3 Teori Marketing yang Mungkin Dilakukan Resto Viral, Karen’s Diner

Gambar para pelayan Karen's Diner Indonesia
Sumber Gambar: Assets,promediateknologi.com
Gambar para pelayan Karen's Diner Indonesia
Sumber Gambar: Assets.promediateknologi.com

Tepat pada 15 Desember 2022 kemarin, sebuah restoran gaya Amerika Australia resmi dibuka di Jakarta. Kehadiran restoran tersebut ditunggu-tunggu oleh banyak orang di Indonesia. Mengapa begitu? Karena restoran itu telah berhasil menyita perhatian warga Indonesia atas pelayanan mereka yang begitu khas.

Restoran tersebut adalah Karen’s Diner. Restoran bernuansa Amerika Australia ini benar-benar berhasil menjadi viral di media sosial hingga mendatangkan banyak pelanggan bahkan pada awal-awal pembukaannya. Hal itu menyusul adanya suatu hal yang dianggap baru serta menarik yang ditawarkan oleh restoran yang hanya memberikan makanan-makanan biasa cepat saji itu.

Penawaran yang tak pernah benar-benar mereka tawarkan itu adalah pelayanan khas yang mereka miliki. Karen’s Diner menawarkan pelayanan yang tak biasa bagi setiap pelanggan yang datang untuk sekedar makan dan minum di tempat tersebut. Bila biasanya kita selalu menemukan sebuah restoran yang selalu sepaket dengan pelayanannya yang baik pada pelanggan. Karen’s Diner justru melakukan hal sebaliknya.

Pelayan yang mereka miliki justru akan memberikan pengalaman baru bagi setiap pelanggan di restoran tersebut. Para pelayan itu akan bersikap sangat menyebalkan dan terhitung sangat arogan. Bahkan complain yang dilayangkan pelanggan tentang makanan, minuman, atau bahkan pelayanan justru hanya akan jadi bahan bualan semata di tempat ini.

Bagaimana tidak, Karen’s Diner telah mempersiapkan para pelayannya untuk begitu jutek, galak, dan menyebalkan di tempat ini. Hal itulah yang kemudian mengundang banyak perhatian warga Indonesia yang memang memiliki sifat asli sebagai warga yang selalu tertarik dengan hal-hal baru yang berlabel ‘viral’.

Pada awalnya, Karen’s Diner mulai diperkenalkan pada khalayak umum di Sydney, Australia. Restoran ini didirikan oleh Ade Levin dan James Varel, dengan tujuan untuk sekedar menjadi sebuah restoran pop-up pada event ternama di Australia selama enam bulan lamanya, yakni World Square pada Oktober 2021 lalu. Tak hanya itu, pada awalnya restoran cepat saji ini juga hanya bertujuan untuk mengetahui apakah lingkungan tak nyaman dengan pelayan-pelayan galak akan menjadi sebuah lingkungan yang cukup diminati pelanggan dalam memilih sebuah restoran.

Berkat pemikiran tersebutlah, justru Karen’s Diner bertahan hingga kini. Bahkan dalam beberapa sumber dikatakan bahwa hingga saat ini, restoran tersebut telah membuka cabangnya di Inggris, Amerika Serikat, Indonesia, dan Selandia Baru.

Terkait penamaan dari restoran tersebut pun juga menjadi salah satu faktor yang membuat mereka menjadi viral hingga saat ini. Karena nama yang dipakai tersebut merupakan sebuah nama tokoh fiktif dalam sebuah serial film di Youtube pada tahun 2020, yakni film Mean Girls. Tokoh fiktif bernama Karen tersebut diperankan oleh Lindsay Lohan yang diberikan penokohan sebagai sosok wanita berambut pirang dan berkulit putih, namun sekaligus begitu menyebalkan.

Dari sanalah kemudian pencipta restoran ini mengadaptasi namanya sebagai sebuah nama restoran mereka. Karena pada era tersebut, film Mean Girls yang terdapat tokoh bernama Karen itu justru menjadi viral karena sikap salah satu tokohnya yakni Karen yang begitu menyebalkan. Oleh karena itu, sesuai dengan nama yang diadaptasinya, Karen’s Diner juga menawarkan pelayan yang sama menyebalkannya dengan tokoh fiktif yang menginspirasi penamaan restoran mereka itu.

Berkat adanya fenomena baru ini, tentu kita menjadi merasakan paling tidak sebuah rasa penasaran tentang restoran dengan pelayanan paling buruk di dunia yang pernah ada. Rasa penasaran tersebut mengundang sebuah pertanyaan apakah ada sebuah teori strategi marketing yang menawarkan sesuatu yang justru biasanya tak disukai oleh orang-orang.

