua ajarannya. Kata tunduk, pasrah, serta berserah diri merupakan bukti bahwa setiap pemeluk agama Islam harus senantiasa berada dalam ketaatan yang seolah bersifat memaksa. Karena pada hakikatnya, manusia hanyalah makhluk kecil dari sebagian besar makhluk yang Allah ciptakan, maka sudah sepatutnya manusia melakukan penyerahan diri dengan segala macam ketaatannya pada tuhan, baik bersifat ritual atau sosial dengan manusia sesuai dengan apa yang diajarkan oleh firmannya.
Dari hal di atas dapat dipahami bahwa sebenarnya kesan yang diberikan agama dalam mengajarkan setiap umatnya itu begitu keras. Katakan saja dalam ruang lingkup hukum atau syariat yang diajarkannya. Dalam Islam sendiri, hukum atau syariat Islam itu begitu keras. Hal itu dapat dibuktikan dari adanya hukum qisash yang mengharuskan pelakunya untuk senantiasa menerima konsekuensi yang diberikan agama padanya untuk menebus kesalahan, atau adanya hukum rajam bagi pelaku zina, hukum potong tangan bagi pencuri, dan lain sebagainya. Dari kesemua itu terlihat jelas kesan yang dibawa oleh hukum yang diajarkan Islam benar-benar mengarahkan umatnya untuk paling tidak akan merasa takut terhadap semua konsekuensi yang akan didapatkannya jika bersalah. Bahkan dalam beberapa pendapat, hukuman-hukuman yang terkesan penebusan itu belum tentu menjadi hal yang dapat melebur dosa-dosanya. Hal itu dilakukan justru lebih untuk memberikan efek jera pada setiap pemeluknya bahwa setiap perintah dan larangan yang sudah diatur oleh agama dan tuhannya harus selalu senantiasa ditaati. Bukankan hal itu adalah tunduk? Berserah diri? Maka sudah jelas, dalam hal mendidik dan menjaga keimanan seseorang yang sudah memeluk agama Islam, sudah sepatutnya agama itu keras. Itulah mengapa, pendidikan keagamaan yang dilakukan oleh pesantren, keluarga, guru agama, dan yang lainnya selalu bersifat hukuman yang keras. Karena memang dalam hal menjaga sesuatu, kita manusia diharuskan mengeluarkan tenaga ekstra yang dalam hal ini berbentuk sifat didikan yang keras pada sesuatu tersebut.
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa sudah sepantasnya mengistilahkan agama itu memang keras dan memaksa. Sebab, dalam hal ini, Allah pun merupakan dzat yang maha memaksa. Artinya, penunjukkan jalan yang benar atau yang salah itu merupakan kehendaknya, takdir baik atau buruk juga merupakan kehendaknya yang bersifat mutlak.
Meski begitu, agama hanya boleh keras untuk menjaga keimanan setiap pemeluknya saja. Sebab kekerasan atau bahkan sampai pada ujaran kebencian yang disuarakan kemudian ditujukan pada pemeluk agama yang lain, maka hal itu telah menodai beberapa keterangan ayat Al-Qur’an yang menerangkan bahwa tidak ada paksaan dalam hal beragama.