Jawaban dari rasa penasaran tersebut tentu ada beberapa kemungkinan teori yang dianggap cukup relevan dengan strategi marketing yang telah dilakukan resto viral tersebut. Apa saja teori-teori itu, simak semuanya di bawah ini:

Emotional Marketing

Karen’s Diner mungkin mengadopsi sebuah teori yang dijelaskan secara gamblang oleh beberapa tokoh ahli ekonomi ternama. Menurut Robbinete dan Brand, teori ini adalah usaha yang dilakukan secara total dari pihak perusahaan untuk membuat ikatan emosional dengan konsumen dengan tujuan agar konsumen merasakan adanya dihargai dan diperhatikan secara lebih oleh perusahaan.

Sedangkan menurut Kartajaya sebagai pakar ekonomi asal Indonesia menyatakan bahwa strategi ini adalah strategi marketing yang digunakan ketika pendekatan perusahaan secara rasional pada pelanggan sudah tak lagi cukup. Hal itu diakibatkan karena semakin ketatnya persaingan pasar. Maka emotional marketing atau pendekatan secara emosional menjadi salah satu alternatif lain bagi sebuah perusahaan untuk menarik minat konsumen.

Dalam hal ini, Karen’s Diner juga nampak menerapkan teori strategi marketing tersebut karena beberapa aspek dari emosi yang ditimbulkan telah cukup berhasil membuat strategi marketing ini berjalan dengan baik. Sebagaimana yang dikatakan oleh Gobe, terdapat beberapa hal untuk membangun hubungan yang lekat antara perusahaan dan pelanggan. Beberapa hal tersebut menjadi hal-hal yang berhasil dilakukan oleh Karen’s Diner sebagai restoran yang justru menawarkan pengalaman pelayanan buruk itu.

Pertama, adalah ‘dari produk menuju pengalaman’. Hubungan ini berarti harus dapat mengantarkan pelanggan yang awalnya hanya mengingat sebuah produk dari perusahaan tersebut, kemudian berubah menjadi pengalaman yang terjalin antara pelanggan dengan perusahaan. Hal ini juga yang kemudian kata Gobe tak hanya memberikan kebutuhan yang dibutuhkan pelanggan yang hanya sekedar membeli produk, tapi juga memberikan ikatan secara emosional melalui pengalaman baru dalam membeli produk.

Dari aspek tersebut tentu Karen’s telah berhasil memberikan pengalaman baru bagi pelanggan. Hal itulah yang kemudian membuat mereka akan menjadi salah satu restoran yang akan selalu diingat oleh pelanggan, karena telah memberikan pengalaman yang tak pernah ada sebelumnya.

Aspek kedua adalah ‘dari kemasyhuran menuju aspirasi’. Aspek ini mengantarkan pelanggan untuk tak hanya dapat mengenali sebuah brand dari sisi awareness saja. Lebih dari itu, dapat melahirkan sebuah aspirasi yang membuat awareness bukan satu-satunya kesuksesan dalam melakukan branding. Itu berarti ‘asal viral dulu’ adalah sebuah hal yang telah dilakukan secara berhasil oleh Karen’s.

Ketiga, adalah ‘dari identitas menuju kepribadian’. Kata Gobe, aspek ini memberikan sebuah merek tak hanya lagi dikenal sebatas sebuah identitas saja. Lebih dari itu setelah dibangun sebuah ikatan emosional dengan pelanggan bahkan sejak melalui iklan, membuat mereka diketahui kepribadiannya yang lebih tinggi dalam tingkatan loyalitas dan rasa keinginan pelanggan.

Aspek ketiga tersebut juga dianggap telah berhasil dilakukan oleh Karen’s Diner. Sebab nyatanya, berkat pelayanan buruk mereka yang tak pernah ada itu membuat banyak pelanggan merasa Karen’s merupakan restoran cepat saji yang begitu otentik dan takkan tergantikan.

Selanjutnya, aspek keempat adalah ‘dari fungsi menuju perasaan’. Aspek ini memberikan kesan yang tak hanya memenuhi fungsi. Dalam hal ini, sebuah restoran tak hanya memberikan makan dan minum saja. Lebih dari itu, mereka harus dapat menimbulkan serta menciptakan sebuah perasaan yang melekat bagi pelanggan. Hal inilah yang dilakukan Karen’s Diner, meski dilakukannya pada ingatan buruk sebab pelayanannya, tapi perasaan dari pengalaman yang ditawarkan tersebut membuat pelanggan justru akan terus mengingatnya.

Aspek selanjutnya atau yang kelima adalah ‘dari ubikuitas menuju kehadiran’. Aspek ini ditawarkan oleh Gobe dalam teorinya yang mengantarkan perusahaan tak lagi hanya mementingkan kuantitas saja. Lebih dari itu, mereka harus memberikan kualitas yang baik, serta pengalaman unik, nyata, dan tahan lama. Karen’s juga telah memberikan hal ini pada pelanggannya.

Aspek keenam adalah ‘dari komunikasi menuju dialog’. Komunikasi yang dimaksud dari aspek ini adalah lebih bersifat satu arah (telling). Maka dari itu, jelas pelanggan akan lebih merasa diperhatikan kebutuhannya ketika sebuah proses dialog lebih dikedepankan. Meski melakukannya dengan cara menyebalkan, namun Karen’s Diner juga telah melakukan aspek ini.

Terakhir, adalah aspek ‘dari pelayanan menuju hubungan’. Aspek ini adalah aspek terakhir dimana selain produk, pelayanan adalah hal yang paling dinilai oleh pelanggan. Namun, menurut aspek ini pelayanan hanyalah efisiensi dari proses transaksi saja. Lebih dari itu, justru harus melahirkan hubungan yang berarti perusahaan atau merek dapat lebih mengerti apa yang pelanggan butuhkan.

Dalam aspek terakhir ini, Karen’s Diner lebih dari sekedar berhasil. Sebab berawal dari keisengan para penciptanya yang ingin mengetahui apakah hal ‘unpopular opinion’ yang berbeda dari kebiasaan akan diterima oleh khalayak umum, ternyata benar-benar diterima. Bahkan mereka berhasil menjadi viral dan berhasil membuka banyak cabang di beberapa negara.

Hal ini membuktikan bahwa Karen’s Diner telah memberikan apa yang pelanggan mereka butuhkan. Meski menyebalkan, sikap arogan dan bawelnya para pelayan di tempat ini tak menggiring pelanggan merasakan sakit hati yang berlanjut. Justru sebaliknya, pengalaman buruk dari hal yang baru tersebut yang menjadi kebutuhan pelanggan yang datang ke tempat mereka. Sebab banyak diungkapkan, bahwa pelanggan merasa telah menjadi diri sendiri di tempat itu, atau mereka dapat mengetahui sisi jahat dari diri mereka, atau bahkan mereka akhirnya dapat memiliki tempat untuk sekedar jadi pelarian bagi kebutuhan emosional mereka.

Tak hanya itu, sebuah studi bertajuk Studi Nielse, mengatakan bahwa strategi ini cukup ampuh dilakukan oleh sebuah perusahaan. Disebutkan pada 2016 lalu, sebuah iklan yang mengandalkan strategi ini justru mengalami peningkatan penjualan sebanyak 23%.

Emotional Marketing juga tak hanya dapat diberikan oleh perusahaan untuk menarik minat pada sisi kebahagiaan pelanggan saja. Sesuai namanya, rasa emosi dalam diri manusia menjadi pilihan dalam menjalankan strategi ini. Diketahui atau tidak oleh pemilik Karen’s Diner, sejatinya mereka telah berhasil melakukan strategi marketing dari penawaran yang ditawarkan pada sisi emosi kemarahan serta rasa jengkel pada pelanggannya.

Ditambah lagi, sasaran pasar di Indonesia sendiri hari ini benar-benar dipenuhi oleh kaum milenial dan Gen Z. Dimana kita semua tahu, di era mereka ini isu kesehatan mental menjadi salah satu isu paling hits. Maka, Karen’s Dinner yang menawarkan pengalaman buruk tersebut siap mencabik-cabik mental para kaula muda serta dapat menjadi destinasi menarik.

Sebab sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh sebuah jurnal emotional marketing pada tahun 2012 dari Brain Juicer Labs, menyatakan bahwa terdapat empat hal yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk menarik minat pelanggan dari sisi emosinya. Pertama, dapat dilakukan melalui sisi kebahagiaan yang dapat memicu orang untuk lebih banyak memberitahukannya pada orang lain.

Kedua, apabila sisi kesedihan yang ditawarkan maka akan memicu orang untuk lebih banyak mencari tahu perusahaan tersebut. Ketiga, jika perasaan takut atau kaget yang ditimbulkan maka akan memicu orang untuk merasakan urgensi dalam bertindak. Artinya mereka akan merasa begitu perlu membeli produk tersebut. Terakhir, jika sebuah perasaan marah atau jijik yang ditawarkan maka akan memicu banyak komentar dari orang-orang.

Kemungkinan keempat merupakan kemungkinan yang paling mungkin dilakukan oleh Karen’s Diner karena telah menawarkan perasaan marah serta jijik atas pelayanan yang ditawarkan mereka. Namun, hal itu justru berhasil mengundang banyak kontroversi dari komentar-komentar banyak orang. Yang akhirnya membuat mereka tak hanya viral, tapi juga membuat mereka dijadikan sebuah tempat untuk mencari pengalaman baru dalam membeli sebuah makanan dan minuman cepat saji.

Guirella Marketing

Strategi ini adalah teori strategi marketing yang muncul pada tahun 1980-an yang diciptakan oleh Jay Conrad Levinson. Strategi ini bermaksud memberikan elemen kejutan serta memberikan interaksi yang tidak konvensional untuk menarik minat pelanggan. Tujuannya, strategi ini juga hendak melahirkan buzz tentang sebuah produk di khalayak luas sehingga pelanggan dapat membicarakan produk tersebut pada orang lain.

Strategi ini dikenal masih digunakan hingga saat ini. Salah satu hal yang membuat strategi ini masih digunakan adalah karena hemat biaya dalam proses pemasarannya. Tak hanya itu, strategi ini juga dapat memicu sebuah fenomena viral marketing nantinya. Hal inilah yang kemudian dianggap sama persis dengan apa yang telah dilakukan oleh Karen’s Diner. Mereka menawarkan hal baru dan mengejutkan banyak orang. Dimana mereka tak lagi melihat hal konvensional yang biasa sebagai sebuah restoran. Hingga pada akhirnya, mereka mulai banyak dibicarakan banyak orang bahkan di seluruh dunia.

Tak hanya itu, dikatakan bahwa strategi ini memiliki sasarannya sendiri, tak bisa sembarang digunakan. Strategi ini akan berjalan dengan baik ketika suatu produk memiliki sasaran pembeli yang lebih edgy dan kaula muda sebagai pelanggannya. Strategi ini juga biasanya hanya dilakukan sebagai produk dari acara event, atau sebuah produk eksperimental.

Dari hal tersebut, maka Karen’s Diner juga dianggap relate telah melakukannya. Pasalnya, pasar yang mereka dapatkan memang kebanyakan adalah generasi milenial dan Gen Z. Dimana kedua generasi tersebut merupakan kaula muda. Tak hanya itu, sesuai dengan sejarahnya, Karen’s yang pada awalnya didirikan hanya untuk sebuah event di Australia dengan tujuan ingin mengetahui hal baru dari pengalaman pelayanan yang buruk dalam sebuah restoran, justru berhasil berkembang hingga saat ini.

Viral marketing

Strategi ini merupakan teori strategi yang dikemukakan oleh dosen Harvard Business School, Jef-frey Rayport dalam artikelnya yang berjudul “The Virus of Marketing” di majalah Fast Company pada tahun 1996. Kemudian, dipopulerkan oleh Tim Draper dan Steve Jurvetson dari perusahaan Venture Capital, Draper Fisher Jurvetson pada 1997 untuk menjelaskan kesuksesan marketing hotmail sebagai email provider.

Meski demikian, tak dapat dipungkiri istilah viral juga mulai mencuat setelah adanya kanal media sosial yang semakin merajalela di era modern ini. Menyusul hal tersebut, maka tak ayal sebuah perusahaan akan melakukan cara apapun untuk membuat produknya masuk pada kategori viral.

Strategi ini sejatinya adalah strategi yang menggunakan bantuan pengguna atau pelanggan dalam pemasarannya. Dimana sebuah produk atau perusahaan tak perlu melakukan pemasaran secara lebih banyak, karena pelanggan telah dengan sendirinya melakukan share pada orang lain. Namun demikian, strategi ini justru memiliki resiko tinggi. Sebab, kontrol marketingnya terdapat di pelanggan maka sebuah respon negatif juga akan banyak bermunculan menyusul viralnya produk tersebut.

Hal ini juga nampaknya cukup jadi sebuah kemungkinan terakhir yang telah dilakukan Karen’s Diner dalam melakukan pemasaran. Berawal dari keisengan penciptanya, justru pelanggan banyak membagikan tentang restoran aneh tersebut. Namun, dalam perjalanannya, tak sedikit pula restoran itu menuai banyak cibiran dari orang lain di sosial media. Meski demikian, nampaknya memang itulah yang mereka harapkan.

Dapat disimpulkan, dari fenomena Karen’s Diner ini kita dapat mengetahui bahwa hari ini di era modern, unpopular opinion, atau sesuatu yang baru yang berbeda dengan hal normal yang biasanya justru cukup ampuh untuk menarik perhatian banyak orang, justru dapat menjadi alternatif lain dalam menentukan strategi marketing yang digunakan.